1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikBelanda

Raja Belanda Minta Maaf atas Perbudakan, Selanjutnya Apa?

4 Juli 2023

Raja Belanda Willem-Alexander membuat permohonan maaf resmi atas perbudakan di bekas koloninya ratusan tahun lalu. Apakah permintaan maaf akan mendorong pembayaran reparasi?

Warga di depan monumen peringatan perbudakan di Amsterdam
Warga di depan monumen peringatan perbudakan di AmsterdamFoto: Peter Dejong/AP/picture alliance

Untuk kedua kalinya dalam enam bulan, anggota perwakilan distrik Amsterdam Vayhishta Miskin bersiap untuk peristiwa bersejarah, yang mungkin telah tidak terpikirkan lagi oleh banyak orang keturunan Suriname seperti dia.

Setelah Perdana Menteri Belanda Mark Rutte meminta maaf atas masa lalu perdagangan budak di Suriname dan menjanjikan dana €200 juta untuk prakarsa pendidikan pada bulan Desember, Raja Willem-Alexander menyampaikan permohonan maaf resmi pada hari Sabtu, 1 Juli 2023.

"Apa yang dikatakan orang kepada saya adalah bahwa mereka merasa emosional dengan permintaan maaf perdana menteri, karena ini adalah kata-kata yang ditunggu-tunggu orang sejak 1863," kata Vayhista Miskin kepada DW di Amsterdam. "Ini adalah langkah pertama bagi kita untuk maju dan sembuh sebagai masyarakat."

Tanggal 1 Juli menandai 150 tahun sejak de facto berakhirnya perbudakan Belanda dan 160 tahun sejak penghapusan resmi perbudakan Belanda di Karibia. Permintaan maaf Raja Willem-Alexander hanya memiliki nilai simbolis. Namun, di lingkungan Vayhista Miskin di Amsterdam tenggara, di mana banyak penduduk lokal berakar di bekas koloni seperti Suriname dan Antillen Belanda, pertanyaan yang lebih besar bagi banyak orang adalah, apa yang akan terjadi selanjutnya?

Sejarah gelap

Komunitas telah mengadakan pertemuan untuk membahas pertanyaan itu. "Apa yang dikatakan orang kepada kami adalah bahwa mereka ingin kesalahan dan ketidakadilan yang mereka alami di masa lalu dan masih berlanjut hingga hari ini untuk dihapuskan," kata Vayhista Miskin.

"Bahkan jika kita menerima permintaan maaf dari raja, apa itu artinya?" dia menambahkan. "Yang benar-benar dibutuhkan orang adalah anak-anak mereka mendapatkan pendidikan profesional, anak-anak mereka mendapatkan pekerjaan,” katanya, menunjuk pada ketidaksetaraan yang masih berlangsung di Belanda.

Pada puncak era kolonialnya, Belanda memimpin jaringan perdagangan global yang sangat besar sebagai salah satu kekuatan imperial utama dunia. Selama berabad-abad, Belanda bertanggung jawab atas sekitar 5% dari keseluruhan perdagangan budak transatlantik, membeli dan mengirim hampir 600.000 orang yang diperbudak dari Afrika ke koloni Karibia serta koloni Eropa lainnya di seluruh Amerika.

Orang Afrika yang diperbudak juga dipindahkan secara paksa ke koloni Belanda di Samudra Hindia, seperti Indonesia saat ini, dan orang Bali atau Jawa yang diperbudak dipindahkan ke daerah yang sekarang menjadi Afrika Selatan. Secara keseluruhan, 15% dari para budak yang dibawa dari Afrika ke Amerika dalam perdagangan transatlantik tidak selamat karena kondisi kapal penyeberangan yang buruk, belum lagi banyak lagi yang meninggal bahkan sebelum mereka meninggalkan Afrika.

Para penyintas dan keturunan mereka menghadapi kehidupan perkebunan yang brutal, dengan kerja paksa dan hukuman yang sering kali kejam karena dianggap membangkang. Belanda adalah salah satu negara Eropa terakhir yang mengakhiri perbudakan di wilayah kolonialnya.

Dari permintaan maaf sampai tuntutan reparasi

Bagi Mia McMorris, peneliti di University of the West Indies Center for Reparations Research, sangat jelas seperti apa permintaan maaf yang tepat untuk perbudakan, dan ke mana arahnya. "Permintaan maaf harus memiliki tiga dimensi, yang pertama bertanggung jawab, yang diharapkan berarti Anda memahami kesalahan Anda dan mengakui kesalahan," katanya. Kedua, berurusan dengan warisan masa kini, yaitu mangatasi "berlanjutnya narasi kolonial, profil rasial, apa pun yang mempromosikan ketidaksetaraan ras," kata Mia McMorris. Dan ketiga, menebus kesalahan.

Ada sangat sedikit contoh reparasi di dunia nyata, kata Wouter Veraart, profesor filsafat hukum di Free University of Amsterdam. Kuncinya adalah negosiasi tahun 1952 antara negara Jerman Barat pasca-Nazi, Israel dan Claims Conference, badan payung diaspora Yahudi setelah Holocaust.

"Reparasi yang ditawarkan dan dinegosiasikan antara Jerman Barat dan Israel tidak didasarkan pada perhitungan berapa banyak keuntungan yang diperoleh atau semua kerugian, tetapi pada apa yang dibutuhkan di Israel pada saat itu,” jelasnya.

Tahun lalu, Jerman secara resmi mengakui genosida awal abad ke-20 di Namibia dan menjanjikan bantuan pembangunan sekitar €1 miliar sebagai bentuk reparasi. "Jika Anda benar-benar ingin menghadapi sejarah ini dan tidak lagi mengabaikannya, mengapa Anda tidak berdialog dengan Suriname, misalnya, tentang apa arti reparasi?" kata Wouter Veraart.

Peneliti McMorris melihat masih banyak hal yang harus dilakukan, tetapi juga alasan untuk optimis. "Kita berada di dunia yang sedang berubah sekarang," katanya, menunjuk ke sejumlah langkah baru-baru ini oleh lembaga non-negara untuk menyelidiki kaitan mereka sendiri dengan perbudakan.

"Orang-orang mempertanyakan," katanya. "Mereka mengatakan ini tidak benar. Dan itulah inti dari gerakan reparasi, memahami bahwa hal-hal itu tidak benar, dan kita perlu memperbaiki ketidakadilan ini."

(hp/vlz)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait