1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PendidikanIndonesia

Rapuhnya Infrastruktur Pondok Pesantren

3 Oktober 2025

Ambruknya musala Ponpes Al-Khoziny, Sidoarjo, menyoroti rapuhnya infrastruktur ribuan pesantren di Indonesia. Bagaimana menjamin keselamatan santri di tengah minimnya bantuan dan lemahnya pengawasan?

Proses evakuasi santri dari reruntuhan musala di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, oleh petugas Basarnas.
Petugas dan warga mengevakuasi santri dari reruntuhan musala Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo. Tragedi ini kembali menyoroti kerentanan infrastruktur pesantren di Indonesia.Foto: Basarnas/Xinhua/picture alliance

Suasana khusyuk di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, pada akhir September mendadak berubah panik. Sekitar pukul 15.00 WIB, bangunan musala tiga lantai tiba-tiba ambruk ketika ratusan santri tengah melaksanakan salat asar berjamaah.

Bangunan tersebut runtuh hingga ke lantai dasar akibat pondasi dan struktur atap yang diduga tidak kuat menahan beban cor-coran yang saat itu sedang dikerjakan. Atas insiden ini, setidaknya lima orang santri dilaporkan tewas dan puluhan lainnya luka-luka.

Tragedi tersebut kembali menyoroti rapuhnya infrastruktur pendidikan berbasis masyarakat di banyak daerah di Indonesia. Kasus Sidoarjo bukanlah yang pertama. Sebelumnya, berbagai laporan tentang tidak layaknya bangunan pesantren juga bermunculan dari sejumlah daerah. Pertanyaannya, sejauh mana peran pemerintah dalam menjamin hak atas fasilitas ruang pendidikan yang aman dan layak bagi seluruh kalangan?

Alokasi dana terbatas

Kerapuhan infrastruktur pesantren bukan hanya terlihat di Sidoarjo. Pada April 2025, misalnya, tembok bak penampungan air di Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Magelang, roboh dan menimpa para santri. Empat orang meninggal dunia, sementara belasan lainnya luka-luka.

Namun, dukungan dana negara untuk pembangunan fasilitas pesantren yang relatif aman bagi para penghuninya dinilai masih sangat minim. Menurut data Kementerian Agama, terdapat lebih dari 42 ribu pesantren di Indonesia, tetapi hanya sebagian kecil yang memperoleh bantuan.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

"Alokasi bantuan sarana dan prasarana tidak seberapa. Tahun ini saja tidak sampai 100 pesantren yang mendapatkannya," kata Basnang Said, Direktur Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Kemenag.

Ia mengakui keterbatasan anggaran membatasi ruang gerak lembaganya. "Kami berharap pondok pesantren bisa mendapat alokasi lebih besar. Infrastruktur pesantren tidak bisa hanya mengandalkan Kemenag," tambahnya.

Keterbatasan anggaran membuat mayoritas pesantren bergantung pada dana swadaya. Salah satu pesantren Salafi di Purworejo, Jawa Tengah, misalnya, bertumpu pada dana swadaya untuk menutup kebutuhan operasional.

Muhammad Arrofiq, Ketua Yayasan Pondok Pesantren Mazro'atul Ulum, Purworejo, menuturkan, "bantuan pemerintah ada, tapi itu tidak semua pondok pesantren bisa mengakses dan tidak bisa menutupi semua kebutuhan juga." 

Pada 2024, Kemenag mengalokasikan Dana Abadi Pesantren Rp250 miliar untuk meningkatkan kapasitas lebih dari 42 ribu pesantren di Indonesia.Foto: Juni Kriswanto/AFP/Getty Images

Lebih lanjut, ia menjelaskan, dana bantuan pemerintah biasanya berupa hibah yang sifatnya stimulan. "Jadi bantuan tersebut tidak kemudian meng-cover seluruh pembangunan. Kalau kebutuhan pembangunan ratusan juta, bantuan yang turun paling hanya 20 persennya," ujar Arrofiq.

Ia menambahkan, persaingan mengakses bantuan pemerintah pun menjadi tantangan tersendiri. "Sering kali proposal tidak tembus karena kuotanya terbatas. Biasanya kuota bantuan hanya puluhan, sementara pengajuan datang dari ribuan pesantren di seluruh Indonesia," imbuhnya.

