Gerakan politik jelang reformasi diceritakan Teddy Wibisana dan kawan-kawan dalam buku berjudul "Aldera: Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993/1999". Berikut resensinya diulas Andi Muhammad Zdavir,
Iklan
Buku "ALDERA Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993/1999" karya Teddy Wibisana, Nanang Pujalaksana, dan Rahadi T. Wiratama dibuka dengan mengisahkan epos yang sering kali dibahas dalam berbagai literatur sosial-politik: pergulatan Blok Timur vs Blok Barat pasca Perang Dunia ke-II yang dimenangkan blok Barat.
Berkuasanya Soeharto kemudian dianggap sebagai pintu masuk Barat di Indonesia dengan menerapkan imperialisme gaya baru melalui investasi dan kebijakan proasing (senada kritik Sri Adi Sasono dan Arief Budiman), yang mengundang kritik masyarakat karena melanggengkan kronisme Soeharto.
Walau tidak dapat dinafikan, hal itu telah mendorong pertumbuhan ekonomi, di sisi lain turut memperburuk kesenjangan (diperkuat oleh makalah Booth, 2000), yang akhirnya turut diporak-porandakan krisis moneter yang bermula di pasar keuangan Thailand.
Pada titik ini, dalam mengawal agenda masyarakat era Orde Baru yang menjanjikan demokrasi, Aliansi Rakyat Demokrasi (ALDERA) hadir. ALDERA sejatinya merupakan wadah pergerakan kemahasiswaan yang berakar dari "gerakan bawah tanah" mahasiswa. Karena hadirnya peraturan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pasca kerusuhan Malari (Lima Belas Januari) 1974 membuat sejumlah aktivitas kemahasiswaan terhambat.
Akibatnya, pergerakan kemahasiswaan terbatasi yang membuatnya terkelompok menjadi kelompok aksi, kelompok studi, dan kelompok pers mahasiswa. Pada era ini, embrio ALDERA dan generasi mahasiswa seangkatan Pius Lustrilanang lahir.
ALDERA dan kiprah Pius dalam pergerakan
Dalam buku ini dikisahkan bahwa cikal bakal dan lahirnya pergerakan ALDERA dapat ditelusuri dari terbentuknya Unit Studi Ilmu Kemasyarakatan (USIK) Universitas Parahyangan (Unpar) di Bandung. Pius—yang juga merupakan mahasiswa Unpar— disebut-sebut sebagai salah satu pendiri USIK (yang kelak alumninya membentuk ALDERA).
Berdirinya USIK, menurut penuturan para saksi sejarah, hadir dalam upaya membangun budaya kritis sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru yang dari waktu ke waktu memperkuat posisinya melalui peraturan-peraturan yang mengekang kebebasan berpendapat dan menguntungkan pihak rezim yang berkuasa.
Pengekangan dan pembatasan demokrasi misalnya terwujud melalui serangkaian perombakan struktur politik, berupa: Pertama, pembatasan partai politik menjadi tiga partai saja (Partai Golongan Karya (Golkar) yang mewakili pemerintah beserta perangkatnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mewakili kelompok agamawan, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang mewakili kelompok nasionalis), kedua, dwifungsi ABRI (menjaga keamanan dan ketertiban dan memegang kekuasaan dan mengatur negara), dan ketiga, fusi seluruh organisasi kemasyarakatan (sebagai upaya pembatasan dan kemudahan pengawasan).
Berbagai kebijakan tersebut bagai tikaman bagi masyarakat dan berbagai kelompok yang dulunya turut mendukung dan mengantar Soeharto naik tampuk kekuasaan karena dinilai pro kepada masyarakat. Terlebih, konsolidasi kekuatan Orde Baru tersebut diiringi dengan dilaksanakannya orientasi kebijakan makro yang membuka jalan bagi kepentingan pemodal asing yang memperlebar kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Walhasil, kebijakan proasing tersebut menyulut ketidakpuasan publik.
Suharto - Jalan Darah Menuju Istana
Demi menyingkirkan Soekarno, Suharto menunggangi pergolakan di tanah air dan mengorganisir pembantaian jutaan pendukung PKI. Dia sebenarnya bisa mencegah peristiwa G30S, tetapi memilih diam, lalu memanfaatkannya.
Foto: picture-alliance/dpa
Prajurit Tak Bertuan
Suharto banyak berurusan dengan pemberontakan Darul Islam selama meniti karir militernya. Pasca kemerdekaan ia juga aktif memberantas kelompok kiri di antara pasukannya. Tahun 1959, ia nyaris dipecat oleh Jendral Nasution dan diseret ke mahkamah militer oleh Kolonel Ahmad Yani karena meminta uang kepada perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Namun karirnya diselamatkan oleh Jendral Gatot Subroto.
Foto: picture alliance/United Archives/WHA
Dua Musuh di Bawah Bayang Soekarno
Seperti banyak prajurit yang lain, Suharto mencurigai kedekatan Soekarno dan pimpinan Partai Komunis Indonesia (dalam gambar D.N. Aidit). Terutama sejak pemberontakan komunis di Madiun 1948, eksistensi PKI sangat bergantung pada dukungan Soekarno. Tanpanya PKI akan lumat oleh tentara. Permusuhan ABRI dan PKI tidak cuma beraroma politis, melainkan juga dipenuhi unsur kebencian.
Foto: picture-alliance/United Archives/TopFoto
Bibit Perpecahan
Suharto sibuk membenahi karir ketika permusuhan ABRI dan PKI mulai memanas. Buat mencegah PKI memenangkan pemilu dan menguasai pemerintahan, ABRI yang saat itu dipimpin duet Ahmad Yani dan A.H. Nasution mengajukan mosi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Saat itu, konstelasi politik sudah mulai bergeser: Soekarno tidak lagi melihat ABRI sebagai sekutu utamanya, melainkan PKI.
Foto: AFP/Getty Images
Berkaca Pada Tiongkok
Meniru gerakan kaum komunis di Tiongkok, PKI berupaya memperluas kuasa dengan niat mempersenjatai petani dan praktik land reform. Soekarno menyetujui yang kedua dengan mengesahkan UU Pokok Agraria 1960. Tiga tahun kemudian, PKI melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah milik para Kyai di Jawa dan membagikannya pada petani miskin. Langkah itu menciptakan musuh baru buat PKI, yakni kelompok Islam.
Foto: AP
Sikap Diam Suharto
Enam jam sebelum peristiwa G30S, Kolonel Abdul Latief mendatangi Soeharto buat mengabarkan perihal rencana Cakrabirawa menculik tujuh Jendral. Latief saat itu mengira, Suharto adalah loyalis Soekarno dan akan memberikan dukungan. Kesaksian Latief menyebut, Suharto cuma berdiam diri. Setelah peristiwa penculikan jendral, Suharto yang menjabat Panglima Kostrad lalu mengambil alih komando ABRI.
Foto: picture-alliance/dpa
Kehancuran PKI, Kebangkitan Suharto
Pada 30 September, pasukan pengamanan Presiden, Cakrabirawa, mengeksekusi tujuh dari 11 pimpinan ABRI yang diduga kuat ingin mengkudeta Soekarno. Suharto lalu memerintahkan pembubaran PKI dan penangkapan orang-orang yang terlibat. Letnan Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa yang sebenarnya kenalan dekat Suharto dan ikut dalam operasi pembebasan Irian Barat, ditangkap, diadili dan dieksekusi.
Foto: AP
Demo dan Propaganda
Pergerakan Suharto setelah G30S semata-mata diniatkan demi melucuti kekuasaan Soekarno. Ia antara lain mengirimkan prajurit RPKAD buat menguasai Jakarta, termasuk Istana Negara. Panglima Kostrad itu juga lihai menunggangi sikap antipati mahasiswa terhadap Sukarno yang dimabuk kuasa. Saat Soekarno bimbang ihwal keterlibatan PKI dalam G30S, mahasiswa turun ke jalan menuntutnya mundur dari jabatan.
