Penghargaan Sakharov bagi blogger Raif Badawi yang meringkuk di penjara Arab Saudi, merupakan sinyal penting dari Eropa. Rezim represif tidak bisa jadi mitra. Perspektif Rainer Sollich.
Iklan
Raif Badawi layak mendapat Penghargaan Sakharov untuk hak asasi dan kebebasan berpendapat dari Parlemen Eropa. Blogger berusia 31 tahun itu menjadi lambang keberanian melawan rezim represif, yang membatasi hak asasi dan kebebasan berpendapat, dengan konsekuensi ia harus meringkuk di penjara Arab Saudi.
Parlemen Eropa dengan penganugerahan hadiah Sakharov bagi Badawi melontarkan pesan amat jelas. Pemimpin pemerintahan dan rezim represif tidak akan mendapat dukungan Eropa. Juga jika rezim itu merupakan mitra tradisional yang jadi garansi stabilitas di kawasan bersangkutan sekelas Arab Saudi. Memang harus diakui tanpa peranan Arab Saudi sulit mencapai perdamaian di Suriah atau Yaman.
Tapi sebaliknya pula, Arab Saudi dalam konstelasinya saat in untuk jangka menengah dapat menjadi risiko ancaman bagi stabilitas kawasan. Terutama jika kerajaan tidak punya keberanian melakukan reformasi politik dan ekonomi. Raja Salman sejauh ini tidak punya niat, keberanian atau juga kekuasaan untuk melakukan reformasi.
Rainer Sollich redaktur DW
Di negara itu tidak ada kebebasan berpendapat, tidak ada kebebasan individu, tak ada penghormatan hak asasi manusia. Sistem hukumnya dalam berbagai segi mirip yang diterapkan ISIS, yang lebih ditakuti oleh rezim ketimbang Raif Badawi. Terjadi kemandegan kaum intelektual. Yang memerintah adalah represi murni.
Sayangnya kondisi ini bukan hanya di Arab Saudi saja, melainkan di seluruh kawasan Arab. Suara seperti yang dilontarkan Raif Badawi tidak didukung mayoritas. Represi politik, kebencian sektarian, persaingan geopolitik dan kesulitan ekonomi di sebagian negara Arab, saat ini jadi agenda utama. Dari apa yang dijuluki musim semi Arab dan impian untuk kebebasan, demokrasi serta penghormatan martabat manusia, kini nyaris tidak tersisa lagi.
Jadi Eropa mengirimkan sinyal yang tepat dan penting kepada dunia Arab, dengan mendukung aktivis pro demokrasi di kawasan. Dengan harapan, suatu hari nanti kawasan Timur Tengah terbebas dari lingkaran setan kebencian, kekerasan dan pengkotak-kotakan kebudayaan. Dan sekaligus menunjukan, bahwa demokrasi dan toleransi bukan sepenuhnya nilai-nilai barat atau bahkan Kristen. Melainkan juga tata nilai yang selaras dengan Islam.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.