Ribuan Warga Timor Leste Gelar Protes di Kedubes Australia
22 Maret 2016
Ribuan orang berdemonstrasi di depan Kedutaan besar Australia di Dili. Mereka menuntut negosiasi ulang perjanjian eksplorasi minyak dan gas di Celah Timor yang ternyata hanya menguntungkan Australia.
Iklan
Lebih 10.000 warga, aktivis, mahasiswa dan mantan pejuang menggelar demonstrasi di luar Kedutaan besar Australia di ibukota Timor Leste, Dili, hari Selasa (22/03). Koordinator aksi protes Juvinal Dias mengatakan kepada kantor berita AFP, sekolah-sekolah di Dili diliburkan untuk hari ini.
"Ini mungkin demonstrasi terbesar yang pernah kita lihat sejak kita mendeklarasikan kemerdekaan," kata Juvinal Dias.
"Sangat besar, dan ini diselenggarakan oleh warga, bukan oleh pemerintah", kata dia.
Wilayah laut Timor Leste diketahui kaya minyak dan gas. Perekonomian negara kecil itu sangat bergantung dari ekspor sumber daya alamnya.
Pemerintah Timor Leste sejak lama mendesak Australia agar melakukan negosiasi ulang soal eksplorasi minyak dan gas di Celah Timor dan soal batas-batas negara di wilayah laut. Kesepakatan yang sekarang dinilai sangat merugikan Timor Leste.
Dili mengklaim bahwa Australia memata-matai para pejabatnya selama negosiasi Celah Timor demi mendapatkan keuntungan komersial maksimal. Karena itu Timor Leste ingin agar perjanjian yang ada dibatalkan.
Australia dan perusahaan-perusahaan minyak internasional dituduh menekan Timor Leste untuk menandatangani kesepakatan bagi hasil minyak.
Timor Leste dan Australia menandatangani kesepakatan itu bulan Januari 2006, empat tahun setelah negara itu resmi merdeka dari pendudukan Indonesia. Namun perjanjian tersebut masih harus diratifikasi.
Korrdinator aksi protes Juvinal Dias mengatakan, para pengunjuk rasa menuntut ingin agar Australia menghormati hukum internasional dan kembali ke meja perundingan dengan itikad baik.
Permintaan agar delegasi warga Timor diberi kesempatan bertemu dengan Duta Besar atau seorang pejabat senior lain ditolak pihak Australia. Tuntutan para pemrotes akhirnya disampaikan lewat surat.
Warga Timor Leste dan para simpatisan di luar negeri juga menggelar aksi protes serupa, antara lain di Sydney, melbourne dan di Jakarta.
Timor Leste resmi merdeka tahun 2002, setelah sebelumnya ratusan tahun di bawah penjajahan Portugis dan 25 tahun masa pendudukan Indonesia. Tahun 1999, pemerintahan Presiden Habibie mengijinkan referendum di wilayah Timor-Timur di bawah pengawasan PBB, agar warga Timor Timur menentukan nasibnya sendiri. Negara berpenduduk sekitar 1,1 juta orang itu termasuk negara paling miskin.
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.