1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Uighur, Jihad dan ISIS di Indonesia

ap/as(rtr/twitter/youtube)7 Januari 2016

Indonesia bekerjasama dengan Cina membendung aliran militan etnis Uighur yang berusaha bergabung dengan jihadis di Indonesia. Cina cemaskan serangan teror dari jihadis Uighur jika pulang ke negerinya.

Indonesien Ahmet Bozoglan
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo

Pemerintah Cina mengakui cemas mengamati tren makin banyaknya etnis Uighur yang berusaha bergabung dengan jaringan militan di Indonesia. Warga minoritas Ughur yang datang ke Indonesia pada umumnya berasal dari kawasan Xinjiang.

Pemerintah di Beijing khawatir, mereka nantinya akan kembali ke tanah airnya sebagai jihadis berpengalaman dan terlatih. Ini dinilai bisa menimbulkan ancaman keamanan nasional serius buat Cina.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Saud Usman Nasution mengatakan kepada KB Reuters, "Kami bekerja sama dengan Cina dan menyelidiki bukti-bukti seperti kartu ATM dan ponsel.“

Kerjasama ini digiatkan di tengah-tengah meningkatnya keprihatinan mengenai kemungkinan dilancarkannya serangan teror oleh organisasi simpatisan ISIS, yang bertujuan mendirikan negara Islam di Indonesia. Serta menyusul penangkapan 13 tersangka teroris di pulau Jawa, termasuk seorang Muslim Uighur yang mengenakan rompi bom bunuh diri.

Saud Usman Nasution menjelaskan, pada tahun lalu beberapa orang etnis Uighur dari provinsi Xinjiang, Cina menanggapi seruan salah satu tokoh pendukung ISIS di Indonesia, Santoso, untuk bergabung dengan barisan milisi mereka. Islamic State-ISIS dan jaringan penyelundup manusia membantu orang-orang Uighur itu menempuh perjalanan lewat Myanmar, Thailand dan Malaysia ke tempat persembunyian Santoso di kawasan hutan di kawasan Sulawesi di Indonesia timur.

Lari dari Represi

Di Xinjiang aksi kekerasan dan represi terhadap minoritas Uighur telah menewaskan ratusan orang dalam beberapa tahun terakhir. organisasi pembela HAM mengatakan banyak dari kerusuhan berpangkal pada rasa
frustrasi atas pemberangusan budaya dan agama etnis Uighur. Sebagian dari mereka yang lari meninggalkan negaranya hanya melarikan diri dari represi dan tidak berusaha untuk melakukan jihad. Di lain pihak, Cina membantah telah menekan hak asasi warga Uighur.



Namun jika memang beberapa di antara waraga Uighur lari ke Indonesia untuk bergabung dengan gerakan ekstremisme, pakar terorisme Cina, Pan Zhiping dari Akademi Ilmu Sosial Xinjiang menegaskan: "Tentu saja kita harus menghentikan mereka. Dalam kerangka menangkal ekstremisme, diperlukan kerja sama."

Sementara itu, Bilveer Singh pakar politik internasional dari School of International Studies di Singapura mengatakan: "Keterlibatan langsung etnis Uighur dalam gerakan militansi Asia Tenggara akan menambah dimensi eksternal pada ancaman teroris yang sudah ada". Dia menambahkan: "Hal ini juga bisa menyulitkan Cina, yang mungkin ingin memainkan peran kontra-terorisme yang lebih besar di kawasan itu."

Dukungan terhadap ISIS

Indonesia dianggap berhasil mengatasi gerakan sel militan di dalam negeri sejak peristiwa pemboman dua klub malam di Pulau Bali pada tahun 2002, dan serangan sporadis lainnya.

Serangan teror kelompok radikal Islamis di Bali 2002 tewaskan lebih 200 orangFoto: AFP/Getty Images

Namun pemerintah kini khawatir bahwa pergolakan yang melibatkan ISIS di Suriah dan Irak, bisa menyulut kembali aksi kekerasan yang mengatasnamakan jihadg asing dan sasaran lunak. Pihak berwenang meyakini terdapat sekitar 1000 pendukung ISIS di Indonesia, antara 100 dan 300 orang telah kembali dari Suriah, termasuk perempuan dan anak-anak.

Baru-baru sekelompok orang yang menyebut diri sebagai Anonymous Indonesia merilis video di youtube, mengajak orang-orang untuk menentang aksi kekerasan yang dilakukan ISIS.

Pengamat masalah terorisme, Sidney Jones mengatakan kepada DW, jika ada pejuang yang kembali dari Suriah "dengan pengalaman tempur, komitmen ideologi yang mendalam, ketrampilan militer yang hebat, kontak dengan jihadis internasional dan legitimasi sebagai pemimpin, mereka bisa menghidupkan kembali gerakan ektremis di Indonesia."

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Saud Usman Nasution mengatakan bahwa dari hasil pemantauan, kelompok radikal ini tadinya berencana untuk meluncurkan serangan pada malam Natal dan Tahun Baru lalu, namun pihak keamanan berhasil mengendalikan keamanan.

"Mereka tidak bisa menyerang seperti yang dilakukan di Timur Tengah atau Eropa, karena kita mengantisipasinya sebelum mereka melakukan menyerang. Kami memantau kegiatan mereka setiap hari," paparnya. Ditambahkannya: Kemampuan mereka belum meningkat karena keterbatasan sumber daya manusia maupun pendanaan."


Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya