AS Sebut Remdesivir Punya Dampak Signifikan Lawan Corona
30 April 2020
Antivirus Remdesivir, yang sebelumnya gagal dalam uji coba klinis terhadap Ebola, disebut memiliki dampak signifikan yang mampu mempercepat pemulihan pasien COVID-19. Pasien disebut sembuh 31% lebih cepat.
Iklan
Pasien positif COVID-19 yang menggunakan antivirus remdesivir pulih sekitar 30 persen lebih cepat daripada mereka yang menggunakan plasebo, demikian hasil uji klinis utama yang dilaporkan oleh ilmuwan AS pada Rabu (30/04). Potensi terobosan ini memicu harapan global untuk bisa segera kembali normal dari krisis corona.
Temuan ini menjadi yang pertama, di mana ada obat yang terbukti memberikan efek positif dalam perlawanan terhadap penyakit COVID-19, yang telah merenggut lebih dari 220.000 nyawa secara global dan menghentikan perekonomian dunia.
Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular AS (NIAID), lembaga yang mengawasi pengujian klinis tersebut mengatakan bahwa pasien yang menggunakan obat yang diproduksi oleh Gilead Sciences itu memiliki waktu pemulihan 31% lebih cepat dibanding pasien yang menggunakan plasebo.
“Secara khusus waktu rata-rata pemulihan bagi pasien yang diobati dengan remdesivir adalah 11 hari, sementara bagi mereka yang menerima plasebo adalah 15 hari,” sebut NIAID, seperti dikutip dari kantor berita AFP.
Anthony Fauci, ilmuwan yang memimpin NIAID dan salah satu orang terpenting pemerintah AS selama krisis ini, mengatakan bahwa “data uji klinis tersebut menunjukkan bahwa remdesivir memiliki dampak positif yang jelas dan signifikan dalam mempercepat waktu pemulihan.”
“Meskipun peningkatannya hanya 31%, ini menjadi sebuah bukti konsep yang sangat penting karena terbukti ada obat yang mampu memblokir virus ini,” ujar Fauci kepada wartawan di Gedung Putih.
Tingkat kematian pasien lebih kecil
Hasil uji klinis juga menunjukkan bahwa tingkat kematian pasien yang diberikan remdesivir lebih kecil dibandingkan dengan kelompok yang diberikan plasebo, yaitu 8% bagi kelompok remdesivir dan 11,6% untuk kelompok plasebo.
Uji klinis terhadap obat itu sudah dimulai sejak 21 Februari dengan melibatkan 1.063 orang di 68 lokasi berbeda yang tersebar di Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Asia. Baik pasien maupun dokter yang menangani mereka tidak tahu mereka dikategorikan dalam kelompok yang mana, dimaksudkan untuk menghilangkan bias yang tidak disadari.
Presiden AS Donald Trump, menggambarkan berita itu sebagai sebuah “peristiwa positif”. Ia lantas mendukung otorisasi penggunaan darurat untuk obat tersebut, sehingga akan memungkinkan dokter memberikan resepnya lebih luas.
Sementara itu, Daniel O’Day, CEO dari Gilead Sciences, laboratorium produsen remdesivir, mengatakan bahwa perusaannya berencana menyumbangkan 1,5 juta dosis yang ada dalam persediaan mereka. Jumlah tersebut cukup untuk merawat setidaknya 140.000 pasien. Perusahaan kemudian akan menjual obat dengan harga “terjangkau”, demikian kata O’Day kepada situs berita kesehatan Stat.
Linimasa Penyebaran Virus Corona Secara Global
Setelah kasus virus corona dikonfirmasi Cina akhir Desember 2019, wabah menyebar jadi pandemi. Sejumlah negara sudah memberlakukan lockdown. Sekarang lebih1,2 juta terinfeksi Covid-19 dan hampir 70.000 meninggal.
Foto: picture-alliance/dpa/SOPA Images/A. Marzo
Virus Corona Baru Diidentifikasi
Ilmuwan Cina pada 7 Januari mengumumkan, berhasil identifikasi virus corona jenis baru yang menyerang Wuhan dan memicu infeksi paru-paru yang kemudian diberi nama SARS-CoV-2. Berbeda virus corona pemicu SARS sebelumnya, virus baru menyerang saluran pernafasan bawah. Gejala penyakitnya: demam, batuk kering, kesulitan bernafas dan paru-paru berisi cairan.
Foto: Reuters/Str
Jutaan Warga Dikarantina
Cina mengkarantina Wuhan pada 23 Januari dalam upaya membatasi penyebaran virus corona. Pekerja berupaya untuk segera membangun rumah sakit baru untuk merawat pasien terinfeksi, yang jumlahnya lebih dari 830 orang dan jumlah kematian yang meningkat menjadi 26 orang pada 24 Januari. Para pejabat akhirnya memperluas lockdown ke 13 kota lain, yang memengaruhi setidaknya 36 juta orang.
Foto: AFP/STR
Jerman Batasi Kontak Sosial
Pada tanggal 27 Januari, Jerman mengumumkan kasus virus corona pertama yang teridentifikasi. Pasiennya seorang pria berusia 33 tahun di Bayern yang kontak langsung dengan rekan kerja dari Cina selama pelatihan di tempat kerja. Tanggal 22 Maret Jerman umumkan lockdown parsial dan sosial distancing. Tanggal 6 April, John Hopkins konformasi lebih 100.000 kasus di Jerman dengan lebih 1.500 kematian.
Foto: Reuters/A. Uyanik
Italia Berlakukan Lockdown
Kasus infeksi Covid-19 di Italia meningkat secara dramatis. Pada 3 Maret dikonfirmasi 77 kematian dan ribuan kasus infeksi corona. Pada 8 Maret, pemerintah Italia memerintahkan “lockdown“ seluruh kawasan Lombardy yang berpenghuni 16 juta orang. Italia pada 5 April masih memegang rekor jumlah infeksi dan kematian terbanyak di Eropa, dengan lebih 128.000 kasus dan lebih 15.000 kematian.
Foto: Reuters/R. Casilli
Ekonomi Terjun Bebas
Pasar saham Eropa dan AS anjlok pada 6 Maret, menjadi minggu terburuk sejak krisis keuangan 2008. Efek pandemi pada bisnis global sangat signifikan. Banyak perusahaan melaporkan kerugian. Sektor industri pariwisata dan maskapai penerbangan terpukul. 10 Maret, Uni Eropa menjanjikan dana investasi sebesar € 7,5 miliar ($ 8,4 miliar) untuk mencoba menghentikan zona euro merosot ke situasi resesi.
Foto: picture-alliance/Jiji Press/M. Taguchi
WHO Deklarasikan Pandemi
Ketika kasus terinfeksi di seluruh dunia mencapai 127.000 orang dan 4.700 korban meninggal, Organisasi Kesehatan Dunia pada 11 Maret menyatakan wabah global ini sebagai "pandemi". Presiden AS Trump mengumumkan pembatasan perjalanan bagi wisatawan yang datang dari Zona Schengen di Eropa. Kanselir Jerman Angela Merkel juga mengumumkan bahwa 70% populasi di Jerman dapat terinfeksi virus corona.
Foto: picture-alliance/Photoshot
Kehidupan Publik Berhenti di Eropa
Pada 14 Maret, Spanyol mengikuti langkah Italia melakukan lockdown secara nasional untuk 46 juta warganya, dengan tujuan untuk mencegah penyebaran virus corona. Spanyol berada di peringkat kedua kasus di Eropa, dengan 131.000 terinfeksi dan lebih 12.000 meninggal. Di Prancis, kafe, restoran, dan toko-toko tutup pada 15 Maret.
Foto: picture-alliance/dpa/AAB. Akbulut
AS Terpukul Telak
Pada 27 Maret, Jumlah terinfeksi di AS melampaui Cina. Ini terjadi ketika Presiden Donald Trump mengklaim bahwa negara akan kembali pulih "dengan cukup cepat." AS mencatat lebih 337.000 kasus infeksi dan hampir 10.000 meninggal (6/4). New York terdampak yang paling parah, dengan 63.000 kasus Covid-19 dan lebih 3000 meninggal. Kapal rumah sakit dikerahkan untuk membantu tenaga medis.
Foto: picture-alliance/Photoshot/J. Fischer
Lebih 1 Juta Orang Terinfeksi Covid-19
Universitas Johns Hopkins mengumumkan, Senin (6/4), lebih 1.2 juta kasus virus corona yang dikonfirmasi di seluruh dunia. Sekitar 70.000 orang meninggal akibat Covid-19. AS mencatat rekor infeksi dengan jumlah tiga kali lipat dari Cina, tempat virus itu muncul pada Desember 2019. Kemungkinan kondisi pandemi akan semakin buruk dengan jumlah yang terinfeksi dan meninggal terus naik. (fs/as)
Foto: Reuters/J. Redmond
9 foto1 | 9
Gagal dalam uji klinis Ebola
Remdesivir, yang sebelumnya telah gagal dalam uji coba terhadap Ebola, termasuk dalam golongan obat yang bekerja pada virus secara langsung.
Obat tersebut bekerja sebagai lawan yang mengendalikaan respon autoimun abnormal dan mematikan yang disebabkan oleh virus.
Dalam keterangannya kepada wartawan, Fauci mengindikasikan bahwa pendekatan dari uji klinis ini dapat membuka jalan bagi obat-obatan yang lebih baik dengan mengadopasi model yang sama.
Meskipun temuan ini disambut positif oleh para ilmuwan, beberapa justru memperingatkan bahwa manfaat obat tersebut sebenarnya relatif kecil.
“Ini adalah bukti pertama bahwa remdesivir memiliki manfaat nyata, tetapi tentu saja manfaatnya tidak sedramatis itu,” kata Stephen Evans, pakar statistik medis di London School of Hygiene and Tropical Medicine.
“Data ini menjanjikan karena memang kita belum memiliki pengobatan yang terbukti mampu melawan COVID-19, tapi tentu saja ini mengarah pada persetujuan cepat terhadap remdesivir,” kata Babak Javid, peneliti utama di Fakultas Kedokteran Universitas Tsinghua di Beijing. “Namun, hal ini juga bukan berarti remdesivir adalah obat ajaib,“ tambahnya. gtp/rap (AFP)