Rekonstruksi Ukraina sebagai Negara 'Paling Bebas' di Eropa
5 Juli 2022
Presiden Volodymyr Zelenskyy melalui rekaman video pada Senin (04/07) malam memperingatkan dunia agar tidak menunggu sampai akhir invasi militer Rusia untuk mulai membangun kembali infrastruktur Ukraina yang hancur.
Iklan
Presiden Volodymyr Zelenskyy mengatakan perlu untuk mulai persiapan menghadapi musim dingin dari sekarang, paling tidak dalam hal memastikan pasokan energi yang dapat diandalkan. Hal itu ia katakan mengingat puluhan ribu rumah yang hancur akibat invasi pasukan Rusia, berhasil direbut kembali oleh pasukan Ukraina.
Zelenskyy mengatakan sebagian besar ekonomi Ukraina telah terhenti akibat perang, seraya menambahkan rekonstruksi Ukraina harus lebih dari sekadar membangun kembali tembok.
"Ukraina harus menjadi negara paling bebas, paling modern, dan paling aman di Eropa," upcap Zelenskyy.
Presiden Ukraina itu hanya sedikit membahas serangkaian tindakan militer Rusia baru-baru ini di wilayah Donbass, yang membuat pasukan Ukraina terpaksa meninggalkan kota Lysychansk pada akhir pekan, ketika pasukan Rusia merebut kendali mereka atas wilayah Luhansk.
Pasukan Ukraina menimbulkan kerugian pada militer Rusia setiap hari, Zelenskyy menekankan: "Kita harus menghancurkan mereka." Ini akan memakan waktu dan "usaha manusia super," katanya, seraya menambahkan bahwa tidak ada alternatif lain jika masa depan Ukraina ingin lebih aman.
Iklan
Ukraina usulkan rekonstruksi pakai aset Rusia yang disita
Perdana Menteri Ukraina Denys Shmyhal pada hari Senin (04/07) menyarankan agar aset Rusia yang disita sebagai akibat dari sanksi Barat untuk digunakan membiayai rekonstruksi pascaperang Ukraina.
"Aset beku Rusia menurut berbagai perkiraan berkisar antara 300 hingga 500 miliar dolar AS," kata Shmyhal kepada delegasi Konferensi Pemulihan Ukraina di kota Lugano, Swiss, Senin (04/07).
"Otoritas Rusia melancarkan perang berdarah ini, mereka menyebabkan kehancuran besar-besaran, dan mereka harus bertanggung jawab atas itu," tambah Shmyhal, seraya mengatakan bahwa Ukraina akan membutuhkan sekitar 750 miliar dolar AS untuk membangun kembali infrastrukturnya setelah perang.
Mereka yang hadir dalam Konferensi Internasional Pemulihan Ukraina di Swiss, termasuk Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, berjanji bahwa Uni Eropa siap membantu Ukraina mendanai rekonstruksi.
"Eropa memiliki tanggung jawab khusus dan kepentingan strategis untuk berada di pihak Ukraina di setiap langkah," kata von der Leyen dalam konferensi tersebut.
Menjelang pertemuan, para ahli telah memperingatkan bahwa upaya rekonstruksi sangat dibutuhkan, meskipun yang lain memperingatkan bahwa penyitaan aset Rusia dengan cara seperti itu akan bermasalah secara hukum.
"Ukraina adalah negara besar, banyak yang telah hancur...Anda tidak dapat segera mulai merencanakan dan mengoordinasikan rekonstruksi," ujar Markus Berndt, Kepala Departemen Eksternal Bank Investasi Eropa, kepada dpa.
Ukraina sangat membutuhkan bantuan untuk mengamankan layanan dasar seperti air bersih, pembuangan limbah, energi, dan akses internet untuk memastikan stabilitas makroekonomi, kata Berndt.
"Kami membutuhkan investasi, jika tidak ekonomi akan runtuh sepenuhnya dan kemudian kami akan kehilangan pilar terpenting untuk rekonstruksi," tambahnya.
Rusia dan Ukraina: Kronik Perang yang Tidak Dideklarasikan
Akar konflik antara Rusia dan Ukraina sangat dalam. Semuanya diyakini bermuara pada keengganan Rusia untuk menerima kemerdekaan Ukraina.
Foto: Maxar Technologies via REUTERS
Berkaitan, tetapi tak sama
Ketegangan antara Rusia dan Ukraina memiliki sejarah sejak Abad Pertengahan. Kedua negara memiliki akar yang sama, pembentukan negara-negara Slavia Timur. Inilah sebabnya mengapa Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut kedua negara itu sebagai "satu orang". Namun, sebenarnya jalan kedua negara telah terbagi selama berabad-abad, sehingga memunculkan dua bahasa dan budaya — erat, tapi cukup berbeda.
Foto: AP /picture alliance
1990-an, Rusia melepaskan Ukraina
Ukraina, Rusia, dan Belarus menandatangani perjanjian yang secara efektif membubarkan Uni Soviet pada Desember 1991. Moskow sangat ingin mempertahankan pengaruhnya di kawasan itu dan melihat Persemakmuran Negara-Negara Merdeka (CIS) yang baru dibentuk sebagai alat untuk melakukannya. Sementara Rusia dan Belarus membentuk aliansi yang erat, Ukraina semakin berpaling ke Barat.
Foto: Sergei Kharpukhin/AP Photo/picture alliance
Sebuah perjanjian besar
Pada tahun 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani Treaty on Friendship, Cooperation and Partnership, yang juga dikenal sebagai "Perjanjian Besar". Dengan perjanjian ini, Moskow mengakui perbatasan resmi Ukraina, termasuk semenanjung Krimea,kawasan hunian bagi mayoritas etnis-Rusia di Ukraina.
Krisis diplomatik besar pertama antara kedua belah pihak terjadi, saat Vladimir Putin jadi Presiden Rusia masa jabatan pertama. Pada musim gugur 2003, Rusia secara tak terduga mulai membangun bendungan di Selat Kerch dekat Pulau Tuzla Ukraina. Kiev melihat ini sebagai upaya Moskow untuk menetapkan ulang perbatasan nasional. Konflik diselesaikan usai kedua presiden bertemu.
Foto: Kremlin Pool Photo/Sputnik/AP Photo/picture alliance
Revolusi Oranye
Ketegangan meningkat selama pemilihan presiden 2004 di Ukraina, dengan Moskow menyuarakan dukungannya di belakang kandidat pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Namun, pemilihan itu dinilai curang. Akibatnya massa melakukan Revolusi Oranye atau demonstrasi besar-besaran selama 10 hari dan mendesak diadakannya pemilihan presiden ulang.
Foto: Sergey Dolzhenko/dpa/picture alliance
Dorongan bergabung dengan NATO
Pada tahun 2008, Presiden AS saat itu George W. Bush mendorong Ukraina dan Georgia untuk memulai proses bergabung dengan NATO, meskipun ada protes dari Presiden Rusia Vladimir Putin. Jerman dan Prancis kemudian menggagalkan rencana Bush. Pada pertemuan puncak NATO di Bucharest, Rumania, akses dibahas, tetapi tidak ada tenggat waktu untuk memulai proses keanggotaan.
Foto: John Thys/AFP/Getty Images
Tekanan ekonomi dari Moskow
Pendekatan ke NATO tidak mulus, Ukraina melakukan upaya lain untuk meningkatkan hubungannya dengan Barat. Namun, musim panas 2013, beberapa bulan sebelum penandatanganan perjanjian asosiasi tersebut, Moskow memberikan tekanan ekonomi besar-besaran pada Kiev, yang memaksa pemerintah Presiden Yanukovych saat itu membekukan perjanjian. Aksi protes marak dan Yanukovych kabur ke Rusia.
Foto: DW
Aneksasi Krimea menandai titik balik
Saat kekuasaan di Kiev kosong, Kremlin mencaplok Krimea pada Maret 2014, menandai awal dari perang yang tidak dideklarasikan antara kedua belah pihak. Pada saat yang sama, pasukan paramiliter Rusia mulai memobilisasi pemberontakan di Donbas, Ukraina timur, dan melembagakan "Republik Rakyat" di Donetsk dan Luhansk. Setelah pilpres Mei 2014, Ukraina melancarkan serangan militer besar-besaran.
Gesekan di Donbass terus berlanjut. Pada awal 2015, separatis melakukan serangan sekali lagi. Kiev menuding pasukan Rusia terlibat, tetapi Moskow membantahnya. Pasukan Ukraina menderita kekalahan kedua, kali ini di dekat kota Debaltseve. Mediasi Barat menghasilkan Protokol Minsk, sebuah kesepakatan dasar bagi upaya perdamaian, yang tetap belum tercapai hingga sekarang.
Foto: Kisileva Svetlana/ABACA/picture alliance
Upaya terakhir di tahun 2019
KTT Normandia di Paris pada Desember 2019 adalah pertemuan langsung terakhir kalinya antara Rusia dan Ukraina. Presiden Vladimir Putin tidak tertarik untuk bertemu dengan Presiden Volodymyr Zelenskyy. Rusia menyerukan pengakuan internasional atas Krimea sebagai bagian dari wilayahnya, menuntut diakhirinya tawaran keanggotaan NATO bagi Ukraina dan penghentian pengiriman senjata ke sana. (ha/as)
Foto: Jacques Witt/Maxppp/dpa/picture alliance
10 foto1 | 10
Fokus Putin setelah merebut Lysychansk
Ketika para pemimpin Barat di Lugano melihat ke masa depan, Presiden Rusia Vladimir Putin tetap sangat fokus pada perang yang terjadi saat ini, seraya mengumumkan bersama Menteri Pertahanan Sergei Shoigu bahwa pasukannya akan melanjutkan "operasi khusus" mereka di Ukraina setelah merebut kota Lysychansk pada Minggu (03/07).
Shoigu mengatakan bahwa lebih dari 2.200 tentara Ukraina telah tewas dan lebih dari 3.200 terluka dalam pertempuran untuk Luhansk, meskipun tidak ada cara untuk memverifikasi angka-angka itu secara independen.