1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Rangkaian Tantangan Terkait dengan Kecerdasan Buatan di 2024

Janosch Delcker
4 Januari 2024

Dari sengitnya perselisihan tentang hak cipta hingga deepfake di tahun penuh pemilu. Kita harus bersiap menghadapi hal-hal berikut.

Ilustrasi penggunaan ChatGPT
Ilustrasi penggunaan ChatGPTFoto: Andreas Franke/picture alliance

Kecerdasan buatan atau AI kini telah hadir dalam kehidupan sehari-hari, setelah dalam waktu yang lama hanya dianggap sebagai bahan fiksi ilmiah dan penelitian dasar. Saat ini, jutaan orang menggunakan aplikasi seperti program bahasa AI ChatGPT atau Bard setiap harinya. Menurut para ahli, ini hanyalah permulaan.

"AI saat ini sedang menikmati 'momen iPhone' mereka," kata Léa Steinacker, peneliti sosial dan kepala inovasi di start-up Ada Learning. Pengenalan smartphone Apple di tahun 2007 dianggap sebagai titik balik karena semakin banyak orang mulai menggunakan internet lewat ponsel.

Aplikasi seperti ChatGPT, yang mudah digunakan dan tidak memerlukan pengetahuan teknis sebelumnya, telah "menghadirkan kecerdasan buatan kepada pengguna akhir," kata Steinacker kepada DW. "Dan itu akan berdampak kepada masyarakat secara keseluruhan."

Seperti apa perdebatan tentang kecerdasan buatan yang bisa kita lihat di tahun 2024?

Deepfake berbahaya bagi pemilu?

Apa yang disebut AI generatif memungkinkan pembuatan teks dan gambar yang meyakinkan dalam hitungan detik. Ini juga termasuk pembuatan deepfake (pemalsuan mendalam) yang membuat seseorang seolah mengatakan atau melakukan hal-hal yang tidak pernah mereka katakan atau lakukan.

Para ahli khawatir akan terjadi kampanye disinformasi dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun pemilu 2024. Seperti diketahui, tahun ini akan ada pemilihan presiden baru AS, pemilu Parlemen Eropa, dan beberapa pemilu lain di Asia, termasuk di Indonesia. Ada kekhawatiran bahwa deepfake akan digunakan untuk memengaruhi opini publik menjelang pemilu atau untuk memicu kerusuhan.

"Kunci untuk mempercayai proses pemilu UE (Uni Eropa) adalah apakah kita dapat mengandalkan infrastruktur keamanan siber dan integritas informasi," Juhan Lepassaar, Direktur Badan Keamanan Siber UE (ENISA), memperingatkan. 

Mungkinkah Batasi Teknologi AI dalam Kerangka Moral dan Etika?

04:09

This browser does not support the video element.

Seberapa besar pengaruh deepfake juga akan bergantung pada seberapa besar perusahaan media sosial berusaha menahan penyebarannya. Platform seperti YouTube milik Google atau Facebook dan Instagram milik Meta telah memperkenalkan kebijakan pelabelan untuk konten yang dihasilkan AI. Tahun 2024 ini, baik atau buruknya kinerja mereka akan sangat bisa dilihat.

Siapa pemilik konten yang dihasilkan AI?

Untuk mengembangkan aplikasi AI generatif, perusahaan melatih model komputer dengan teks atau gambar dalam jumlah besar dari Internet. Sejauh ini, hal ini terjadi tanpa adanya persetujuan tertulis dari penulis, ilustrator, atau fotografer yang karyanya dipakai begitu saja.

Banyak pemegang hak cipta melihat hal ini sebagai pelanggaran terhadap hak cipta mereka, dan mereka bertekad memperjuangkannya. Pada akhir Desember, New York Times mengumumkan akan menuntut OpenAI dan Microsoft. Surat kabar tersebut menuduh kedua perusahaan di balik ChatGPT ini telah menggunakan jutaan artikel mereka dengan tidak selayaknya. OpenAI juga digugat oleh sekelompok penulis terkemuka Amerika Serikat, termasuk John Grisham dan Jonathan Franzen. Prosesnya masih berlanjut di pengadilan.

Agen foto Getty Images juga menggugat perusahaan kecerdasan buatan, Stability AI, yang berada di balik sistem pembuatan gambar Stable Diffusion. Keputusan pertama pengadilan terkait hal ini diperkirakan akan dikeluarkan tahun 2024. Keputusan tersebut dapat memberikan informasi berharga tentang bagaimana undang-undang hak cipta yang ada saat ini harus disesuaikan dengan era AI.

Konsentrasi teknologi di perusahaan AI menengah

Semakin canggih teknologi AI, semakin sulit dan mahal bagi perusahaan untuk mengembangkan dan melatih model yang tepat. Karenanya, pakar hukum digital memperingatkan bahwa semakin banyak pengetahuan yang akan terkonsentrasi di tangan perusahaan-perusahaan yang kuat.

"Konsentrasi kekuasaan dalam hal infrastruktur, daya komputasi, dan data di tangan beberapa perusahaan teknologi menggambarkan masalah yang sudah lama ada di industri teknologi," kata Fanny Hidvegi dari LSM Access Now di Brussels kepada DW.

Ia memperingatkan bahwa semakin teknologi AI menjadi bagian integral dari kehidupan manusia, semakin banyak pula perusahaan swasta yang dapat menentukan bagaimana AI akan mengubah masyarakat. 

Bagaimana penegakkan hukum terkait AI?

Dengan latar belakang seperti yang telah disebutkan di atas, para ahli sepakat bahwa: Sama seperti mobil yang harus dilengkapi sabuk pengaman, teknologi AI juga perlu diatur.

Setelah negosiasi selama bertahun-tahun, UE menyetujui undang-undang AI pada bulan Desember 2023. Ini adalah paket legislatif komprehensif pertama di dunia yang khusus membahas kecerdasan buatan.

Pada tahun 2024, semua perhatian akan tertuju pada regulator Eropa untuk melihat apakah mereka menegakkan peraturan baru ini. Sudah ada diskusi yang lebih panas mengenai apakah dan bagaimana aturan-aturan ini bisa diterapkan secara retrospektif.

"Masalahnya ada pada rinciannya," kata Léa Steinacker, "dan kita harus bersiap menghadapi perdebatan panjang baik di UE maupun Amerika mengenai implementasi praktis dari undang-undang baru ini." (ae/hp)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait