1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikMesir

Rekonsiliasi di Mesir Tanpa Ikhwanul Muslimin?

29 Juli 2022

Presiden Mesir Abdel Fatah al Sisi menawarkan rekonsiliasi nasional kepada oposisi, dengan iming-iming pembebasan tahanan politik. Meski demikian, undangan serupa tidak berlaku buat Ikhwanul Muslimin.

Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi
Presiden Mesir Abdel Fattah al-SisiFoto: Soeren Stache/dpa/picture alliance

Sembilan tahun setelah menjatuhkan pemerintahan sipil di Kairo, Jendral Abdel Fattah al-Sisi melancarkan dialog politik demi rekonsiliasi. Dalam pertemuan yang diatur ketat itu, hampir semua kelompok oposisi diundang, kecuali Ikhwanul Muslimin

Pertemuan yang dicanangkan pada April lalu itu akan digelar dalam beberapa pekan ke depan. Sejak mengkudeta Presiden Mohamed Mursi pada 2013, al-Sisi menanggalkan seragam militer dan menjelma menjadi pemimpin sipil.

Kini dia membidik konsensus damai tanpa Ikhwanul Muslimin. Sebagai langkah pertama, Presiden al-Sisi membentuk komite amnesti untuk mengkaji ulang status ribuan tapol yang dibui di tahun-tahun pertama kekuasaannya. 

Pembebasan tapol dinilai sebagai ujian pertama bagi rekonsiliasi Nasional. Ia membuka peluang meluruskan apa yang oleh oposisi disebut sebagai represi politik paling brutal di Mesir sejak beberapa dekade terakhir.

Namun Sektretaris Jendral Ikhwanul Muslimin, Ibrahim Munir, mengatakan dialog tidak akan ampuh jika mengucilkan sebagian kelompok. Dalam wawancaranya dengan Reuters, dia menyebut niat damai al-Sisi tidak serius.

"Dialog memang benar-benar dibutuhkan,” katanya, "tapi ia harus melibatkan semua pihak.”

Pemerintah Mesir sendiri mengaku tidak bisa mengundang Ikhwanul Muslimin karena  punya jejak rekam "yang bersimbah darah.”

Senja di langit Ikhwanul Muslimin 

Gerakan yang dulu disegani itu memenangkan pemilu pertama di Mesir pasca kejatuhan diktatur Hosni Mubarrak, tahun 2012. Namun pemerintahan Musri dikudeta militer satu tahun kemudian. Al-sisi memanfaatkan gelombang protes massal yang menolak kebijakan kontroversial Ikhwanul Muslimin (IM).

Sejak itu, ribuan tokoh dan simpatisan IM dibui atau terpaksa bersembunyi di pengasingan. Kepada Reuters, Sekjen IM Ibrahim Munir mengaku organisasinya kini tidak lagi berambisi merebut kekuasaan.

"Kami sama sekali menolak kekerasan karena meyakininya bukan bagian dari ideologi Ikhwanul Muslimin – tidak hanya menggunakan kekerasan atau senjata, tapi upaya merebut kekuasaan di Mesir dalam berbagai bentuk,” kata dia.

Munir yang kini berusia 85 tahun sudah dua kali mendekam di penjara Mesir, yakni pada dekade 1950-an dan 1960-an. Tokoh yang sejak 40 tahun terakhir hidup di pengasingan itu sudah menyintasi masa-masa sulit bersama organisasi yang didirikan Hassan al-Banna itu. 

Kendati demikian, dia mengaku represi di bawah al-Sisi merupakan ujian terberat bagi IM sejak pendiriannya lebih dari 90 tahun lalu. "Saat ini situasinya jauh lebih sulit ketimbang masa lalu,” ujarnya, yang memperkirakan sekitar 6.000 anggota Ikhwanul Muslimin masih berada di penjara.

Rekonsiliasi di Mesir setengah hati?

Pemerintah Mesir menampilkan dialog di Kairo sebagai fase baru kekuasaan al-Sisi. Ia dicanangkan ketika dunia Arab mulai kewalahan menghadapi dampak ekonomi perang di Ukraina. Belum lama ini, Kairo memublikasikan strategi penegakan HAM, yang banyak ditafsirkan sebagai upaya melobi dunia Barat.

Bagi oposisi Mesir, tawaran dialog oleh al-Sisi setidaknya berpotensi menciptakan "budaya baru keterbukaan,” kata Amr Hamzawy, bekas anggota parlemen yang kini pensiun dari politik. 

Dia menyambut adanya "gagasan bahwa kita bisa duduk bersama dan bersilang pendapat tanpa ada yang dituduh penghianat, atau dipertanyakan patriotisme dan motifnya...”

Optimisme tertahan Hamzawy bukan tak beralasan. Baru-baru ini, Komisi Hak dan Kebebasan Mesir melaporkan laju pembebasan tapol antara April dan Juni tidak berbeda dengan dua tahun terakhir. Pemerintah juga tercatat masih membui musuh politik dengan jumlah yang hampir sama seperti gelombang pembebasan yang dicanangkan al-Sisi.

"Satu-satunya keuntungan,” dari dialog rekonsiliasi di Mesir "adalah bahwa pemerintah akhirnya mengakui bahwa masalah tahanan politik harus ditanggulangi,” kata Mohamed Lotfy, Direktur Komisi Hak dan Kebebasan. 

rzn/hp (rtr,ap)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait