Raja Thailand Bisa Diusir Jika Memerintah dari Jerman
23 November 2020
Parlemen Jerman menyatakan Raja Thailand akan diusir jika terbukti menjalankan pemerintahan dari vilanya di Bayern. Lamanya ia menetap di Eropa menjadi sorotan publik Thailand di tengah aksi protes yang berkecamuk.
Menurut penilaian Layanan Akademis Bundestag (WD) yang ditugaskan oleh Partai Kiri yang berhaluan sosialis, pemerintah Jerman hanya memiliki sedikit kuasa untuk mengusir Raja Thailand, meskipun baru-baru ini Vajiralongkorn diancam oleh Menteri Luar Negeri Heiko Maas agar tidak memerintah negaranya dari wilayah Jerman.
Ancaman Maas tersebut disampaikannya saat aksi protes tengah berkecamuk di Thailand, menentang pemerintahan raja yang tidak demokratis. Lebih dari 50 orang terluka dalam demonstrasi yang terjadi di Bangkok pada pekan lalu. "Kami telah menjelaskan bahwa kebijakan yang mempengaruhi negara Thailand tidak dilakukan dari tanah Jerman," kata Maas pada awal Oktober.
Tetapi, selain mengusir raja dari Jerman sebagai 'persona non grata', penegak hukum tidak dapat mewakili rakyat Thailand untuk menuntut raja, bahkan ketika dia sedang berlibur, kata Bundestag. Artinya, karena kekebalan diplomatik, raja tidak dapat dihukum atas kejahatan yang dilakukan di Jerman.
Wanita 'Berleher Panjang' Thailand Berjuang Selama Pandemi
Larangan perjalanan selama pandemi COVID-19 menghancurkan industri pariwisata yang vital bagi Thailand. Di dekat Mae Rim, komunitas Kayan yang terkenal dengan wanita berleher panjang menunggu kembalinya turis asing.
Foto: Vincenzo Floramo
Desa yang kosong
Desa Kayan di dekat Mae Rim adalah tujuan wisata populer di sekitar kota Chiang Mai, Thailand utara. Dikenal dengan wanita berleher panjangnya, desa ini dulunya ramai didatangi oleh pengunjung mancanegara. Sekarang, tanpa kedatangan turis asing di Thailand, desa itu sepi pengunjung.
Foto: Vincenzo Floramo
Leher panjang jadi standar kecantikan
Mu Ei yang berumur 32 tahun, layaknya kebanyakan penduduk di desanya berasal dari suku Kayan. Beberapa gadis mulai mengenakan cincin leher ketika mereka saat menginjak usia 5 tahun.
Foto: Vincenzo Floramo
Ada tiket tersedia, tapi tidak ada pembeli
Di pintu masuk desa, loket tiket kosong tanpa pengunjung yang ditunggu-tunggu. Sebelum pandemi, desa Kayan menyaksikan arus pengunjung yang stabil setiap hari. Kebanyakan turis berasal dari Cina.
Foto: Vincenzo Floramo
Sepi wisatawan asing, sumber pendapatan Mu Ei
Wisatawan Thailand tidak begitu tertarik dengan wanita berleher panjang seperti turis asing. Mu Ei dan wanita lainnya yangbergantung pada pariwisata untuk mendapatkan pemasukan kini menunggu kapan turis diizinkan berkunjung lagi.
Foto: Vincenzo Floramo
Memasak untuk keluarga
Mu Ei menyiapkan api untuk memasak makan malam untuk keluarganya di halaman kecil di depan pondok bambu mereka. Dia memasak makanan sederhana seperti nasi dan pisang. Diatidak punya cukup uang untuk membeli bahan makanan lainnya.
Foto: Vincenzo Floramo
Khawatir masa depan anak-anak
Mu Ei memiliki dua orang anak yang berumur 2 dan 6 tahun. Dia sangat mengkhawatirkan masa depan keluarganya. Satu-satunya pendapatan keluarganya saat ini adalah dari pekerjaan serabutan suaminya di bidang konstruksi dan pertanian.
Foto: Vincenzo Floramo
Bertahan hidup dengan bantuan pangan
Mu Ei dan perempuan-perempuan lain dari desa Kayan menerima bantuan pangan dari organisasi bantuan. Mu Ei mengatakan, dia biasanya menghasilkan lebih dari 600 baht (€16 / $20) per hari sebelum pandemi melanda. Sekarang penghasilan hariannya mendekati nol.
Foto: Vincenzo Floramo
Banyak keluarga meninggalkan desa
Sebuah boneka beruang ditinggalkan oleh keluarga yang meninggalkan desa karena takut tertular COVID-19 dan kekurangan uang untuk menjalani hidup. Mayoritas komunitas Kayan berasal dari Myanmar. Kebanyakan dari mereka telah kembali ke wilayah asal mereka sejak pandemi dimulai.
Foto: Vincenzo Floramo
Cendera mata menunggu pelanggan
Meski sepi turis dan tidak ada tur berpemandu, Mu Ei tetap optimistis memajang cendera mata setiap hari untuk dijual. Di bawah kebijakan pembatasan perjalanan pemerintah Thailand karena pandemi corona, sulit mempertahankan sumber mata pencarian yang bergantung pada pariwisata. (st/hp)
Foto: Vincenzo Floramo
9 foto1 | 9
Mewahnya kehidupan raja di tengah lockdown
Vajiralongkorn menghabiskan waktu selama berbulan-bulan di vilanya di tepi Danau Starnberg, tepat di sebelah selatan München. Di musim semi, raja juga sering menginap di sebuah hotel mewah di resor ski Garmisch-Partenkirchen. Saat itu ia terbukti melanggar aturan menginap di hotel ketika negara bagian Bayern tengah memberlakukan kebijakan penguncian wilayah.
Iklan
Raja sempat kembali ke Thailand pada bulan Oktober, tetapi partai Kiri meminta pemerintah Jerman untuk melarang dia masuk kembali ke Jerman. "Siapapun yang (berperilaku) seperti raja, secara brutal menindas gerakan demokrasi dengan junta militer, seharusnya tidak diberikan visa untuk kemewahan tinggal yang diperpanjang di Jerman," kata anggota parlemen partai Kiri, Sevim Dagdelen dan Heike Hänsel dalam sebuah pernyataan bersama.
Sebelumnya pada November, Kementerian Luar Negeri Jerman mengatakan tidak menemukan bukti bahwa raja mengeluarkan dekrit dari Bayern yang melanggar hak asasi manusia, meskipun politisi oposisi menganggap ini kurang kredibel, mengingat lamanya raja tinggal di Jerman.
"Pertanyaan tentang apa yang dilakukan pemerintah untuk melawan tindakan yang melanggar hukum masih belum terjawab," kata Margarete Brause dari partai Hijau dalam sebuah pernyataan.