Foto: Getty Images/C. Goldstein
Malam Pogrom, Tahun Kebiadaban
Di tengah aksi demonstrasi mahasiswa di Jakarta, ABRI memobilisasi kekuatan buat memusnahkan pendukung PKI di Jawa dan Bali. Dengan memanfaatkan kebencian kaum santri dan kelompok nasionalis, tentara mengorganisir pembunuhan massal. Jumlah korban hingga kini tidak jelas. Pakar sejarah menyebut antara 500.000 hingga tiga juta orang tewas. Tidak semuanya simpatisan PKI.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Eksekusi Disusul Eksodus
Selain menangkap dan mengeksekusi, massa dikerahkan menghancurkan toko-toko, kantor dan rumah milik mereka yang diduga pendukung komunis. Sebagian yang mampu, memilih untuk mengungsi ke luar negeri. Termasuk di antaranya Sobron, adik kandung pimpinan PKI D.N. Aidit yang hijrah ke Tiongkok dan lalu ke Perancis dan bermukim di sana hingga wafat tahun 2007.
Foto: Carol Goldstein/Keystone/Getty Images
Kelahiran Orde Baru
Setelah peristiwa G30S, Suharto yang notabene telah menjadi orang nomor satu di kalangan militer, membiarkan Soekarno berada di jabatannya, sembari menata peralihan kekuasaan. Selama 18 bulan, Suharto menyingkirkan semua loyalis Soekarno dari tubuh ABRI, menggandeng parlemen, mahasiswa dan kekuatan Islam, serta mengakhiri konfrontasi Malaysia. Kekuasaan Soekarno berakhir resmi di tangan MPRS.
Foto: DW
10 foto1 | 10
Sebagai antitesis, peristiwa-peristiwa politik itu makin memperkuat konsolidasi kelompok intelektual serta kaum miskin (kaum buruh dan tani) untuk bersatu. Mereka turut 'disodok' oleh para kalangan terdidik dan aktivis mahasiswa, baik yang masih berada di kampus (plus pendidik di kampus yang juga bergerak memperkaya wacana kritis melalui gerakan bawah tanah dan pejabat kampus yang turut melindungi aktivitas kritis tersebut), maupun di luar kampus, yang bergerak melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Pada titik inilah USIK lahir, yang kelak para alumninya secara resmi membentuk ALDERA pada tahun 1994, setelah sebelumnya beraksi sebagai komite aksi pada aksi di Kopo, yang mempertemukan aktivis se-Jabar yang menolak Soeharto sebagai calon tunggal pada pemilu berikutnya. Melalui berbagai aksi, termasuk aksi di depan Gedung DPR/MPR serta peristiwa Kudatuli, sepak terjang kelompok ini mulai tercium dan disoroti oleh aparat.
Iklan
Soeharto: Senjakala Lembar Sejarah Demokrasi Indonesia
Sejatinya, lahirnya Pemerintah Orde Baru awalnya tampak mendatangkan angin segar. Hal ini karena adanya malaise ekonomi dan krisis social yang gagal ditangani Orde Lama dan membuat masyarakat mewanti-wantikan hadirnya kepemimpinan baru, yang kemudian dijawab oleh Orde Baru dengan dibentuknya Kabinet Ampera.
Ptrogramnya: 1) Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan; 2) Melaksanakan pemilihan umum; 3) Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional; 4) Melanjutkan perjuangan antikolonialisme dan antiimperialisme (Nekolim) dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Namun demikian, terlepas dari berbagai janji yang diutarakan, tampaknya Soeharto gagal dalam menjalankan sejumlah hal, di antaranya melaksanakan pemilihan umum dan melanjutkan perjuangan anti-Nekolim. Hal ini tampak dari kebijakan ekonomi proasing dan pembatasan partai melalui pemilu yang sarat rekayasa.
Padahal, postulat pemisahan kekuasaan antara yudikatif, legislatif dan eksekutif diperlukan agar dapat membatasi kekuasaan yang sewenang-wenang dan menjadi penyeimbang berjalannya pemerintahan (Montesquieu). Lebih jauh, kesewenang-wenangan Soeharto kemudian menimbulkan rangkaian peristiwa politik seperti Peristiwa Malari (dibalas melalui NKK/BKK). Hal ini kemudian diikuti oleh berbagai protes sosial-ekonomi seperti aksi demonstrasi yang membela korban penggusuran Waduk Kedung Ombo dan kasus Kacapiring—penyerobotan tanah masyarakat untuk pembangunan mal—yang keduanya mengabaikan hak dan ganti rugi bagi masyarakat yang menjadi korban.
Berbagai aksi massa tersebut didukung oleh kritik media, termasuk kritikan keras surat kabar mingguan Mahasiswa Indonesia—yang awalnya mendukung Soeharto meraih tampuk kekuasaan, yang menerbitkan tulisan dengan judul "Tahun Ketidakpuasan (Year of Discontent)”.
Dalam upaya membungkam berbagai kritik publik dan mencegah meluasnya keresahan sosial, Soeharto membalasnya melalui pembredelan pers. Tempo, Sinar Harapan, Editor, hingga Detik menjadi korban pembredelan era Soeharto. Peristiwa itu menandai dan mempertegas senja kala demokrasi di Indonesia.
Permusuhan terbuka dan munculyna lini pertempuran baru antara Soeharto dan media "agaknya” dapat dikatakan bagai blessing in disguise bagi masyarakat.Hal ini dikarenakan Soeharto yang menambah daftar musuh baru sejatinya mulai kehilangan dukungan media yang menjadi penyebar berita di kalangan masyarakat.
Karenanya, bermunculan kelompok baru yang melawan rezim Orde Baru. Puncaknya, krisis 1998 serta peristiwa penculikan Pius dan para aktivis lain, yang menjadi santapan media dan segera disebarkan ke dunia internasional. Ini semua turut menggerus puing-puing terakhir Orde Baru.
Mengenang Kerusuhan Mei 1998
Menurut data Tim Relawan Untuk Kemanusian, Mei 1998 terdapat 1.190 korban tewas dalam keadaan terbakar dan ratusan korban hilang. Sementara korban dan/atau saksi mata perkosaan ada 189 orang.
Foto: Monique Rijkers
Hampir Dilalap Api
Mei 1998, Steven Winata berjalan kaki mengantar sabun, 500 meter dari rumahnya di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Dalam keadaan tangan penuh barang bawaan, murid sekolah dasar ini dituduh menyenggol dan membuat seorang anak pribumi jatuh ke dalam selokan. Massa yang mengamuk hampir membakar tubuh Steven. “Saya selamat karena Ketua RT mengenali saya dan mengantar saya pulang.”
Foto: Monique Rijkers
Api Reformasi Akan Terus Menyala
Suara tuntutan agar Presiden Soeharto lakukan reformasi politik bergema di sejumlah kampus termasuk dari Universitas Trisakti, Jakarta Barat. Namun aksi unjuk rasa damai itu dilawan dengan tembakan peluru tajam yang tewaskan 4 mahasiswa Trisakti. Taman Reformasi adalah inisiatif mahasiswa dan diresmikan bekas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tahun 2014 agar Api Reformasi terus menyala
Foto: Monique Rijkers
Terjebak Api
Mei 1998, tahun lokasi pusat perbelanjaan ini menjadi sasaran penjarahan massa. Namun bangunan itu terbakar dan ditemukan 118 jasad tewas terbakar yang tak dapat dikenali. Kini pusat perbelanjaan baru yang semarak dengan papan iklan di Klender, Jakarta Timur itu seakan ingin meredam ingatan pada teriak tubuh-tubuh yang dijilati api.
Foto: Monique Rijkers
Akibat Api Sentimen Rasial
Penjarahan saat Kerusuhan Mei ’98 bukan hanya menyasar pusat perbelanjaan, rumah warga pun tak luput dari sasaran massa. Rumah Sudono Salim, pemilik Bank BCA di kawasan Gunung Sahari, Jakarta Pusat diserbu massa dan sempat dibakar. Kini deretan aset keluarga Sudono Salim menjadi “monumen” sentimen rasial yang kembali menyala dua dekade lalu.
Foto: Monique Rijkers
Melawan Api Kebencian
Salah satu lokasi kerusuhan 98 adalah kawasan Glodok, Jakarta Barat. Pada sebuah lorong sempit di Glodok, Jakarta Barat sebuah pintu rumah terbuka dan terlihat sejumlah pria duduk sambil mendengar musik Mandarin. Bapak yang tak mau disebut namanya itu mengaku rumahnya dibakar orang pada Mei 1998 lalu. Kini rumah-rumah ini kembali dibangun. Warga mengurung diri dalam pagar tinggi demi rasa aman.
Foto: Monique Rijkers
Sisa Dari Yang Terbakar
Sepotong balok kayu bekas rumah yang terbakar Mei 1998 lalu masih dipertahankan oleh pemiliknya sebagai tonggak kesaksian peristiwa yang ingin ia lupakan. Informasi berasal dari petugas Perlindungan Masyarakat setempat.
Foto: Monique Rijkers
Bertugas Saat Api Melanda
Widodo adalah petugas Perlindungan Masyarakat di RW 01, Taman Sari, Jakarta Barat. Mei 1998, ia bertugas di lokasi dalam foto dan menyaksikan api menjalar seluruh tempat usaha sekaligus rumah warga. Widodo mengaku tidak mampu mencegah massa karena massa dan warga sudah berbaur sedangkan ia sibuk membantu petugas pemadam kebakaran. “Semua rumah yang sekarang ini rumah baru”, kata Widodo.
Foto: Monique Rijkers
Bangkit Dari Abu
Toko alat sembahyang agama Buddha ini sebelum kerusuhan adalah percetakan sekaligus rumah tiga lantai di Glodok, Jakbar. Setelah ludes terbakar, rmereka memulai dari nol. “Tak mau ingat-ingat lagi”, kata ibu yang menolak sebut namanya. “Kerugian alat cetak ratusan juta rupiah dan materi bisa dihitung tetapi kerugian mental tak ternilai.”, ujar anak laki-laki pemilik toko yang turut menjaga toko.
Foto: Monique Rijkers
Saksi Mata Selamat
Hendry (68 tahun) mempunyai rumah sekaligus bengkel las bubut di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat. Mei 1998 keluarganya menyelamatkan diri, menumpang di bedeng di sebelah rumahnya. Sementara Udin (50 tahun) saat itu jualan rokok di trotoar sebelah bengkel las bubut Hendry. Saat kerusuhan terjadi ia memilih pulang ke kampung di Kuningan, Jawa Barat. Udin dan Hendry sudah bersahabat selama 30 tahun
Foto: Monique Rijkers
Korban Tragedi
Pemerintah memakamkan korban tewas yang tidak bisa dikenali atau tidak beridentitas di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur. Seratusan nisan tak bernama menandai tragedi kemanusiaan 1998. Tahun 2015, pemerintah Jakarta resmikan Prasasti Tragedi Mei’98 bertuliskan pesan “Pengorbanan jiwa mereka telah menyalakan api reformasi menuju Indonesia yang lebih rukun, bermartabat dan cinta damai.”
Foto: Monique Rijkers
Pemerkosaan Itu Ada
Tim Relawan Untuk Kemanusian Mei ’98 menerima laporan korban perkosaan saat kerusuhan. Laporan yang bisa diverifikasi dengan menemui korban dan/atau saksi mata ada 189 orang. Ita.F. dan Dr Lie Dharmawan memeriksa fisik serta merawat sejumlah korban pemerkosaan. Korban pemerkosaan Mei ’98 Ita Martadinata tewas dibunuh Oktober 1998 saat akan bersaksi di PBB. Penulis: Monique Rijkers (ap/vlz)
Foto: Monique Rijkers
11 foto1 | 11
Yang berhasil pulang dan yang masih ditunggu pulang
Berbagai aksi pembungkaman melalui pembatasan kegiatan mahasiswa dan pembredelan media tampaknya belum cukup bagi Soeharto. Walhasil, strategi terakhir adalah dengan menculik para tokoh-tokoh yang dianggap sebagai "kerikil dalam sepatu”.
Pius (bersama tujuh tokoh lainnya), yang telah lama masuk dalam daftar incaran aparat, akhirnya diculik pada Februari 1998. Pada hari itu, Pius tidak sendiri: Desmond Mahesa (kini menjabat sebagai anggota DPR-RI dari Partai Gerindra) juga turut diculik. Selain itu juga terdapat pentolan aktivis lainnya seperti Andi Arief (kini Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat), yang diculik pada 28 Maret tahun yang sama.
Gelagat kesewenang-wenangan Soeharto tersebut bagai meniup api dalam sekam. Rangkaian peristiwa penculikan berbagai tokoh aktivis, yang belakangan diiringi oleh krisis ekonomi, membuat media dan masyarakat kian gerah. Melalui tekanan media, tokoh lokal hingga lobi internasional, Pius—juga aktivis lainnya—dibebaskan setelah disekap selama dua bulan.
Sial bagi Orde Baru, pembebasan Pius ibarat pedang bermata dua. Hal ini dikarenakan selepas pembebasannya, Pius memberanikan diri—walau dalam tekanan psikologis—untuk membuka tabir penculikan aktivis oleh tim khusus yang dulunya dianggap hanya desas-desus belaka di hadapan Komnas HAM, bahkan sampai ke Kongres Amerika Serikat.
Tampilnya laporan Pius mulai pada Komnas HAM Indonesia hingga di hadapan Kongres AS sendiri akhirnya menyingkap fakta sebenarnya, bahwa Soeharto hanya membangun demokrasi semu di Indonesia, sekaligus menyiarkan kabar bahwa kondisi politik dan perekonomian di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Peristiwa itu boleh dikatakan menjadi titik balik dukungan politik internasional terhadap Soeharto—atau mungkin jika tidak terlalu berlebihan, berkontribusi terhadap semakin eratnya simpul pergerakan dan memperkuat dorongan massa anti-Soeharto yang kemudian terkulminasi pada mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998. Sayangnya, menurut catatan Komnas HAM, masih ada 13 aktivis yang menjadi korban penculikan akibat kekritisannya terhadap pemerintah (termasuk Wiji Tukul). Tiga di antaranya—Herman Hendrawan, Yani Afri, dan Soni—yang sempat dijumpai Pius Ketika masih dalam penjara, belum pulang hingga saat ini.
Kembalikan Wiji Thukul
Hingga kini ia tak diketahui rimbanya. Wiji Thukul, sastrawan yang giat menyuarakan kaum tertindas, hilang ketika penculikan terhadap para aktivis terjadi antara 1996-1998. Yaitu menjelang runtuhnya Orde Baru.
Foto: Wahyu Susilo
Mencintai puisi sejak kecil
Sastrawan dan aktivis yang melawan penindasan rezim Orde Baru ini lahir di Solo, 26 Agustus 1963. Ia mencintai puisi sejak kecil. Anak tukang becak ini menjadi buruh plitur, ngamen puisi dan mengalah putus sekolah demi pendidikan adik-adiknya.
Foto: Wahyu Susilo
Menyuarakan orang pinggiran
Di tengah kesulitan keuangan ia tetap giat menelurkan karya-karya puisi dan berteater di Sarang Teater Jagat. Ia juga mengajar anak-anak kecil melukis di Sanggar Suka Banjir dan menyuarakan nasib orang kecil dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat JAKKER.
Foto: Wahyu Susilo
Dengan puisi melawan penindasan
Foto ini diambil ketika Wiji Thukul latihan teater di Sarang Teater Jagat, Jagalan, Solo tahun 1987. Salah satu petikan puisi Wiji berjudul PENYAIR: " Jika tak ada kertas, aku akan menulis pada dinding.. Jika aku menulis dilarang, aku akan menulis dengan tetes darah!"
Foto: Wahyu Susilo
Dianiaya ketika membela kaum tertindas
1992 ia memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo. 1994 dalam aksi petanidi Ngawi, Jawa Timur, Thukul dipukuli tentara. Tahun 1995 mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil oleh aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex. Istri Wiji Thukul, Siti Dyah Sujirah (Sipon) selalu mendukung perjuangan suaminya.
Foto: Wahyu Susilo
Tanpa jejak
Pasca peristiwa 27 Juli 1996, jelang kejatuhan Soeharto tahun 1998, dia masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Di masa itu ia tetap berkarya. Pada masa tersebut sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan dihilangkan secara paksa, termasuk Thukul. Sekitar bulan Maret-April 1998 jejaknya tak lagi diketahui. Tuduhan ia menyulut kerusuhan dlam peristiwa 27 Juli 1996 tak pernah terbukti.
Foto: Wahyu Susilo
Puisinya tetap abadi
Sajak-sajak Wiji Thukul populer di kalangan aksi massa. Di antaranya: Peringatan, Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok. Tanpa henti, puisinya selalu menggambarkan perjuangan kaum tertindas. Kumpulan puisinya dibukukan. Puisi nyanyian akar rumput melambangkan dendang para rakyat yang tidak terima dengan perlakuan pemerintahan yang tirani.
Foto: Wahyu Susilo
Keabadian dalam Sajak
Apa Guna: “Apa guna punya ilmu tinggi, kalau hanya untuk mengibuli Apa guna banyak baca buku, kalau mulut kau bungkam melulu Dimana-mana moncong senjata berdiri gagah Kongkalikong dengan kaum cukong” (Wiji Thukul) Gambar: wijithukul.tk/BarisanPengingat
Foto: Barisan Pengingat / Wahyu Susilo
Janji Jokowi
Sebelum menjadi presiden, Joko Widodo menyatakan, baik hidup atau meninggal dunia, kejelasan nasib Wiji Thukul harus menjadi perhatian pemerintah. Dalam kunjungannya ke Eropa, April 2016, Jokowi berujar, pemerintah masih mendalami kasus pelanggaran HAM berat, termasuk di antaranya penghilangan aktivis 1997-1988.
Foto: DW/R.Nugraha
Perjuangan tiada akhir
Istri Wiji Thukul, Siti Dyah Sujirah (Sipon) tak kenal lelah mencari keadilan, setelaah suaminya dihilangkan secara paksa. Pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama bernama Fitri Nganthi Wani, kemudian pada tanggal 22 Desember 1993 anak kedua mereka lahir yang diberi nama Fajar Merah. Hingga kini Sipon, keluarga dan kawan-kawannya masih terus berjuang mencarinya. Kembalikan Wiji Thukul.
Foto: Wahyu Susilo
9 foto1 | 9
ALDERA: Memoar dan Pengingat bagi Pejuang Demokrasi
ALDERA sebagai organisasi politik dianggap unik karena merupakan pergerakan kemahasiswaan yang mencoba menemuramukan Kembali "demokrasi” di tengah rezim yang represif dan membungkam kebebasan yang diimpikan sejak berakhirnya Orde Lama dan dimulainya Orde Baru. Bahkan ALDERA disebut-sebut turut berkontribusi terhadap berdirinya Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) —yang kelak bertransformasi menjadi Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Menariknya buku ini, jika buku pergerakan lain berupaya merekam jejak pergerakan kemahasiswaan dalam skala yang lebih luas dan ringkas, kisah pergerakan dalam buku ALDERA dibahas secara lebih rinci dan lebih khusus—mendalam, dengan menyoroti sumbangsih dan peran Pius sebagai tokoh sentral.
Namun buku ini bukannya tanpa kekuarangan. Di dalamnya masih ditemukan sejumlah hal yang tidak akurat, seperti: 1) Penulisan tanggal yang tidak konsisten (misalnya tanggal penangkapan Pius disebut pada tanggal 2 Februari, tapi pada halaman lainnya disebutkan pada tanggal 4 Februari); 2) Kalimat tidak lengkap/ (misalnya tidak dijelaskan mengapa Warouw diberikan amanat untuk mengembangkan PRD. Atas dasar apa pemberian mandat tersebut? Yang lebih penting, siapakah Warouw?); 3) Penggunaan tata bahasa sehari-hari/tidak baku yang tidak sesuai kaidah, dan sejumlah kekurangan minor lainnya.
Meski demikian, buku ini telah jadi bahan pembahasan secara mendalam dan sangat layak dibaca bagi para aktivis,pendukung dan pemerhati demokrasi, maupun berbagai pihak yang hendak mengupas-ulik sejarah demokrasi Indonesia di bawah Orde Baru, yang hampir seluruhnya dipenuhi nokta hitam dan kesewenang-wenangan.
Buku yang membahas dialektika lahirnya ALDERA dan nokta hitam dalam lembar sejarah Indonesia ini dapat menjadi pengingat, bagaimana daya para tokoh dan organisasi mengumpulkan kekuatan massa dalam merongrong rezim otoritarian, agar peristiwa serupa tidak terulang lagi di masa yang akan datang. (ap/hp)
Penulis: Andi Muhammad Zdavir, pemerhati politik, pernah bekerja sebagai peneliti di Lembaga Studi Kebijakan Publik dan Tenaga Ahli DPRD Pemprov. Sulsel, sekarang bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.