Referendum Perdagangan Bebas Swiss-Indonesia Bakal Ketat
4 Maret 2021
Para pemilih Swiss akan memutuskan setuju atau tidak dengan perjanjian perdagangan bebas Swiss-Indonesia lewat referendum. Ada isu minyak sawit, hasilnya diperkirakan bakal ketat.
Iklan
Para pemilih Swiss dalam sebuah referendum hari Minggu (7/3) akan memutuskan perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan Indonesia, yang akan menawarkan tarif lebih rendah untuk impor minyak sawit dari Indonesia ke Swiss. Pro-kontra soal minyak sawit diperkirakan akan membuat referendum ini berlangsung ketat.
Swiss sebelumnya sudah menandatangani pakta perdagangan dengan Indonesia pada 2018 bersama dengan kelompok European Free Trade Association (EFTA) lainnya, yaitu Islandia, Norwegia dan Liechtenstein.
Berdasarkan Perjanjian Perdagangan Bebas itu, kedua belah pihak secara bertahap akan mengurangi atau menghapus bea masuk atas produk industri. Untuk minyak sawit, Swiss akan menurunkan tarif sekitar 20% -40% hingga 12.500 ton per tahun, tetapi hanya jika standar keberlanjutan terpenuhi.
Indonesia adalah salah satu produsen minyak sawit terbesar dunia, bahan yang banyak digunakan dalam produk kosmetik, makanan, dan juga sebagai bahan bakar nabati. Minyak sawit menjadi sorotan dari para aktivis dan kelompok lingkungan, yang menganggapnya bertanggung jawab atas hilangnya hutan, kebakaran, dan eksploitasi pekerja.
Kubu pro lingkungan Swiss berhasil menuntut referendum
Parlemen Swiss sebetulnya telah meratifikasi kesepakatan tersebut pada tahun 2019, tetapi gerakan "Hentikan Minyak Sawit" - yang digalang terutama oleh Partai Hijau serta LSM lingkungan - berhasil menuntut penyelenggaraan referendum di bawah sistem demokrasi langsung yang berlaku di Swiss.
Iklan
Dalam jajak pendapat terbaru oleh lembaga peneliti pasar GFS Bern untuk stasiun siaran Swiss SRG, 52% pemilih Swiss mengatakan mereka bermaksud mendukung kesepakatan tersebut. Tetapi penentangnya juga banyak.
"Saya menentang perjanjian perdagangan bebas karena menghapus bea cukai yang diterapkan untuk mencegah persaingan tidak sehat di negara-negara berbiaya rendah,” kata Willy Cretegny, produsen anggur organik di Swiss barat yang memprakarsai referendum.
"Ini akan mengarah pada masyarakat yang membuang-buang sumber daya. Standar untuk melindungi lingkungan atau kesehatan dan keselamatan orang juga terlupakan,” jelasnya.
Muncul Tanda Bahaya SOS Raksasa di Perkebunan Sawit Sumatera
Seniman Lithuania 'mengukir' bekas perkebunan sawit jadi bertanda “SOS” di tepi hutan lindung Sumatera Utara sebagai ekspresi keprihatinannya atas kehancuran hutan di Indonesia.
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
Berdampak buruk bagi masyarakat dan spesies langka
Proyek 'Save Your Souls' karya seniman Lithuania, Ernest Zacharevic ini merupakan bagian dari kampanye keprihatiannya atas dampak perkebunan kelapa sawit terhadap komunitas dan spesies langka di Indonesia. Huruf “SOS” membentang setengah kilometer di lahan seluas 100 hektar di Bukit Mas, Sumatera Utara, dekat ekosistem Leuser.
Foto: All Is Amazing/Nicholas Chin
Tanda darurat di perkebunan sawit
"Saya ingin menyuarakan besarnya masalah dampak kelapa sawit," ujar Zacharevic yang membuat proyak tulisan tanda SOS raksasa di perkebunan di Sumatera Utara. "Proyek ini merupakan upaya untuk menarik kesadaran khalayak yang lebih luas." Proyek ini, bekerja sama dengan kelompok konservasi Sumatran Orangutan Society (SOS) yang berbasis masyarakat dan perusahaan kosmetik Lush.
Foto: All Is Amazing/Nicholas Chin
Mengumpulkan dana kampanye
Mereka mengumpulkan dana untuk membeli perkebunan melalui penjualan 14.600 sabun berbentuk orangutan tahun lalu. Tujuannya adalah, benar-benar menghijaukan kembali lahan itu, yang sekarang dimiliki oleh sayap organisasi SOS di Indonesia, The Orangutan Information Center (OIC), dengan bibit pohon asli. Akhirnya menghubungkan kawasan itu dengan lokasi penghijauan OIC terdekat.
