1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Reformasi Sebagai Eksperimen Kolosal

Geger Riyanto
21 Mei 2018

Reformasi adalah sebuah eksperimen kolosal menyelamatkan Indonesia dari cekikan Orde Baru yang kian hari kian menyesakkan kala itu. Hasilnya apa? Keberhasilan kolosal? Atau kegagalan kolosal? Opini Geger Riyanto.

Taman Reformasi adalah inisiatif mahasiswa Universitas Trisakti dan diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pada tahun 2014 agar Api Reformasi terus menyala.
Taman Reformasi adalah inisiatif mahasiswa Universitas Trisakti dan diresmikan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pada tahun 2014 agar Api Reformasi terus menyala. Foto: Monique Rijkers

Beberapa hal yang pasti adalah Suharto lengser. Militer tak lagi seleluasa sebelumnya merogohkan tangannya ke ranah bisnis dan politik. Para anak dan kerabat Cendana tak lagi mengkapling-kapling Indonesia seakan milik keluarganya sendiri—sekurangnya, tidak secara terbuka.

Akan tetapi, nyaris setiap orang yang saya jumpai mengevaluasi reformasi menyimpan cibiran terhadapnya. Reformasi tak berhasil menghalau elite-elite predator, katanya. Konglomerasi bisnis dan politik membajak demokrasi yang seharusnya membuka corong-corong bagi rakyat. Pengambil manfaatnya, alih-alih warga kebanyakan, adalah pemain-pemain lama dan baru yang cukup cerdik mengeksploitasi celah-celah fatal tatanan yang terbangun.

Penulis: Geger RiyantoFoto: Privat

Lantas, pada mutasinya yang lebih lanjut, kebebasan berekspresi dan berorganisasi malah melepas lebar-lebar katup-katup mobokrasi. Kekuasaan kini ada di tangan massa terbanyak—mereka yang dapat mengintimidasi bukan hanya warga melainkan juga penegak hukum. Dan kekuasaan yang lebih tinggi lagi ada di tangan mereka yang dapat mengendalikan massa ini—mereka yang dapat menggugah sentimen agama dan suku massa atau yang punya uang untuk menggerakkannya.

Dua puluh tahun berselang setelah Reformasi,para pencibirnya ada di mana-mana. Rakyat, yang diperjuangkan dalam tuntutan-tuntutannya, lebih menghendaki kembalinya rezim sewenang-wenang yang sudah dilengserkannya.

Tak Sekadar Menjatuhkan Diktator

Anda masih ingat dengan revolusi Mesir? Bagaimana rakyat Mesir bersatu-padu menumbangkan Hosni Mubarak dari kursi yang didudukinya dengan otoriter sepanjang tiga puluh tahun? Unjuk rasa besar-besaran di Plasa Tahrir tersebut baru saja merebak tempo hari—Januari 2011. Namun, rakyat Mesir kini sudah kembali hidup digentayangi ancaman dan intimidasi politik. Pemilu hanya diikuti oleh partai-partai pro-Abdel Fatah al-Sisi, presiden petahana. Para aktivis politik ditahan. Yang kurang beruntung, menghilang.

Tahun 2017, Mubarak, yang digugat berkonspirasi membunuh 239 pengunjuk rasa, mengutil uang negara puluhan juta dolar, bahkan sudah dibebaskan. Tidak ada kegaduhan apa pun mengikuti pelepasannya.

Mesir dan Indonesia tentu saja adalah dua spesies yang berbeda. Mesir pun, boleh jadi, merupakan contoh yang berlebihan, apalagi untuk disama-samakan dengan Indonesia. Akan tetapi, ada kebenaran yang tak bisa sembarangan kita tampik dari kemirisan yang mengemuka di atas: melengserkan rezim oligarki tak sama dengan melengserkan sosok yang menjadi wajahnya.

Rezim oligarki boleh jadi memiliki wajah—Soeharto dan keluarganya, katakanlah. Namun, wajahnya bukanlah badannya. Kala sosok yang menjadi wajah dari rezim jatuh, kita masih akan berhadapan dengan pihak-pihak yang berusaha menganyam bangunan kekuasaan baru dari remah-remah kekuasaan yang berhasil dipungutnya.

Dan tahu apa? Reformasi tak sekadar menyisakan remah-remah bagi para pemain kekuasaan di masa mendatang. Ia menyisakan gelondongan-gelondongan kue besar yang menanti disantap. Indikasinya jelas. Sangat jelas, bahkan. Golkar, partai yang menjadi kaki-kaki rezim Orde Baru, ambil saja, masih senantiasa menggayung suara terbesar dalam pemilu-pemilu dua dasawarsa terakhir.

Tentu saja, kita tak bisa dengan naif membayangkan "Golkar baru," yang ramai dikampanyekan dengan slogan merdu "bersatu untuk maju" di awal reformasi, mengandalkan cara yang benar-benar "baru" untuk memenangkan kontestasi. Dengan platform politik yang sumir dan mengawang, agaknya lebih bisa dipercaya bahwa yang tetap marak diberdayakan untuk menuai suara adalah jejaring perkronian lokal, politik uang dan balas budi, serta intimidasi.

Dan mengapa kalaupun partai-partai baru bermunculan, banyak dari antara yang mencetak sukses adalah yang diampu oleh para veteran partai beringin? Lantaran cara-cara "tradisional” masih ampuh, saya percaya.

Lantas, praktik-praktik bisnis militer. Kepelikan-kepelikan ini tak pernah benar-benar terurai. Selepas pada tahun 2009 proses divestasi bisnis militer diakui sudah rampung oleh pihak militer, yayasan dan koperasi militer masih memiliki saham di perusahaan-perusahaan serta menjajakan jasa keamanan kepada mereka. Yayasan Kartika Eka Paksi, satu contoh saja, masih terus menjalin kemitraan dengan perusahaan Arta Graha Tommy Winata. Mereka, artinya, masih terus dipercaya untuk menjamin keamanan perusahaan tersebut.

Baca juga:

Kerusuhan Mei 1998, Menolak Lupa!

Mei 1998, Cerita Anda

Kembalinya Aktor Lama

Saya masih bisa menyajikan pusparagam contoh yang tak kalah menarik. Namun, semoga pokok perkara yang ingin saya tunjukkan sudah cukup terang. Kita, perkaranya, tak pernah sekadar bergelut dengan sosok-sosok penguasa jahat. Apa yang kita hadapi adalah sebentuk kekuasaan yang uzur, alot, dan sudah mendampingi manusia sepanjang sejarahnya: oligarki.

Dan ketika yang berkuasa adalah segelintir aktor lama dengan jubah-jubah baru—atau aktor baru dengan modus lama—tak heran bila lambat-laun kita diseret kembali ke masa silam yang otoriter. Nyatanya, kedigdayaan militer kini tengah didengung-dengungkan lagi. Kepemimpinan tegas, yang sulit dibedakan dengan lalim, tengah didamba-dambakan. Kerinduan terhadap Orde Baru tengah diembuskan ke segala arah. Sebuah kebetulan? Rasanya tidak.

Kita, setidaknya, kini masih menikmati beberapa warisan penting Reformasi. Kita masih memiliki kebebasan mengkritik hingga taraf tertentu. Kita masih dapat menggalang gerakan ketika penekan kekuasaan dibutuhkan. Namun, seiring waktu berjalan, sulit diterka apakah warisan-warisan ini akan bertahan atau pudar diterpa kekuatan otoriter baru.

Eksperimen kolosal Reformasi mungkin tak seutuhnya berhasil. Tetapi, kita tak seharusnya membiarkannya seutuhnya gagal pula.

Penulis: Geger Riyanto (ap/vlz) esais dan peneliti. Tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait