Warga Iran memberikan suara hari Jumat (28/06) dalam pemilihan presiden. Satu-satunya kandidat reformis bertujuan membuat terobosan melawan kubu konservatif yang terpecah.
Tidak ada kandidat reformis atau moderat yang disetujui untuk pemilihan presiden terakhir Iran tiga tahun lalu.
Namun tahun ini Dewan Wali, badan resmi yang memiliki wewenang memilih dan mengesahkan para kandidat, mengizinkan Masoud Pezeshkian, yang merupakan seorang reformis, untuk mencalonkan diri melawan kubu konservatif yang didominasi oleh ketua parlemen Mohammad Bagher Ghalibaf dan mantan perunding nuklir Saeed Jalili.
Pemungutan suara ini dilakukan di tengah ketegangan tinggi antara republik Islam ini dengan musuh bebuyutannya, Israel dan Amerika Serikat, seiring berkecamuknya perang Gaza..
Siapakah yang menjadi calon terdepan?
Dari 83,5 juta penduduk Iran, sekitar 61 juta di antaranya memenuhi syarat untuk memilih. Namun, survei terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 30 juta orang - sekitar setengah dari jumlah pemilih - tidak ingin menggunakan hak pilihnya.
Kekuasaan Berdarah Ayatollah Khomeini
Ayatollah Khomeini mengobarkan revolusi 1979 buat mengakhiri kekuasaan monarki yang represif dan sarat penindasan. Ironisnya negara agama yang ia dirikan justru menggunakan cara-cara serupa untuk bisa bertahan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/FY
Reformasi Setengah Hati
Iran pada dekade 1970an mengalami perubahan besar lewat "Reformasi Putih" yang digenjot Syah Reza Pahlevi. Program yang antara lain berisikan reformasi agraria dan pendidikan itu sebenarnya diarahkan untuk mempersempit pengaruh kaum Mullah dan tuan tanah. Namun Reformasi Putih menciptakan ketegangan sosial yang justru ingin dihindari pemerintah. Seluruh negeri tiba-tiba bergejolak.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Monarki Tanpa Oposisi
Iran pada era Pahlevi membungkam oposisi lewat penculikan, pembunuhan, penyiksaan dan eksekusi mati. Pada demonstrasi massal 1963, sekitar 15.000 mahasiswa tewas terbunuh. Antara 1971 hingga Revolusi Islam 1979, sebanyak 100 tokoh oposisi melepas nyawa di tiang gantungan. Sampai 1975 pemerintah menahan hampir semua jurnalis, seniman, sastrawan, ulama dan akademisi yang bersimpati pada oposisi
Foto: picture alliance/Herbert Rowan
Arus Balik Khomeini
Ayatollah Khomeini yang awalnya mendukung kekuasaan terbatas Monarki Iran, berbalik arah memperkenalkan sistem pemerintahan Islam berbasis kekuasaan Ulama, Wilayatul Faqih. Oleh Pahlevi ia dikucilkan. Putra Khomeini, Mostafa, dibunuh oleh pasukan rahasia Syah Iran, Savak, setahun sebelum revolusi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/FY
Sekulerisme Islam
Namun begitu Khomeini tidak serta merta membangun pemerintahan Mullah di tahun pertama revolusi. Sebaliknya ia mengakui peran kelas menengah dalam menjatuhkan Pahlevi dengan membentuk pemerintahan sekuler di bawah tokoh liberal dan moderat Mehdi Bazargan (gambar) sebagai perdana menteri dan kemudian Abolhassan Banisadr yang merupakan aktivis HAM Iran.
Foto: Iranian.com
Kebangkitan Islam Militan
Tapi menguatnya militansi pengikut Khomeini yang ditandai dengan penyerbuan Kedutaan Besar Amerika Serikat menyudahi peran kaum liberal. Terutama sejak perang Iran-Irak, Khomeini banyak memberangus oposisi. Antara 1981 dan 1985, pemerintah Islam Iran mengeksekusi mati 7900 simpatisan oposisi.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Pengkhianatan Ayatollah
Untuk mempertahankan idenya tentang kekuasaan Ulama, Khomeini tidak cuma mengucilkan perdana menterinya sendiri, ia juga memenjarakan ulama besar Syiah, Ayatollah Sayid Muhammad Kazim Shariatmadari (gambar) dengan tudingan makar dan calon penggantinya, Ayatollah Hossein-Ali Montazeri karena menentang tindakan represif pemerintah.
Foto: tarikhirani.ir
Dekade Berdarah
Dekade 1980-an menandai kekuasaan berdarah Khomeini. Dalam Tribunal Iran, PBB menuding rejim Islam Iran melakukan "pelanggaran berat Hak Azasi Manusia." Selama tahun 1980-an, sebanyak 20.000 tahanan politik meninggal dunia di penjara dan lusinan media diberangus paksa.
Foto: sarafsazan.com
Derita di Balik Jeruji
Pengadilan Kejahatan HAM Iran yang digelar di Den Haag tahun 2012 silam mengungkap berbagai kesaksian mantan tapol. Sebagian besar mengabarkan penyiksaan di penjara, antara lain digantung terbalik selama berhari-hari dan dipaksa melihat adegan penyiksaan terhadap rekannya, serta dikurung di sel isolasi tanpa sinar matahari selama berminggu-minggu.
Foto: iranwebgard.ir
Eksekusi Massal
Hingga kini Iran menjadi salah satu negara dengan jumlah hukuman mati tertinggi di dunia terhadap tahanan politik. Setahun menjelang kematiannya (3 Juni 1989), Khomeini menggulirkan gelombang eksekusi massal terhadap tokoh oposisi. Tidak jelas berapa jumlah tahanan politik yang tewas. Sebuah sumber menyebut jumlah tapol yang dieksekusi mati mencapai 30.000 orang.
Foto: picture-alliance/dpa
9 foto1 | 9
Penindasan politik, krisis ekonomi dan upaya reformasi yang gagal dalam beberapa dekade terakhir telah membuat mereka kecewa dengan rezim yang didominasi oleh para ulama.
Saeed Jalili, salah satu kontestan pemilu yang merupakan seorang mantan negosiator nuklir ultrakonservatif yang dikenal karena sikap anti-Baratnya yang tanpa kompromi. Ia dianggap sebagai kandidat dari kubu ultrakonservatif garis keras.
Jajak pendapat menunjukkan bahwa meskipun Jalili pada awalnya unggul atas para pesaingnya, kandidat yang relatif moderat, Masoud Pezeshkian justru kini memimpin dalam pemilihan.
Pezeshkian adalah seorang ahli bedah jantung yang pernah menjabat sebagai menteri kesehatan Iran dari tahun 2001 hingga 2005 di bawah Presiden Mohammed Khatami, yang dikenal sebagai seorang tokoh reformis.
Pezeshkian juga mengasosiasikan dirinya dengan mantan pemerintahan Presiden Hassan Rouhani yang relatif moderat, yang mencapai kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 dengan negara-negara besar dunia.
Sebuah jajak pendapat baru-baru ini memproyeksikan bahwa Pezeshkian akan menerima 24,4% suara.
Tahun 2021 Pezeshkian sudah ingin mencalonkan diri sebagai presiden, namun saat itu Dewan Wali menolak pencalonannya.
Beberapa orang melihat keputusan panel untuk mengizinkannya mencalonkan diri sebagai presiden kali ini sebagai taktik untuk menarik lebih banyak orang untuk memberikan suara mereka, dalam upaya mendapatkan legitimasi untuk pemungutan suara.
Iklan
Harapan baru sayap reformis
Pencalonan Pezeshkian, yang sampai saat ini relatif tidak dikenal, telah menghidupkan kembali harapan-harapan bagi sayap reformis Iran setelah bertahun-tahun didominasi oleh kubu konservatif dan ultrakonservatif.
