Reformasi adalah sebuah eksperimen kolosal menyelamatkan Indonesia dari cekikan Orde Baru yang kian hari kian menyesakkan kala itu. Hasilnya apa? Keberhasilan kolosal? Atau kegagalan kolosal? Opini Geger Riyanto.
Iklan
Beberapa hal yang pasti adalah Suharto lengser. Militer tak lagi seleluasa sebelumnya merogohkan tangannya ke ranah bisnis dan politik. Para anak dan kerabat Cendana tak lagi mengkapling-kapling Indonesia seakan milik keluarganya sendiri—sekurangnya, tidak secara terbuka.
Akan tetapi, nyaris setiap orang yang saya jumpai mengevaluasi reformasi menyimpan cibiran terhadapnya. Reformasi tak berhasil menghalau elite-elite predator, katanya. Konglomerasi bisnis dan politik membajak demokrasi yang seharusnya membuka corong-corong bagi rakyat. Pengambil manfaatnya, alih-alih warga kebanyakan, adalah pemain-pemain lama dan baru yang cukup cerdik mengeksploitasi celah-celah fatal tatanan yang terbangun.
Lantas, pada mutasinya yang lebih lanjut, kebebasan berekspresi dan berorganisasi malah melepas lebar-lebar katup-katup mobokrasi. Kekuasaan kini ada di tangan massa terbanyak—mereka yang dapat mengintimidasi bukan hanya warga melainkan juga penegak hukum. Dan kekuasaan yang lebih tinggi lagi ada di tangan mereka yang dapat mengendalikan massa ini—mereka yang dapat menggugah sentimen agama dan suku massa atau yang punya uang untuk menggerakkannya.
Dua puluh tahun berselang setelah Reformasi,para pencibirnya ada di mana-mana. Rakyat, yang diperjuangkan dalam tuntutan-tuntutannya, lebih menghendaki kembalinya rezim sewenang-wenang yang sudah dilengserkannya.
Tak Sekadar Menjatuhkan Diktator
Anda masih ingat dengan revolusi Mesir? Bagaimana rakyat Mesir bersatu-padu menumbangkan Hosni Mubarak dari kursi yang didudukinya dengan otoriter sepanjang tiga puluh tahun? Unjuk rasa besar-besaran di Plasa Tahrir tersebut baru saja merebak tempo hari—Januari 2011. Namun, rakyat Mesir kini sudah kembali hidup digentayangi ancaman dan intimidasi politik. Pemilu hanya diikuti oleh partai-partai pro-Abdel Fatah al-Sisi, presiden petahana. Para aktivis politik ditahan. Yang kurang beruntung, menghilang.
Tahun 2017, Mubarak, yang digugat berkonspirasi membunuh 239 pengunjuk rasa, mengutil uang negara puluhan juta dolar, bahkan sudah dibebaskan. Tidak ada kegaduhan apa pun mengikuti pelepasannya.
Mesir dan Indonesia tentu saja adalah dua spesies yang berbeda. Mesir pun, boleh jadi, merupakan contoh yang berlebihan, apalagi untuk disama-samakan dengan Indonesia. Akan tetapi, ada kebenaran yang tak bisa sembarangan kita tampik dari kemirisan yang mengemuka di atas: melengserkan rezim oligarki tak sama dengan melengserkan sosok yang menjadi wajahnya.
Rezim oligarki boleh jadi memiliki wajah—Soeharto dan keluarganya, katakanlah. Namun, wajahnya bukanlah badannya. Kala sosok yang menjadi wajah dari rezim jatuh, kita masih akan berhadapan dengan pihak-pihak yang berusaha menganyam bangunan kekuasaan baru dari remah-remah kekuasaan yang berhasil dipungutnya.
Daftar Pelanggaran HAM yang Belum Terselesaikan
Sejumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia berat tersandung oleh sikap batu lembaga negara. Kejaksaan Agung seringkali menjadi kuburan bagi keadilan. Inilah sebagian kasus besar yang masih menjadi PR buat pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images/Dewira
Tragedi Trisakti
Pada 12 Mei 1998 demonstrasi mahasiswa menuntut pengunduran diri Suharto memuncak di kampus Universitas Trisakti, Jakarta. Komnas HAM mencatat jumlah korban kekerasan oleh aparat keamanan mencapai 685 orang, sementara tiga meninggal dunia akibat tembakan. Ironisnya berkas penyelidikan yang dikirimkan ke Kejaksaan Agung dinyatakan hilang pada Maret 2008 oleh Jampidsus Kemas Yahya Rahman.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. husni
Semanggi Berdarah
Kejaksaan Agung di bawah kendali Hendarman Supandji menjadi jalan buntu pengungkapan kasus pelanggaran HAM 1998. Berkas laporan Komnas HAM terhadap kasus kekerasan aparat yang menewaskan 17 orang (Semanggi I) dan melukai 127 lainnya pada November 1998 menghilang tak berbekas. Setahun berselang tragedi kembali berulang, kali ini korban mencapai 228 orang.
Foto: picture alliance/dpa
Hilangnya Widji Tukul
Satu per satu aktivis pro demokrasi menghilang tanpa jejak menjelang runtuhnya kekuasaan Suharto, termasuk di antaranya Widji Thukul. Ia diduga diculik aparat keamanan setelah dinyatakan buron sejak peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli 1996 (Kudatuli). Kasus Widji Thukul mewakili puluhan aktivis yang sengaja dilenyapkan demi kekuasaan.
Foto: Wahyu Susilo
Pembantaian 1965
Antara 500.000 hingga tiga juta nyawa simpatisan PKI melayang di tangan militer dan penduduk sipil setelah kudeta yang gagal pada 1965. Hingga kini upaya pengungkapan tragedi tersebut tidak pernah menyentuh pelaku. Adalah sikap membatu TNI yang melulu menjadi sandungan bagi penuntasan tragedi 1965.
Petaka di Wamena
Tragedi Wamena berawal dari penyerangan gudang senjata oleh orang tak dikenal yang menewaskan 2 anggota TNI pada April 2003. Aksi penyisiran yang kemudian dilakukan aparat menewaskan 9 penduduk sipil, sementara 38 luka berat. Seperti kasus sebelumnya, laporan penyelidikan Komnas HAM ditolak Kejagung dengan alasan tidak lengkap. TNI juga dituding menghalangi penyelidikan kasus tersebut.
Foto: picture-alliance/AP/dpa/A. Vembrianto
Pembunuhan Munir
Sosok yang sukses membongkar pelanggaran HAM berat oleh Tim Mawar dan mengakhiri karir Danjen Kopassus Prabowo Subianto ini meninggal dunia setelah diracun dalam perjalanan menuju Belanda. Pollycarpus Budihari Priyanto dinyatakan bersalah dan divonis 14 tahun penjara. Namun hingga kini kejaksaan sulit memburu tersangka utama yakni Muchdi Pr. yang dikenal dekat dengan Prabowo.
Foto: AFP/Getty Images/Dewira
6 foto1 | 6
Dan tahu apa? Reformasi tak sekadar menyisakan remah-remah bagi para pemain kekuasaan di masa mendatang. Ia menyisakan gelondongan-gelondongan kue besar yang menanti disantap. Indikasinya jelas. Sangat jelas, bahkan. Golkar, partai yang menjadi kaki-kaki rezim Orde Baru, ambil saja, masih senantiasa menggayung suara terbesar dalam pemilu-pemilu dua dasawarsa terakhir.
Tentu saja, kita tak bisa dengan naif membayangkan "Golkar baru," yang ramai dikampanyekan dengan slogan merdu "bersatu untuk maju" di awal reformasi, mengandalkan cara yang benar-benar "baru" untuk memenangkan kontestasi. Dengan platform politik yang sumir dan mengawang, agaknya lebih bisa dipercaya bahwa yang tetap marak diberdayakan untuk menuai suara adalah jejaring perkronian lokal, politik uang dan balas budi, serta intimidasi.
Dan mengapa kalaupun partai-partai baru bermunculan, banyak dari antara yang mencetak sukses adalah yang diampu oleh para veteran partai beringin? Lantaran cara-cara "tradisional” masih ampuh, saya percaya.
Lantas, praktik-praktik bisnis militer. Kepelikan-kepelikan ini tak pernah benar-benar terurai. Selepas pada tahun 2009 proses divestasi bisnis militer diakui sudah rampung oleh pihak militer, yayasan dan koperasi militer masih memiliki saham di perusahaan-perusahaan serta menjajakan jasa keamanan kepada mereka. Yayasan Kartika Eka Paksi, satu contoh saja, masih terus menjalin kemitraan dengan perusahaan Arta Graha Tommy Winata. Mereka, artinya, masih terus dipercaya untuk menjamin keamanan perusahaan tersebut.
Prahara Mei 1998
Mei 1998 menjadi arus balik dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Tapi bulan berdarah itu hingga kini masih menyisakan sejumlah pertanyaan tak terjawab perihal keterlibatan militer.
