1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Refleksi Tragedi Amini

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
29 Oktober 2022

Sejak kematian Mahsa Amini, Iran terus bergolak. Berbagai aksi protes massa terjadi di mana-mana di "negeri para mullah” itu. Ribuan massa turun ke jalan.

Gambar UGC yang diposting di Twitter ini dilaporkan diambil pada tanggal 26 Oktober 2022 menunjukkan seorang wanita yang tidak berjilbab berdiri di atas kendaraan ketika ribuan orang berjalan menuju pemakaman di Saqez, kota asal Mahsa Amini di Provinsi Kurdistan, barat Iran , untuk menandai 40 hari sejak kematiannya, menentang langkah-langkah keamanan yang meningkat sebagai bagian dari tindakan keras terhadap protes yang dipimpin oleh perempuan. Foto: UGC/AFP

Bukan hanya kelompok feminis dan aktivis hak asasi manusia saja yang terlibat protes tetapi juga kaum perempuan, akademisi, dan masyarakat umum. Bentuk protes itu antara lain diekspresikan dengan aksi memotong rambut serta melepas, melempar, dan bahkan membakar (kain) hijab yang dilakukan oleh sekelompok perempuan yang simpati dengan Amini. Aksi protes tidak hanya terjadi di Iran tetapi di berbagai negara.

Yang lebih memilukan, bukan hanya sekedar protes tetapi juga diiringi dengan berbagai aksi kekerasan, baik kekerasan verbal (pelecehan, umpatan, penghinaan dan lain-lain) maupun kekerasan fisik (pencakaran, pemukulan, penyerangan dan lain-lain). Kekerasan terjadi karena pihak aparat dan otoritas pemerintah serta kelompok konservatif agama tidak terima aksi protes tersebut. Banyak video beredar di internet, media sosial termasuk YouTube yang merekam secara langsung aneka peristiwa kekerasan memilukan itu sebagai buntut dari kematian Amini. Hingga kini dikabarkan lebih dari 75 orang meninggal dalam aksi protes tersebut.  

Sejauh ini pihak pemerintah (kini di bawah Presiden Ibrahim Raisi) dan otoritas agama-politik konservatif Iran (dibawah kepemimpinan Ali Khamenei sebagai Supreme Leader sejak 1989 menggantikan Imam Khomeni) seperti biasa menuduh negara-negara Barat yang mendalangi aksi protes massa tersebut. Mereka tidak mau menyebut kata "protes” melainkan "kerusuhan”, "agitasi”, atau "provokasi” untuk menggulingkan kekuasaan dan pemerintah Iran. Bukan hanya Barat, belakangan mereka juga menuduh Faezah Hashemi, putri mantan Presiden Akbar Hashemi Rafsanjani, sebagai dalang aksi demonstrasi massa. Tak pelak ia pun ikut ditangkap pihak keamanan.

Tragedi Amini dan Ironi "Polisi Syariat”

Seperti diberitakan oleh berbagai media, Mahsa Amini menjadi korban kebrutalan "polisi moral” ("polisi syariat”) Iran saat ia mengunjungi keluarganya di Tehran. Dikabarkan kalau perempuan Kurdi ini ditangkap "polisi syariat” lantaran ia tidak memakai hijab "secara benar” sesuai dengan aturan berbusana (dress code) rezim konservatif Iran. Bukan hanya sekedar ditangkap, "polisi syariat” juga "menceramahi”, memaki, menyabet, memukul, menghajar, dan menyiksa Amini saat di mobil maupun di ruang tahanan yang kemudian menyebabkan kematiannya.

Tragedi yang menimpa Amini ini mengingatkan saya pada "Tragedi Makkah” dua puluhan tahun silam. Saat itu, "polisi syariat” Arab Saudi enggan menolong siswi-siswi madrasah yang terjebak kebakaran di dalam ruangan sekolah hanya karena mereka tidak mengenakan hijab atau tidak berbusana "secara syar'i”. Akibatnya, nyawa puluhan siswi pun melayang.

Seperti di Iran, tragedi Makkah ini juga menyulut kemarahan publik, baik masyarakat lokal maupun internasional. Peristiwa ini juga membuat Raja Abdullah (kala itu Abdullah masih putra mahkota tetapi defacto raja karena Raja Fahd, kakaknya, sakit-sakitan) murka yang kemudian mulai "mempreteli” wewenang "polisi syariat”. Kini, lembaga polisi syariat sudah dibubarkan.

Sebelum dibubarkan, aparat polisi syariat ini berkeliaran di mana-mana di tempat-tempat umum seperti jalan raya, mall, restoran, pasar, kereta api, kampus, dan lain-lain. Tugas "polisi syariat” ini mengawasi kalau ada perempuan yang tidak berhijab, tidak berhijab "secara benar”, tidak "berbusana syar'i” (misalnya, tidak memakai jilbab atau abaya gelombor warna hitam), atau kalau ada pemuda atau laki-laki dewasa yang duduk berdampingan dengan perempuan (tanpa ada anak-anak karena asumsinya kalau ada anak berarti keluarga) di retoran, transportasi umum dan ruang publik lainnya. Kalau polisi syariat mengetahui atau memergoki mereka, sudah pasti mereka akan "diceramahi” atau "digelandang” (hingga yang paling ekstrem disabeti). 

Dampak Ideologi "khomeinisme”

Saya membaca tragedi Amini ini sebagai buntut atau dampak dari ideologi militan-konservatif "khomeinisme.” Sebelum jatuh ke tangan Imam Khomeini tahun 1979, Iran merupakan negara yang sangat terbuka dan moderat dalam hal berbusana. Tidak ada "dress code” atau aturan berbusana secara ketat bagi perempuan. Tidak ada aturan tentang kewajiban memakai "busana Islami” atau "busana syar'i” atau kewajiban berhijab bagi perempuan.

Oleh karena itu perempuan Iran dulu banyak yang tak berhijab dan mengenakan busana kasual di ruang-ruang publik. Fenomena atau pemandangan ini berubah drastis setelah Imam Khomeini berkuasa. Hingga kini Iran masih dikuasai oleh rezim politik-agama konservatif yang menerapkan aturan sangat ketat dalam hal berbusana, khususnya bagi perempuan.

Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: DW/A. Purwaningsih

Ideologi "khomeinisme” di Iran ini sama dengan ideologi "talibanisme” di Afganistan. Sebelum rezim Taliban menguasai Afganistan pada pertengahan 1990an, perempuan Afganistan juga bebas mengenakan busana di ruang publik, tidak harus mengenakan hijab dan "busana syar'i” ala Taliban. Ketika mereka berkuasa, aturan hijab dan berbusana syar'i seperti yang mereka tafsiri pun diterapkan dan dipaksakan ke masyarakat, khususnya perempuan. Jika melanggar aturan yang mereka terapkan, sudah pasti "polisi syariat” akan menceramahi dan menyabeti mereka seperti yang menimpa Amini.

Peristiwa serupa juga terjadi di Arab Saudi saat ideologi "sahwaisme” diterapkan dan dipaksakan sejak awal 1980an atau "nimeirisme” di Sudan sejak 1980an. Jika khomeinisme masih berjaya, Sahwaisme dan Nimeirisme sudah tumbang. Akibatnya, aturan berbusana bagi perempuan pun cukup longgar, tidak seketat dulu. Sementara itu, Talibanisme kembali berkuasa setelah sebelumnya "mati suri” dibekukan oleh Amerika dan faksi moderat Afganistan.

Ribut Kulit, Lupa Isi

Salah satu ciri khas atau karakteristik mendadar kelompok militan-konservatif agama adalah suka meributkan kulit tapi melupakan isi. Dengan kata lain, mereka sibuk menerapkan tetek-bengek aturan yang sama sekali tidak penting dan tidak substansial (seperti soal jenis busana apa yang wajib dikenakan muslimah) sementara melupakan, mengabaikan, dan bahkan mengubur dalam-dalam berbagai ajaran substantif-fundamental agama seperti masalah kemanusiaan, pendidikan, keadilan sosial, pengentasan kemiskinan, perwujudan perdamaian, menghormati sesama, respek terhadap agama/kepercayaan lain, larangan berbuat kekerasan serta menyakiti dan menyerobot hak-hak orang lain, dan lain-lain.

Energi mereka habis terkuras mengurusi dan membuat aturan hal-hal yang remeh-temeh dan sepele seperti tentang "sehelai kain” dan "aurat” itu sementara berbagai persoalan penting dan mendasar menyangkut kemajuan intelektual, pengetahuan, ekonomi, teknologi, dan peradaban umat Islam nyaris tak tersentuh sama sekali. Dampaknya umat Islam tak kunjung maju dari keterpurukan. Padahal, jika dioptimalkan dan dikelola dengan baik dan benar, potensi umat Islam sangat besar untuk dijadikan sebagai salah satu agen/aktor kemajuan peradaban dunia.

Tetapi sangat disayangkan, mereka hanya "bergairah” mengikuti serta mendakwahkan (yang konon) "perintah” Tuhan untuk berhijab bagi muslimah sementara mereka diam seribu bahasa tak mau mengikuti dan mematuhi perintah-perintah Tuhan lainnya yang bertebaran dalam kitab suci dan teks agama mereka. Menjadi menarik untuk dipertanyakan: kenapa kelompok militan-konservatif agama begitu bersemangat dengan persoalan "perintah berhijab” ini sementara tidak tertarik dengan perintah-perintah lainnya?

Fenomena yang terjadi di kalangan umat Islam ini cukup kontras dengan apa yang terjadi di komunitas Yahudi atau Kristen. Jamak dimaklumi kalau kelompok perempuan ortodoks Yahudi (Haredi Burqa, Yahudi Yaman, Lev Tahor, dlsb) juga berhijab (dan bahkan sebagian mengenakan cadar). Mereka bahkan mengklaim kalau hijab itu adalah "syariat Yahudi.” Begitu pula perempuan Kristen ortodoks di Timur Tengah (Koptik, Maronite, Ortodoks Suriah, Kristen Etiopia, dlsb) maupun kawasan/belahan dunia lainnya juga mengenakan hijab atau apapun jenis/bentuk kain penutup kepala.

Tetapi menariknya, baik kelompok ortodoks Yahudi maupun Kristen tidak mengtransformasi ajaran normatif keagamaan tentang tata busana itu menjadi "kanon resmi” yang ketat (misalnya undang-undang atau Perda) dan diberlakukan untuk semua umat Yahudi/Kristen. Mereka juga tidak memaksakan aturan atau norma itu bagi umat Yahudi/Kristen lainnya yang tidak sepaham, sealiran, atau sehaluan dengan  mereka (misalnya kelompok non-ortodoks). Sebaliknya, kelompok ortodoks muslim begitu bersemangat untuk mendakwahkan, mengkampanyekan, "melembagakan”, "mengundangkan”, dan memaksakan ajaran normatif tentang hijab dan busana.    

Seandainya umat Islam fokus pada persoalan isi ketimbang kulit, tragedi Amini tak akan terjadi. Sungguh sangat disayangkan jika nyawa yang sangat berharga itu harus melayang sia-sia hanya karena persoalan sehelai kain dan busana. Peristiwa Amini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan bangsa Indonesia yang saat ini sudah mulai "keracunan” virus-virus ortodoksi, miltansi, dan konservatisme agama di berbagai sektor kehidupan.

 

Sumanto Al Qurtuby (Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals)

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

         

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait