1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Reformasi Pertanian, Kunci Atasi Kelaparan

16 April 2008

Reformasi di bidang pertanian diyakini merupakan strategi jitu dalam mengentaskan bencana kelaparan yang kini melanda dunia.

Kelaparan di Nigeria
Kelaparan di NigeriaFoto: AP

Dalam beberapa bulan terakhir, harga beras, roti atau jagung, yang merupakan makanan pokok di beberapa negara, melonjak. Dengan meroketnya harga bahan pangan ini, maka orang kesulitan untuk mendapatkan bahan pangan. Bencana kelaparan dan aksi protes di mana-mana tak terelakan.

Setiap tahunnya Program Pangan Dunia WFP, di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa, menyuplai jutaan ton beras bagi 73 juta orang di 78 negara. Namun dengan naiknya harga beras berikut bahan pangan lainnya, mereka mengaku cukup kewalahan. Belum lagi adanya pembatasan ekspor beras yang diberlakukan oleh berbagai negara.

Namun bukan hanya naiknya harga beras yang membuat WFP sakit kepala. Tingginya harga bahan bakar minyak BBM juga memperberat ongkos pengiriman bantuan pangan. Seperti misalnya di Afrika Barat.

Laporan agraria global menyebutkan bahwa hanya perubahan sistem pertanian secara menyeluruh yang dapat mengatasi krisis pangan saat ini. Selama tiga tahun, 400 ilmuwan mencoba mencari solusi mengatasi kelaparan. Namun membangun metode baru sistem pertanian tentunya membutuhkan uang yang tidak sedikit. Menteri Pembangunan Jerman Heidemarie Wieczorek-Zeul mengatakan, pemerintah Jerman menambah bantuan 10 juta Euro dalam membantu program penanggulangan bencana kelaparan dunia.

"Ini merupakan tindakan bantuan bagi 30-an negara berkembang yang terkena bencana kelaparan dan membutuhkan bantuan."

Untuk itu, menurutnya perlu dipikirkan lagi dalam menggunakan tumbuhan sebagai bahan bakar kendaraan.

"Kenaikan harga bahan pangan tambahan ini terjadi antara 30 hingga 70 persen yang diakibatkan oleh proyek bahan bakar dari produk pertanian. Tentu kita tidak bisa membiarkan begitu saja orang-orang di negara itu kelaparan."

Seperti misalnya apa yang terjadi di Indonesia, Thailand, Vietnam maupun India. Banyak lahan pertanian yang kini beralih menjadi perkebunan bagi tanaman bio diesel. Demikian dingkapkan oleh pimpinan WFP di Berlin, Ralf Südhoff.

"Kami mengamati, di mana-mana telah terjadi persaingan anatara bahan bakar bio dengan produk bahan pangan di dunia pertanian. Contohnya saja yang terjadi di Asia, di Indonesia, kini perkebunan kelapa sawit menggantikan lahan persawahan. Dengan begitu, pasokan beras berkurang. Misalnya negara seperti Filipina yang tergantung pada impor beras dan sekarang harus membayar mahal."

Naiknya harga beras telah mengundang aksi protes di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, Mesir, Pantai Gading, Kamerun, Mauritania, Etiopia, Madagaskar dan Filipina. Dalam situasi yang sulit ini, pedaganglah yang mengeruk keuntungan. Untuk itu harus diwaspadai agar tidak terjadi penimbunan. Demikian diungkapkan oleh Presiden Eksportir Thailand, Chookiat Opaswongse.

"Seperti misalnya agen penyalur maupun pedagang lokal, yang sebenarnya tidak berkecimpung dalam bisnis beras, mereka datang ke petani dan membeli langsung, menimbunnya di belakang rumah atau menyewa gudang atau dimana saja. Dan dengan penimbunan itu, pengiriman beras ke pasar jadi berkurang."

Saat ini, sekitar 30-an negara menghadapi krisis pangan yang cukup parah. Demikian laporan Organisasi Pangan dan Pertanian FAO, terutama di beberapa negara di Afrika dan Haiti.(ap)