Foto: Juni Kriswanto/AFP/Getty Images
Kebangkitan Mahasiswa
Mai 1998 menandai perputaran sejarah Indonesia. Berawal dari ketidakpuasan rakyat atas kenaikan harga kebutuhan pokok, mahasiswa mulai bergerak memrotes pemerintahan Suharto. Saat itu presiden kedua Indonesia itu baru saja terpilih secara aklamasi oleh parlemen untuk ketujuh kalinya. MPR berdalih, kepemimpinan Suharto dibutuhkan di tengah krisis moneter yang melanda.
Foto: picture-alliance/dpa
Protes dari Kampus
Bibit protes sebenarnya sudah bermunculan sejak pengangkatan Suharto sebagai Presiden RI pada Maret 1998. Namun karena sebatas di wilayah kampus, aksi tersebut masih dibiarkan oleh militer. Kendati begitu bentrokan dengan aparat keamanan tetap tak terelakkan.
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad
Titik Api di Sumatera
Awalnya cuma sekelompok kecil mahasiswa yang berdemonstrasi menentang pemilihan ulang Suharto. Namun ketika pemerintah menaikkan harga barang pokok pada 4 Mai, rakyat kecil pun ikut terlibat. Penjarahan pertama muncul di Medan yang tidak berlangsung lama, tapi menjalar ke berbagai daerah.
Foto: Getty Images/AFP/P. Richards
Bara di Jakarta
Pada 9 Mei, sehari setelah kerusuhan Medan berakhir, Jakarta mulai bergolak. Tapi Suharto terbang ke Kairo untuk menghadiri KTT G15. Dia pulang lebih dini saat kerusuhan di Jakarta memasuki fase paling mematikan. Pada 12 Mei, 10.000 mahasiswa berkumpul di kampus Trisakti. Saat itu empat mahasiswa, Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Heriyanto dan Hendriawan Sie tewas tertembak peluru polisi.
Foto: picture-alliance/AP Images
Protes dari Luar Negeri
Peristiwa berdarah di Indonesia juga disimak oleh aktivis kemanusiaan asing dan mahasiswa Indonesia di mancanegara. Berbagai aksi protes digelar di Australia, Jerman, Belanda, Inggris (gambar), Swedia, Perancis dan Amerika Serikat.
Foto: Getty Images/AFP/J. Eggitt
Bergerak ke Senayan
Hingga tanggal 13 Mei kepolisian masih berupaya membarikade kampus-kampus di Jakarta untuk mencegah mahasiswa keluar. Sebagian yang berhasil menerobos, berkumpul di berbagai titik untuk kemudian bergerak ke arah Senayan. Momentum terbesar adalah ketika ribuan mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR.
Foto: picture-alliance/dpa
Api di Klender
Termakan amarah lantaran mendengar kabar mahasiswa yang tewas ditembak, massa kembali melakukan aksi penjarahan di beberapa sudut kota. Yang terparah terjadi di kawasan Klender, di mana massa membarikade dan membakar gedung Yogya Department Store. Sekitar 1000 orang yang terjebak di dalam tewas seketika.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Pahit Orde Baru
Aksi pendudukan mahasiswa terhadap gedung MPR/DPR dan tekanan internasional memaksa Presiden Suharto undur diri dari jabatannya. Diktatur yang berkuasa selama 32 tahun itu menyisakan republik yang carut marut oleh kasus korupsi dan pelanggaran HAM. Sesaat setelah pengunduran diri Suharto, Wapres B.J. Habibie memulai 517 hari perjalanannya membawa Indonesia kembali ke pangkuan demokrasi.
Foto: picture alliance/CPA Media
Saling Tuding di TNI
Tragedi 1998 menyisakan pertanyaan besar buat TNI. Bekas Pangkostrad, Prabowo Subianto diduga ikut mendalangi kerusuhan, berdasarkan temuan tim Gabungan Pencari Fakta. Bekas Jendral bintang tiga itu kemudian dipecat oleh Presiden Habibie menyusul isu kudeta yang disebarkan Panglima ABRI Wiranto. Prabowo sebaliknya menuding Wiranto lah yang mengeluarkan perintah agar TNI menyulut kerusuhan berdarah
Saya masih bisa menyajikan pusparagam contoh yang tak kalah menarik. Namun, semoga pokok perkara yang ingin saya tunjukkan sudah cukup terang. Kita, perkaranya, tak pernah sekadar bergelut dengan sosok-sosok penguasa jahat. Apa yang kita hadapi adalah sebentuk kekuasaan yang uzur, alot, dan sudah mendampingi manusia sepanjang sejarahnya: oligarki.
Dan ketika yang berkuasa adalah segelintir aktor lama dengan jubah-jubah baru—atau aktor baru dengan modus lama—tak heran bila lambat-laun kita diseret kembali ke masa silam yang otoriter. Nyatanya, kedigdayaan militer kini tengah didengung-dengungkan lagi. Kepemimpinan tegas, yang sulit dibedakan dengan lalim, tengah didamba-dambakan. Kerinduan terhadap Orde Baru tengah diembuskan ke segala arah. Sebuah kebetulan? Rasanya tidak.
Kita, setidaknya, kini masih menikmati beberapa warisan penting Reformasi. Kita masih memiliki kebebasan mengkritik hingga taraf tertentu. Kita masih dapat menggalang gerakan ketika penekan kekuasaan dibutuhkan. Namun, seiring waktu berjalan, sulit diterka apakah warisan-warisan ini akan bertahan atau pudar diterpa kekuatan otoriter baru.
Eksperimen kolosal Reformasi mungkin tak seutuhnya berhasil. Tetapi, kita tak seharusnya membiarkannya seutuhnya gagal pula.
Penulis: Geger Riyanto (ap/vlz) esais dan peneliti. Tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Kopassus Dalam Pusaran Sejarah
Dalam sejarahnya Komando Pasukan Khsusus banyak terlibat menjaga keutuhan NKRI. Tapi di balik segudang prestasi, tersimpan aib yang menyeret Kopassus dalam jerat pelanggaran HAM.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Heroisme Baret Merah
Tidak ada kekuatan tempur lain milik TNI yang memancing imajinasi heroik sekental Kopassus. Sejak didirikan pada 16 April 1952 buat menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan, satuan elit Angkatan Darat ini sudah berulangkali terlibat dalam operasi mengamankan NKRI.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Kecil dan Mematikan
Dalam strukturnya yang unik, Kopassus selalu beroperasi dalam satuan kecil dengan mengandalkan serangan cepat dan mematikan. Pasukan elit ini biasanya melakukan tugas penyusupan, pengintaian, penyerbuan, anti terorisme dan berbagai jenis perang non konvensional lain. Untuk itu setiap prajurit Kopassus dibekali kemampuan tempur yang tinggi.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mendunia Lewat Woyla
Nama Kopassus pertamakali dikenal oleh dunia internasional setelah sukses membebaskan 57 sandera dalam drama pembajakan pesawat Garuda 206 oleh kelompok ekstremis Islam, Komando Jihad, tahun 1981. Sejak saat itu Kopassus sering dilibatkan dalam operasi anti terorisme di Indonesia dan dianggap sebagai salah satu pasukan elit paling mumpuni di dunia.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Terjun Saat Bencana
Segudang prestasi Kopassus membuat prajurit elit Indonesia itu banyak dilirik negeri jiran untuk mengikuti latihan bersama, di antaranya Myanmar, Brunei dan Filipina. Tapi tidak selamanya Kopassus cuma diterjunkan dalam misi rahasia. Tidak jarang Kopassus ikut membantu penanggulangan bencana alam di Indonesia, seperti banjir, gempa bumi atau bahkan kebakaran hutan.
Foto: picture-alliance/dpa
Nila di Tanah Seroja
Namun begitu Kopassus bukan tanpa dosa. Selama gejolak di Timor Leste misalnya, pasukan elit TNI ini sering dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat. Tahun 1975 lima wartawan Australia diduga tewas ditembak prajurit Kopassus di kota Balibo, Timor Leste. Kasus yang kemudian dikenal dengan sebutan Balibo Five itu kemudian diseret ke ranah hukum dan masih belum menemukan kejelasan hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Pengawal Tahta Penguasa
Jelang runtuhnya ejim Orde Baru, Kopassus mulai terseret arus politik dan perlahan berubah dari alat negara menjadi abdi penguasa. Pasukan elit yang saat itu dipimpin oleh Prabowo Subianto ini antara lain dituding menculik belasan mahasiswa dan menyulut kerusuhan massal pada bulan Mei 1998.
Foto: picture-alliance/dpa
Serambi Berdarah
Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan hingga 12.000 orang tewas selama operasi militer TNI di Aceh antara 1990-1998. Sebagaimana lazimnya, prajurit Kopassus berada di garda terdepan dalam perang melawan Gerakan Aceh Merdeka itu. Sayangnya hingga kini belum ada kelanjutan hukum mengenai kasus pelanggaran HAM di Aceh.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Neraka di Papua
Papua adalah kasus lain yang menyeret Kopasus dalam jerat HAM. Berbagai kasus pembunuhan aktivis lokal dialamatkan pada prajurit baret merah, termasuk diantaranya pembunuhan terhadap Theys Eluay, mantan ketua Presidium Dewan Papua. Tahun 2009 silam organisasi HAM, Human Rights Watch, menerbitkan laporan yang berisikan dugaan pelanggaran HAM terhadap warga sipil oleh Kopassus.