Presiden reformis terakhir Iran, Mohammad Khatami, memujinya sebagai sosok yang "jujur, adil, dan penuh perhatian".
Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei bersikeras bahwa "kandidat yang paling memenuhi syarat" haruslah "orang yang benar-benar percaya pada prinsip-prinsip Revolusi Islam" pada tahun 1979 yang menggulingkan monarki yang didukung olehAmerika Serikat.
Khamenei menambahkan, presiden berikutnya harus memungkinkan Iran "untuk bergerak maju tanpa bergantung pada negara-negara asing", meskipun ia menambahkan bahwa Iran tidak boleh "memutuskan hubungannya dengan dunia".
Pezeshkian telah mendesak upaya-upaya untuk menyelamatkan perjanjian tersebut dan mencabut sanksi-sanksi yang melumpuhkan.
"Apakah kita harus selamanya memusuhi Amerika, atau apakah kita bercita-cita untuk menyelesaikan masalah kita dengan negara ini?" tanyanya.
Isu kontroversial perlakuan brutal aparat terhadap para pengunjuk rasa setelah demonstrasi besar-besaran menyusul kematian Jina Mahsa Amini, wanita 22 tahun, pada September 2022 dalam tahanan polisi, setelah dia ditangkap karena tuduhan tidak menutup rambutnya dengan hijab.
Tindakan keras terhadap protes-protes ini meninggalkan keretakan yang mendalam di dalam masyarakat Iran dan semakin memperparah kelelahan pemilih secara umum di negara tersebut.
Pourmohammadi, satu-satunya kandidat dari kalangan ulama, mengatakan bahwa "dalam situasi apa pun kita tidak boleh memperlakukan perempuan Iran dengan kejam".
Pertarungan untuk mendapatkan legitimasi
Dalam rezim Islam Iran, presiden bukanlah kepala negara, melainkan hanya kepala pemerintahan, meskipun dipilih melalui hak pilih universal. Otoritas sebenarnya terletak pada pemimpin tertinggi negara, yang sejak 1989 dijabat oleh Ayatollah Ali Khamenei.
Dunia Hitam Putih Ali Khamenei
Ayatollah Ali Khamenei adalah loyalis garis keras konsep Wilayatul Faqih yang diwariskan Khomeini. Demi gagasan itu pula ia rela membunuh ribuan aktivis dan memenjarakan ulama-ulama besar Syiah yang tidak sependapat.
Foto: azzahra
Mullah Tak Dikenal
Di hari-hari revolusi Iran melawan Syah Reza Pahlevi, seorang jurnalis kiri bernama Houshang Asadi mendapati dirinya menempati sebuah sel kecil bersama seorang mullah tak dikenal di penjara Moshtarek. Mereka lalu menjalin persahabatan. Ketika Asadi dibebaskan, keduanya menangis sembari berpelukan. Sang Mullah pun berbisik "jika Islam berkuasa, tidak ada lagi tangisan kaum tak berdosa."
Foto: Inn.ir
Pengkhianatan Seorang Teman
Dua puluh tahun kemudian mullah yang sama memerintahkan penangkapan Asadi lantaran dugaan pengkhianatan. Jurnalis itu disiksa dan diancam hukuman mati karena bekerja untuk koran kiri dan berideologi Komunis. Nama sang mullah adalah Sayid Ali Hosseini Khamenei, aktivis revolusi yang kemudian menjadi presiden dan kelak diangkat sebagai pemimpin spiritual Iran.
Foto: Getty Images/AFP/A. Joe
Loyalitas Absolut
Penggalan kisah dari Moshtarek itu menggambarkan sosok Khamenei yang loyal dan berani melakukan apapun untuk melindungi warisan mentornya, Ayatollah Khomeini. Ia tidak hanya memerintahkan pembunuhan terhadap ribuan aktivis dan politisi, tetapi juga berani melucuti kekuasaan ulama-ulama besar Syiah lain yang berani mempertanyakan legitimitas kekuasaannya.
Foto: Fararu.com
Pertikaian Para Ulama
Padahal Khamenei bukan pilihan pertama Khomeini buat menjaga warisan revolusi berupa sistem kekuasaan para Mujtahid, Wilayatul Faqih. Status tersebut awalnya diserahkan pada Ayatollah Hussein-Ali Montazeri. Terlepas dari loyalitasnya, Khamenei memiliki kelemahan besar. Dia bukan seorang Ayatollah dan sebabnya tidak memenuhi syarat mengemban otoritas tertinggi dalam Islam.
Foto: www.amontazeri.com
Roda Nasib Berputar
Karir Khamenei berubah ketika Montazeri mulai mengritik tindak-tanduk Khomeini memberangus suara-suara yang bertentangan. Puncaknya adalah ketika sang pemimpin revolusi memerintahkan Dewan Ulama Qum mencabut gelar keagamaan Ayatollah Kazem Shariatmadari dan menutup sekolahnya lantaran mengritik penyanderaan pegawai Kedutaan Besar AS di Teheran. Sejak itu Montazeri menjadi musuh Wilayatul Faqih
Foto: Khamenei.ir
Tahta Tanpa Gelar
Dinamika ini menempatkan Khamanei, seorang Mujtahid kelas menengah yang lebih sering berjuang melawan rejim Pahlevi ketimbang mempelajari ilmu agama, dalam posisi teratas daftar pewaris Khomeini. Ia buru-buru dideklarasikan sebagai pemimpin spiritual tanpa pernah mengenyam pendidikan tinggi untuk menjadi Ayatollah. Gelar itu baru disematkan padanya setelah beberapa tahun berkuasa
Foto: Nahand.info
Gurita Kekuasaan Khamenei
Sejumlah pengamat meyakini, Khamenei dipilih lantaran dianggap mudah dikendalikan. Kendati cerdas dan memiliki riwayat panjang revolusi, dia dinilai tidak memiliki karisma seorang Khomeini. Namun sang imam perlahan membangun basis kekuasaan absolut dengan menggandeng Garda Revolusi dan menempatkan perwakilan di hampir setiap lembaga penting pemerintah.
Foto: Khamenei.ir
Melawan Ulama
Serupa Khomeini, ia juga aktif memberangus suara-suara yang bertentangan, bahkan memenjarakan sejumlah ulama besar yang tidak mendukung konsep Wilayatul Faqih seperti Ayatollah al-Shirazi, Hassan Tabatabaei Qomi, Montazeri dan Ayatollah Jooybari. Sebab itu pula Wilayatul Faqih gagal diterapkan di Irak lantaran ditolak oleh Ayatollah Al-Sistani, ulama Syiah paling berpengaruh di negeri jiran.
Foto: Jamnews
Pertikaian Sunyi Kekuasaan Absolut
Kini Khamenei berada di ujung usia. Berulangkali dia menghilang dari hadapan publik dan dirawat di rumah sakit. Sang pemimpin besar digosipkan menderita kanker prostata. Panggung politik Iran pun tenggelam dalam pertikaian sunyi merebutkan kekuasaan absolut. Khamenei yang belum siap membawa Iran keluar dari gaung revolusi diyakini akan menunjuk sosok yang juga loyal pada warisan Khomeini.
Foto: ISNA
9 foto1 | 9
Khamenei juga memiliki pengaruh terhadap Dewan Wali, yang memutuskan kandidat yang boleh mencalonkan diri sebagai presiden.
Dalam praktiknya, hal ini berarti bahwa hanya mereka yang setia pada sistem teokrasi yang diizinkan untuk mengikuti pemilu.
Dengan cara ini, penguasa Iran berusaha untuk mendapatkan legitimasi melalui pemilihan umum, meskipun pilihan kandidat yang tersedia untuk publik tetap terbatas.