1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Ribuan Anak yang Yatim Piatu Selama Pandemi Butuh Perhatian

A. Kurniawan Ulung
21 Juli 2021

Anak-anak perempuan dan penyandang disabilitas yang kehilangan orang tua perlu perlindungan lebih agar tidak putus sekolah, atau jadi korban perdagangan orang dan perkawinan anak.

Pemakaman dengan protokol Covid-19
Suasana pemakaman dengan protokol Covid-19 di Jakarta Selatan pada 16 Juli 2021Foto: Agung Fatma Putra/ZUMA/picture alliance

Di tengah situasi pagebluk Covid-19 di Indonesia yang semakin memburuk dan angka kematian pasien yang semakin meningkat, kemungkinan jumlah anak yang kehilangan ayah atau ibunya, atau bahkan keduanya semakin bertambah dan meresahkan.

Di Indonesia, jumlah kasus Covid-19 terkonfirmasi terus meroket dan angka kematian pasien terus meningkat. Menurut laporan Satgas Penanganan Covid-19, angka harian pasien Covid-19 pada 20 Juli mencatatkan korban meninggal dunia 1.280 orang, dengan tiga provinsi penyumbang angka kematian terbesar yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Total korban meninggal menurut data tersebut hingga tanggal 20 Juli mencapai 76.200 orang.

Mendadak piatu

Di antara ribuan pasien Covid-19 yang meninggal di Jawa Barat ialah Nur Hamiyati, ibu rumah tangga asal Bekasi yang wafat dalam usia 52 tahun pada 5 Mei 2021.

Menurut putri bungsunya, Aurum Neswara, 19, ibunya memang telah mengidap penyakit darah tinggi semasa hidupnya. Akan tetapi setelah terpapar Covid-19, virus ini ternyata memperparah hipertensi yang ia alami, dan kondisinya semakin memburuk akibat kadar gula darahnya yang juga ikut melambung. 

"Aku masih enggak percaya bahwa ini (kepergian ibu) nyata," kata Aurum kepada DW Indonesia.

Bagi Aurum Neswara (dua dari kanan) sang ibu adalah sahabat terdekat tempatnya bercerita banyak hal.Foto: Privat

Merasa sangat terpukul oleh kepergian ibunya, ia sempat berupaya mencari pendampingan psikologis karena sosok yang selama ini selalu berada di sisinya dan memberikan dukungan emosional di masa sulit tiba-tiba telah pergi untuk selamanya.

Bagi Aurum, ibunya adalah sahabat terdekat tempat ia mencurahkan keluh kesah hatinya dan bercerita banyak hal, termasuk urusan asmara. "Aku enggak mungkin cerita cinta-cintaan ke papa," ujarnya.

Sembari menyelesaikan pendidikan strata satunya di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) di Surabaya, Aurum berupaya bangkit sekaligus belajar menggantikan peran ibunya dalam hal mengelola berbagai urusan domestik keluarga.

Tiba-tiba harus memikul beban

Juga ikut hancur hati Irna Dwi Asprianti, 21, setelah ibunya, Kasiatin, meninggal akibat Covid-19 pada usia 49 tahun pada 10 November 2020 di Sidoarjo, Jawa Timur.

Pandemi Covid-19 telah meninggalkan kepedihan mendalam bagi keluarganya karena bencana kemanusiaan ini telah merenggut sosok yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi keluarga setelah ayah Irna kesulitan berjalan akibat syaraf tulang punggungnya terjepit dan gejala strok ringan.

"Ibu jual kerupuk di warung dan bantu temannya jual pecel. Kalau pagi ibu bikin gorengan untuk warung-warung kopi. Bapak 'kan enggak kerja. Jadi bapak bantu ibu di usaha kerupuk itu," kata Irna kepada DW Indonesia.

Menurut Irna, ibunya selama ini tidak pernah memiliki riwayat gangguan pernapasan. Oleh karena itu, ketika ibunya tiba-tiba mengeluh sesak nafas, ia bingung dan kemudian kaget setelah tahu bahwa ibunya positif Covid-19. 

Irna (kanan) menyadari beban yang harus ia pikul setelah sang ibu pergi.Foto: Privat

Ia menangis ketika melihat dokter terpaksa mengikat tangan ibunya di ranjang agar tidak terus-menerus mencoba melepas alat bantu pernapasan dari mulut. Saturasi oksigen di tubuh ibunya sempat membaik pada saat itu, tetapi sehari kemudian saturasinya tiba-tiba drop dan bantuan oksigen yang digenjot melalui ventilator tidak mampu menyelamatkan nyawanya.

Setelah mengikhlaskan kepergian sang ibu untuk selama-lamanya, Irna mengaku bahwa ia sempat merasa terkejut ketika beban hidup yang dulu dipikul ibunya kini tiba-tiba berada di pundaknya: mengurus rumah, merawat ayahnya yang sedang sakit, dan membesarkan adiknya yang masih duduk di bangku SD.

Untuk membantu menggerakkan roda ekonomi keluarga, Irna memberi les kepada siswa-siswa SD sambil terus berjuang menyelesaikan pendidikan strata satunya di Universitas Jember. Ia mengakui, pada awalnya ia mengalami kesulitan dalam melakukan kedua hal tersebut.

"Setelah ditinggal ibu, aku syok, stres, dan linglung. Aku benar-benar merasa tidak punya dunia lagi. Duniaku hilang. Aku enggak mau kerjakan tugas kuliah. Akibatnya, IP (indeks prestasi) di semester lima lebih rendah dari IP di semester satu," katanya.

Anak perempuan dan penyandang disabilitas lebih rentan

Menurut Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan, pemerintah perlu memberikan layanan psikologis untuk anak-anak yang tiba-tiba kehilangan ayah atau ibunya atau bahkan keduanya di masa pandemi.

"Layanan ini penting untuk membantu anak-anak mengatasi rasa kehilangan orang tua dan mempersiapkan mereka untuk survive menjadi manusia tangguh," kata Siti kepada DW Indonesia.

Ia mengingatkan bahwa ketika orang tua meninggal, anak perempuan dan anak penyandang disabilitas berada di lapisan yang paling rentan putus sekolah.

Ia menjelaskan, setelah anak perempuan menjadi yatim atau piatu, kemungkinan mereka menghadapi hambatan dalam mengakses pendidikan sangat besar karena mereka harus mengganti peran ayah atau ibunya dalam mengurus adik-adiknya.

"Juga ada kemungkinan terjadi perkawinan anak. Ketika orang tua tidak ada dan (anak-anak yang ditinggalkan) membutuhkan dukungan untuk membiayai hidup, anak perempuanlah yang akan dikawinkan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Ini biasa terjadi dalam kultur kita. Ini potensi ke depan yang mungkin terjadi," kata Siti.

Ia juga mengingatkan potensi terjadinya perdagangan anak yatim atau piatu untuk adopsi ilegal.

Perlunya bicara kemungkinan terburuk di dalam keluarga

Siti menyarankan, pemerintah perlu membangun komunikasi dengan masyarakat tentang perlunya keluarga mempersiapkan mitigasi risiko.

Di dalam mitigasi risiko, ketika ayah atau ibu terpapar Covid-19 dan sedang menjalani isolasi mandiri, mereka perlu sesegera mungkin berbicara dengan anggota keluarga besar tentang siapakah yang selanjutnya akan merawat dan membesarkan anak-anak mereka jika hal yang terburuk terjadi: salah satu atau kedua orang tua meninggal. Mitigasi ini perlu terutama jika anak yang ditinggalkan masih balita atau masih di bawah umur.

Tujuannya ialah memastikan kejelasan tentang siapakah yang selanjutnya akan ditunjuk untuk merawat anak-anak untuk menjamin akses pendidikan mereka, dan melindungi mereka dari ancaman perkawinan anak dan perdagangan anak. Mitigasi ini perlu terutama jika anak yang ditinggalkan masih balita atau berada pada usia anak.

"(Putus sekolah, perkawinan anak, dan adopsi ilegal) masih potensi, tetapi ini mungkin sekali terjadi jika kita tidak berhasil menanggulangi pandemi Covid-19 ini dan jika tidak ada mitigasi risiko baik di internal keluarga inti, komunitas, maupun negara," katanya.

Menurut Siti, pemerintah juga tidak boleh lepas tangan. Pemerintah perlu memberikan bantuan kepada anak-anak yatim yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah, terutama bantuan pendidikan seperti beasiswa, bantuan kesehatan seperti obat-obatan, dan kebutuhan hidup sehari seperti sembako.

Lagi-lagi, masalah tidak tersedianya data valid

Angka pasti jumlah anak yang menjadi yatim atau piatu di masa pandemi belum ada, tetapi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperkirakan, jumlahnya mencapai ribuan karena tingginya angka kematian di Indonesia. Menurut laporan Satgas Penanganan Covid-19, angka total kematian pasien Covid-19 di Indonesia telah mencapai 76.200 per 20 Juli 2021.

Indonesia perlu meniru pemerintah India yang proaktif mendata anak-anak yang menjadi yatim atau piatu di masa pandemi. Di akun Twitternya, Menteri Urusan Perempuan dan Anak di India, Smirti Irani, menulis twit bahwa antara 1 April dan 25 Mei, setidaknya 577 anak di India kehilangan kedua orang tua akibat terinfeksi virus corona.

Retno Listyarti, dari KPAI mengatakan tidak tahu mengapa pemerintah Indonesia belum mendata anak-anak yang menjadi yatim atau piatu di masa pandemi ini.

"Menurut saya, jangan-jangan pemerintah enggak ngeh (tidak sadar -red. tentang pentingnya data tersebut) karena sibuk dengan upaya mengendalikan (penyebaran virus). Mungkin banyak orang juga enggak ngeh tentang bagaimana pandemi ini telah membuat anak-anak di bawah umur kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya. Pemerintah tampaknya belum menyadari bahwa anak-anak ini butuh pertolongan," ujarnya.

Retno mengatakan, KPAI tidak memiliki wewenang melakukan pendataan. Ia berjanji bahwa ketika mengikuti rapat pleno komisioner pada Senin (19/07), untuk mendorong pemerintah segera memilah data dan mengumumkan anak-anak di bawah umur yang kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya.

Retno setuju dengan perlunya bantuan pemerintah untuk anak-anak yang tiba-tiba menjadi yatim piatu di masa pandemi, tetapi permasalahannya ialah pemerintah belum mengeluarkan data mengenai berapa jumlah mereka dan di mana keberadaan mereka.

"Pertanyaannya ialah anak-anak ini mau diapakan? Menurut saya, bagaimana mau diapakan, wong datanya saja enggak jelas," kata Retno kepada DW Indonesia. "Pemerintah perlu segera melakukan pemetaan data. Setelah ada data, kita baru bisa berbuat sesuatu untuk memenuhi hak-hak mereka." (ae)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait