1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Repatriasi Benda-benda Budaya Indonesia

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
30 Oktober 2021

Kolonialisme Indonesia bukan hanya cerita eksploitasi Eropa terhadap sumber daya alam Indonesia, semisal rempah-rempah, teh, kopi, dan lainnya, namun juga penuh dengan cerita pencurian benda-benda budaya dan sejarahnya.

Benda-benda kuno Indonesia di Museum BelgiaFoto: DW/H. Pasuhuk

Sekitar pertengahan 2021 lalu, dunia sejarah dan arkeologi Indonesia mendapatkan kabar bahagia. Tiga arca Hindu yang dijarah dan diseludupkan ke Amerika Serikat berhasil dikembalikan ke Indonesia. Pelakunya adalah seorang Amerika, Subhash Kapoor, yang juga terlibat dalam jaringan perdagangan barang antik. Selain arca Siwa, Parvati, dan Ganesha yang kembali ke Indonesia, komplotan Subhash juga disebutkan menjarah, menyeludupkan,  menjual secara ilegal, benda-benda budaya bernilai serupa dari berbagai negara di Asia, seperti Afghanistan, Thailand, India, dan lain-lain. Nilainya sekitar 143 juta dollar AS.

Kasus Subhash bukanlah hal baru, dan saya yakin tidak akan menjadi yang terakhir mengingat masih lemahnya upaya proteksi terhadap benda-benda bernilai budaya dan sejarah di Indonesia selama ini. Meskipun ada, penerapannya di lapangan masih impoten, dan mirisnya, orang-orang yang membuka jalan bagi penyeludup seperti Subhash biasanya adalah orang-orang Indonesia sendiri. Dengan memanfaatkan kelengahan aparat dan para penelitinya, para pencuri ini beraksi diam-diam di situs-situs arkeologi. Hal serupa juga banyak terjadi di museum-museum di Indonesia, dan sulit untuk dideteksi.

Fenomena pencurian tersebut didasarkan atas sekian motif. Bagi para pelaku yang orang Indonesia, jawabannya adalah uang, karena mereka biasanya hanya menjadi perantara bagi para kolektor atau penyeludup ke luar negeri. Kolektor, terutama di luar negeri, umumnya didorong oleh seleranya terhadap hal-hal antik, walau harus memakai cara-cara ilegal. Namun dahulu, ada pula orang-orang yang merasa bahwa karena peradabannya menguasai pengetahuan yang unggul, lantas merasa berhak menjarah dan meneliti peradaban lain. Apalagi ketika benda-benda yang diteliti tidak dikembalikan: inilah sisi lain kolonialisme.

Menjarah Tanah Jajahan

Kolonialisme Indonesia bukan hanya cerita eksploitasi Eropa terhadap sumber daya alam Indonesia, semisal rempah-rempah, teh, kopi, dan lain-lain, namun juga penuh dengan cerita pencurian benda-benda budaya dan sejarahnya. Mereka diangkut ke Eropa untuk memuaskan hasrat para pembesar-pembesar kolonialisme, dan para peneliti tanah jajahan yang bermoral rendah. Karena itulah tidak mengherankan saat ini banyak artefak-artefak Indonesia, umumnya berasal dari masa kerajaan Hindu-Buddha, bisa ditemukan di banyak museum di Eropa. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Ketika orang-orang Eropa mulai mendatangi nusantara pada abad ke-16, mereka menjumpai sebuah kelompok masyarakat yang gaya hidup dan kepercayaannya belum lama bertransformasi. Struktur masyarakat yang beberapa abad sebelumnya dipengaruhi corak Hindu-Buddha mulai ditinggalkan setelah Islam menyebar dan mendominasi. Dalam ajaran Islam, pemujaan benda mati, apalagi yang menyerupai manusia (patung), adalah hal terlarang. Perubahan ini menyebabkan masyarakat Islam Nusantara perlahan-lahan mulai mengambil jarak, walau tidak melepaskan sepenuhnya, kedekatannya dengan benda-benda peninggalan masa Hindu-Buddha seperti arca-arca pemujaan dan candi-candi, terutama di Jawa.

Perhatian terhadap benda-benda budaya dan sejarah Jawa mulai meningkat sejak abad ke-19. Menurut Marieke Bloembergen dan Martijn Eickhoff dalam bukunya yang meriset sejarah interaksi dan pertukaran pengetahuan terkait benda-benda budaya dan sejarah di Indonesia, The Politics of Heritage, ketertarikan tersebut salah satunya dipelopori Raffles, yang berkuasa di Jawa atas nama Inggris, dan bukunya yang terkenal, History of Java. Berkat bukunya tersebut, benda-benda bercorak Hindu-Buddha di Jawa menarik perhatian di Eropa, Asia, juga Amerika.

Pendataan dan penggalian di Jawa pun menjadi lumrah dilakukan, baik oleh Inggris ataupun Belanda setelahnya. Terutama Belanda, yang mereorganisasi koloninya dari wilayah dagang menjadi negara jajahan. Mereka memprioritaskanpenggalian arkeologi sebagai cara melegitimasi kekuasaan dan supremasi politiknya, juga untuk keperluan ilmu pengetahuan karena semakin banyak peneliti-peneliti Eropa yang bekerja di Jawa. Atas dasar itulah, candi-candi di Jawa yang sebelumnya tidak dirawat, seperti Prambanan, atau keberadaannya telah terlupakan oleh orang-orang setempat, seperti Borobudur, mulai digali dan diteliti dengan intens.

Dalam situasi itulah, para oportunis muncul. Mereka berupaya mengambil benda-benda yang bisa diangkat, seperti artefak, patung, dan lain-lain, dan mengirimnya ke negeri induk. Ada yang melakukannya dengan cara meminta kepada penduduk setempat yang tidak mengetahui nilai budaya dan sejarah benda tersebut. Pencurian halus ini misalnya dilakukan Wallace, naturalis Inggris, ketika singgah ke lokasi reruntuhan di Mojokerto. Ada juga yang terang-terangan merampok, seperti Raffles dan pasukan Indianya saat menyerbu Keraton Yogyakarta pada 1812 dan menjarah harta bendanya, terutama manuskrip-manuskrip keraton, selama berhari-hari.

Itu menjawab pertanyaan mengapa saat ini banyak benda-benda budaya dan sejarah Indonesia dapat ditemukan di museum-museum di Belanda dan Inggris. Sebagian besar yang terpajang di sana adalah hasil jarahan, atau pemberian dari raja-raja lokal yang tidak mengapresiasi nilai luhur benda-benda tersebut selain sebagai hadiah untuk menyenangkan hati tuan-tuan kulit putihnya. Setelah Indonesia merdeka, tuntutan untuk mengambilnya kembali menjadi semakin besar karena orang-orang Republik menganggapnya sebagai bagian dari harta kekayaan dan inspirasi bagi identitas nasionalisme, serta jejak intelektualisme, bangsa Indonesia.

Upaya pengembalian tersebut, atau repatriasi, sudah diupayakan sejak tahun 1950-an. Belanda menjadi negara yang paling sering mengembalikan benda-benda hasil jarahannya di Indonesia. Seperti pada 2020 lalu, sekitar 1500 direpatriasi, menyusul kemudian pengembalian keris Pangeran Diponegoro ketika Raja Belanda, Willem, berkunjung ke Indonesia. Seiring berkurangnya dana pemerintah Belanda untuk merawat museum-museumnya, upaya repatriasi ini diperkirakan akan semakin meningkat ke depannya. Sehingga persoalan selanjutnya adalah memastikan bahwa Indonesia sudah harus menyediakan tempat penampungannya yang layak.

Memaksimalkan Museum

Pada 2016, saya menulis laporan untuk National Geographic mengenai fenomena kriminalitas di museum dan tempat-tempat cagar budaya. Salah satu kesimpulan yang bisa diambil adalah, orang-orang Indonesia masih belum bisa menghargai benda-benda budaya dan sejarahnya. Penemuan situs-situs arkeologi baru bukan hanya membuka kesempatan bagi arkeolog dan sejarawan untuk membuka tabir sejarah baru, namun juga bagi warga setempat untuk menjarah dan menjual temuan-temuannya secara ilegal. Hal tersebut telah menjadi masalah besar, misalnya, di situs Trowulan (Majapahit), Jawa Timur, selama bertahun-tahun.

Sejarawan Peter Carey, seorang Inggris namun sangat peduli terhadap keselamatan benda-benda sejarah dan budaya Indonesia, sejak bertahun-tahun lalu sudah dan terus mendorong pengembalian Prasasti Sangguran dan Pucangan yang dulu dijarah Inggris. Namun sampai sekarang, kedua prasasti tersebut masih tersimpan secara mengkhawatirkan di Inggris dan India karena tidak dirawat. Pemerintah Indonesia juga belum mau bergerak memanfaatkan koneksi diplomatik untuk mengusahakan pengembalian itu pula, dan ketika tulisan ini dibuat mungkin sekali kedua prasasti tersebut sudah dalam kondisi yang jauh lebih buruk.

Tentu ada tendensi politik antara Indonesia dan negara-negara lain dalam kebijakan repatriasi. Kembalinya benda-benda budaya dan sejarah sering dianggap sebagai kemenangan Indonesia atas bekas penjajahnya, dan diamini publik. Ekspresi nasionalisme seperti ini memang diperlukan, namun tujuan utamanya jangan dilupakan. Dengan bantuan teknologi, di sini benda-benda tersebut juga harus disimpan secara layak dan diberikan narasi sehingga semua kandungan intelektual dan pengetahuan di dalamnya bisa dikonsumsi publik. Bukan sekedar dipajang secara kaku, seperti bagaimana Indonesia memperlakukan banyak koleksi-koleksi museumnya selama ini.

 

@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah


*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait