1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Radio Nelayan Ganggu Penerbangan Internasional?

7 Oktober 2019

Kementerian Komunikasi dan Informatika mengaku menerima keluhan soal kebocoran frekuensi radio yang digunakan para nelayan dan menyebabkan gangguan komunikasi para pilot dalam penerbangan internasional.

Das UKW-Radio wird 70
Foto: picture-alliance/dpa/B. Settnik

Radio bisa menjadi teman baik kita dalam perjalanan saat hendak pergi menuju kantor atau ketika pulang ke rumah setelah lelah bekerja. Ketika penat menghadapi kemacetan, ocehan dan kelakar para penyiar radio serta lagu-lagu favorit pun menjadi hiburan tersendiri bagi yang mendengarkan, baik di dalam mobil atau melalui smartphone.

Selain digunakan untuk siaran komersial, radio juga menjadi salah satu alat untuk berkomunikasi. Angkatan darat, laut dan udara menggunakan radio untuk berkomunikasi mengirim pesan. Teknologi yang pertama kali ditemukan oleh Guglielmo Marconi pada tahun 1894 ini juga menjadi sarana penting dalam dunia penerbangan kini. Radio menjadi media utama komunikasi pilot dengan ATC (air traffic controller) saat hendak lepas landas maupun saat akan melakukan pendaratan.

Cara kerja radio yakni dengan memutar hasil pengiriman sinyal gelombang elektromagnetik ke dalam bentuk audio. Radio pun terbagi atas dua macam frekuensi yakni AM dan FM, yang saat ini sering kita dengar. Namun apa jadinya jika radio justru mengancam keselamatan sebuah perjalanan?

Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika, menyampaikan pihaknya menerima banyak keluhan soal kebocoran frekuensi radio yang digunakan para nelayan dan menyebabkan gangguan komunikasi para pilot dalam penerbangan internasional.

Sebut saja seperti percakapan pribadi melalui handy talkie hingga dendangan musik dangdut yang bocor masuk ke saluran komunikasi pilot.

"Nelayan banyak menggunakan perangkat tidak sesuai spesifikasi yang mengganggu sistem navigasi pesawat. Sampai di pilot terdengar suara radio dangdut. Kita dikomplain oleh penerbangan internasional," kata Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kemkomimnfo, Ismail, dilansir dari Liputan6.com.

Suara-suara tersebut ‘bocor' terdengar oleh pilot saat akan mendaratkan pesawat. Hal ini dinilai berbahaya karena dapat menutup jalur komunikasi pilot dengan ATC dan berpotensi menimbulkan kecelakaan. Diduga para nelayan tersebut membuat radio rakitan secara 'serampangan' dan menggunakan penguat sinyal ilegal yang diperjualbelikan secara bebas melaui situs jual beli online.

Baca juga: Berfoto di Pesawat, Apa yang Harus Diperhatikan?

Frekuensi khusus daerah pesisir

Kepada DW Indonesia, pengamat penerbangan Alvin Lie, mengaku gangguan frekuensi radio terhadap jalur komunikasi penerbangan yang disebabkan oleh radio nelayan merupakan hal yang baru. Ia pun mempertanyakan laporan Kemkominfo tersebut.

"Bagi saya ini tidak masuk di akal,” ujarnya singkat saat dihubungi DW Indonesia melalui aplikasi pesan singkat.

"Nelayan menggunakan penguat sinyal untuk mendengarkan radio. Sejauh hanya menerima sinyal, tidak memancarkan, bagaimana bisa mengganggu?” tambah Alvin.

Menurut Alvin perlu dilakukan kajian lebih lanjut data-data valid keluhan pilot dan AirNav jika memang terbukti benar adanya, serta kajian lebih lanjut mengenai moda pancaran yang digunakan.

Walaupun hingga kini gangguan masih terjadi, namun Kemkominfo mengaku angka keluhan tersebut sudah menurun drastis. Untuk mengatasi masalah ini, Kemkominfo pun terus melakukan sosialisasi dan membuka layanan perizinan frekuensi radio di delapan provinsi khususnya yang daerah pesisirnya mayoritas dihuni oleh nelayan, antara lain DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Hal ini bertujuan agar radio nelayan tersebut tersertifikasi dan izin penggunaan frekuensinya jelas.

"Sudah menurun (kejadiannya), karena kami sering melakukan sosialisasi kepada nelayan yang ada di pesisir. Namun data persisnya masih diolah oleh dirjen SDPPI,” ujar juru bicara Kemkominfo, Ferdinandus Setu saat dihubungi DW Indonesia Senin (07/10) siang.

"Di setiap provinsi punya balai monitoring frekuensi, inilah yang dilakukan untuk memantau terus menerus dan melakukan konsolidasi,” sambung pria yang akrab disapa Nando ini.

Sebelumnya, di awal tahun 2019 pihak AirNav Makassar mengaku mendapat keluhan dari pilot pesawat yang mendengar siaran radio amatir di jalur komunikasinya. Gangguan tersebut terdengar di wilayah di sekitar Surabaya, Bali, dan Pangkalanbun. Setidaknya hingga Juni 2019, terdapat 18 laporan dari para pilot mengenai gangguan ini.

rap/na (Liputan6.com, Detiknews)