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
Mengolah konsep dan bertindak
Zacharevic berbagi ide kreatif yang sangat berani: Ia bersama kami saat itu dan kebetulan saja tanah yang baru kami beli itu adalah kanvas instalasi yang sempurna, tulis SOS di situsnya. Sekitar seminggu, seniman ini bekerja di lahan itu, menyusun konsep dan akhirnya menebang 1.100 sawit untuk menguraikan pesan ini.
Foto: Tan Wei Ming
Menanam kembali hutan
Setelah menghijaukan kembali lahan itu,sayap organisasi SOS di Indonesia, The Orangutan Information Center (OIC), menanaminya lagi dengan dengan bibit pohon asli di habitat tersebut sebagai upaya penghijauan.
Foto: Skaiste Kazragyte
Jadi sorotan dunia
Sementara itu sang seniman mewujudkan konsep yang digodok bersama sebagai penanda daruratnya kondisi hutan di Indonesia yang banyak digunduli: SOS. Indonesia telah menjadi pusat perhatian dunia dalam upaya mengendalikan emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh penggundulan hutan lahan gambut untuk dijadikan perkebunan bagi industri seperti minyak sawit, pulp dan kertas.
Foto: Tan Wei Ming
Komitmen perusahaan-perusahaan
Tanda SOS ini muncul di tengah tekanan yang terus bergulir pada perusahaan kelapa sawit. PepsiCo dan perusahaan kosmetik Inggris Lush telah berkomitmen untuk mengakhiri penggunaan minyak kelapa sawit - yang ditemukan dalam beragam produk mulai dari sabun hingga sereal .
Foto: picture-alliance/dpa/V. Astapkovich
Meningkatkan transparansi
Sementara, awal tahun 2018 ini perusahaan raksasa Unilever mengatakan telah membuka informasi rantai pasokan minyak sawitnya untuk meningkatkan transparansi.
Foto: Getty Images
Masyarakat adat yang tersingkirkan
Hutan-hutan ini sering berada di daerah terpencil yang telah lama dihuni oleh masyarakat adat, yang mungkin tidak memiliki dokumen yang bisa membuktikan kepemilikan lahan atau dapat bersaing dalam akuisisi lahan di negara Asia Tenggara yang kaya sumber daya.
Foto: Skaiste Kazragyte
Flora dan fauna yang makin menghilang
Perluasan hutan juga menyebabkan berkurangnya populasi satwa liar. Cuma sekitar 14.600 orangutan yang tersisa di alam liar di Sumatera, demikian perkiraan para pemerhati lingkungan. "Kita semua berkontribusi terhadap dampak merusak dari minyak kelapa sawit yang tidak berkelanjutan, apakah itu dengan mengkonsumsi produk atau kebijakan pendukung yang mempengaruhi perdagangan," papar Zacharevic.
Para ahli lingkungan mengatakan pembukaan lahan untuk perkebunan pertanian di Indonesia, penghasil minyak sawit terbesar di dunia, bertanggung jawab atas kerusakan hutan. Penutupan hutan telah turun hampir seperempat luasnya sejak tahun 1990, demikian menurut data Bank Dunia. (ap/vlz/Ernest Zacharevic/SOS/rtr/leuserconservation/berbagai sumber)
Foto: All Is Amazing/Ernest Zacharevic
11 foto1 | 11
Posisi pro-kontra pemerintah Swiss vs. aktivis lingkungan
Kubu yang tidak setuju mengatakan, kesepakatan itu akan meningkatkan permintaan minyak sawit murah, menghancurkan hutan tropis dan memengaruhi produksi minyak nabati Swiss sendiri.
Sementara pemerintah Swiss mengimbau pemilih untuk menyetujui Perjanjian Perdagangan Bebas dengan Indonesia, dengan mengatakan perjanjian itu akan membuka peluang bagi ekonomi Swiss yang berorientasi ekspor ke pasar Indonesia yang tumbuh stabil. Selain itu, perjanjian ini dapat mempromosikan produksi minyak sawit yang lebih berkelanjutan, karena hanya minyak yang bersertifikat yang akan dapat menikmati pengurangan tarif.
Swiss memiliki lebih dari 30 perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara di luar Uni Eropa dan EFTA. Uni Eropa saat ini juga sedang merundingkan kesepakatan perdagangan bebas dengan Indonesia.