Pondok pesantren kerap dipandang sebelah mata

Ketergantungan pada dana swadaya membuat posisi pesantren, khususnya pesantren berbasis swadaya, semakin rapuh dalam menopang kebutuhan operasional. Menurut laporan Centre for Indonesian Policy Studies (CIPS), dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) hanya mampu menutup sekitar 7 persen kebutuhan anggaran pesantren. Sisanya, lebih dari 90 persen, ditanggung langsung oleh santri, donatur, dan para pengasuh.

Kondisi ini menciptakan kesenjangan. Pesantren besar biasanya masih bisa mengandalkan iuran lebih tinggi dari wali santri. Sebaliknya, pesantren kecil kerap enggan membebani orang tua sehingga bergantung pada infak, jariyah, atau bantuan sporadis dari donatur.

"Banyak pesantren kecil membangun seadanya. Yang penting berdiri, ada atapnya. Karena dana berasal dari swadaya, sementara tidak semua santri datang dari keluarga mampu," jelas Arrofiq.

Minimnya sokongan negara inilah yang membuat Ubaid Matraji, Koordinator Jaringan Pengamat Pendidikan Indonesia (JPPI), menilai pesantren kerap diperlakukan sebagai anak tiri dalam sistem pendidikan nasional. "Pemerintah memandang swasta dengan sebelah mata. Lembaga pendidikan swasta itu seperti pendidikan anak tiri, apalagi pesantren swasta, sering kali tidak dihitung sama sekali," ujarnya.

Standar infrastruktur minim pengawasan

Selain soal pendanaan, persoalan lain yang tak kalah mendasar adalah lemahnya pengawasan terhadap standar bangunan pesantren. Regulasi sebenarnya sudah jelas: setiap gedung wajib memenuhi standar keselamatan, kesehatan, dan ketahanan struktur sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2002 dan PP Nomor 36 Tahun 2005. Namun, penerapannya di lapangan sering jauh berbeda.

Basnang Said dari Kemenag mengakui bahwa pengawasan pembangunan belum dilakukan secara detail. "Kami tidak sampai mengecek lagi apakah pembangunan itu sesuai atau tidak, karena tanggung jawabnya kami serahkan kepada pengasuh pesantren," ujarnya.

Kondisi ini diakui pula oleh pengelola pesantren. Arrofiq menyebut, standar memang tetap ada, tetapi penerapannya bergantung pada sumber pendanaan. "Kalau bantuan dari pemerintah ada standarnya dan ada pengawasannya. Tapi kalau swadaya ya tetap ada, hanya diawasi internal pesantren sendiri," jelasnya.

Minimnya peran negara inilah yang membuat hak dasar santri atas ruang belajar aman masih terabaikan. Ubaid Matraji menilai akar masalah bukan hanya keterbatasan anggaran, melainkan rendahnya prioritas negara terhadap pesantren. "Pesantren tidak bisa hanya mengandalkan bantuan kecil. Pendidikan pesantren adalah bagian dari sistem pendidikan nasional, jadi pemerintah harus menjadikannya prioritas," ujarnya.

Ubaid mendorong Kemenag untuk berani menyajikan data rinci kepada Kementerian Keuangan dan Presiden agar pesantren mendapat alokasi lebih besar dalam RAPBN. "Jadi sebenarnya soalnya anggaran ini kita punya, poinnya ada di political will-nya," tegasnya. Ia menegaskan, tanpa perubahan orientasi politik anggaran, masalah serupa akan terus berulang.

Meski tragedi Sidoarjo menjadi pengingat pahit, peristiwa itu juga membuka ruang evaluasi lebih luas tentang bagaimana negara menjamin akses pendidikan yang aman bagi semua kalangan. Pesantren, sebagai bagian penting dari sejarah dan identitas pendidikan Indonesia, membutuhkan lebih dari sekadar bantuan sporadis. Muhammad Arrofiq mengingatkan bahwa pesantren kecil sangat butuh perhatian lebih. "Kalau hanya mengandalkan swadaya, mereka tidak akan bisa memenuhi kebutuhan infrastruktur yang layak," ujarnya.

Kritik senada disampaikan Ubaid Matraji, yang menilai kondisi pesantren swasta bahkan lebih buruk dibandingkan sekolah negeri yang sebagian besar bangunannya saja sudah rusak. Selama perhatian serius dan mekanisme pengawasan tak kunjung hadir, hak dasar jutaan santri untuk belajar di ruang yang aman berpotensi terus terabaikan.

Editor: Arti Ekawati

Fika Ramadhani Fika Ramadhani, jurnalis multi-media untuk Deutsche Welle Program Indonesia.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait