Ridwan Kamil yang diunggulkan untuk Pilkada Jabar 2018 kelimpungan memilih cawagub yang diusulkan partai-partai pendukung. Kini dia berusaha memadu asmara dengan PDIP yang juga meminta jatah serupa.
Iklan
Hari-hari ini semua mata di Jawa Barat tertuju pada sosok Ridwan Kamil. Bekas dosen arsitektur ITB itu sedang mencari jodoh buat menghadapi pasangan Dedy Mizwar dan Ahmad Syaikhu yang diusung koalisi PKS, Demokrat dan PAN di Pemilihan Gubernur 2018. Namun di tengah wara wiri politik jelang Pilpres 2019, Kang Emil kesulitan mencari pinangan yang sesuai.
Golkar yang mencabut dukungan awal Desember silam, kini mengajukan nama Dedi Mulyadi sebagai calon wakil gubernur sebagai syarat dukungan. Celakanya posisi yang sama diperebutkan oleh PKB dan PPP yang lebih dulu mendukung bekas walikota Bandung itu. Pun PDIP yang hingga kini masih menahan diri diyakini bakal meminta jatah serupa untuk mencairkan dukungannya.
Di tengah keruwetan tersebut kang Emil memilih diam. Soal posisi Cawagub, ujarnya, "nanti diserahkan kepada koalisi. Kalau bertanya wakil kepada saya, per hari ini, saya tidak pada posisi yang menentukan," kata Ridwan di Kantor DPP PDIP di Jakarta, Rabu (3/1), seperti dikutip CNN Indonesia.
"Saya ini pengantin yang siap dipasangkan dengan siapapun, saya belajar mencintai dengan mudah dan cepat," imbuhnya.
Pilkada Cerminan Pilpres 2019
Presiden Joko Widodo dikabarkan berkepentingan secara langsung pada karir Ridwan Kamil di Jawa Barat. Ia bahkan mengintervensi langsung saat sang walikota berniat terjun melawan Basuki Tjahaja Purnama di Pilkada DKI Jakarta 2017. "Kalau saya lawan Pak Ahok, Pak Ahok menang, saya nganggur. Atau saya menang, Pak Ahok nganggur. Jadi enggak bermanfaat. Mungkin itu nasihat bijak yang saya pahami," ujar Ridwan Kamil seusai dipanggil Jokowi akhir Februari 2016.
Siapa Calon Pemimpin Indonesia?
Hasil survey Saiful Mujani Research Centre belum banyak mengubah peta elektabilitas tokoh politik di Indonesia. Siapa saja yang berpeluang maju ke pemilu kepresidenan 2019.
Foto: Imago/Zumapress
1. Joko Widodo
Presiden Joko Widodo kokoh bertengger di puncak elektabilitas dengan 38,9% suara. Popularitas presiden saat ini "cendrung meningkat," kata Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan.
Foto: Reuters/Beawiharta
2. Prabowo Subianto
Untuk sosok yang sering absen dari kancah politik praktis pasca pemilu, nama Prabowo masih mampu menarik minat pemilih. Sebanyak 12% responden mengaku akan memilih mantan Pangkostrad itu sebagai presiden RI.
Foto: Reuters
3. Anies Baswedan
Selain Jokowi dan Prabowo, nama-nama lain yang muncul dalam survey belum mendapat banyak dukungan. Gubernur terpilih DKI Jakarta, Anies Baswedan, misalnya hanya mendapat 0,9%.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Agung Rajasa
4. Basuki Tjahaja Purnama
Nasib serupa dialami bekas Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama. Sosok yang kini mendekam di penjara lantaran kasus penistaan agama itu memperoleh 0,8% suara. Jumlah yang sama juga didapat Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
Foto: Getty Images/T. Syuflana
5. Hary Tanoesoedibjo
Pemilik grup MNC ini mengubah haluan politiknya setelah terbelit kasus hukum berupa dugaan ancaman terhadap Kepala Subdirektorat Penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Yulianto. Hary yang tadinya beroposisi, tiba-tiba merapat ke kubu Presiden Joko Widodo. Saat inielektabilitasnya bertengger di kisaran 0,6%
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Ibrahim
6. Agus Yudhoyono
Meski diusung sebagai calon pemimpin Indonesia masa depan, saat ini popularitas Agus Yudhoyono masih kalah dibanding ayahnya Soesilo Bambang Yudhoyono yang memperpoleh 1,9% suara. Agus yang mengorbankan karir di TNI demi berpolitik hanya mendapat 0,3% dukungan.
Foto: Getty Images/AFP/M. Naamani
7. Gatot Nurmantyo
Jumlah serupa didapat Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang belakangan terkesan berusaha membangun basis dukungan. Nurmantyo hanya mendapat 0,3%. Meski begitu tingkat elektabilitas tokoh-tokoh ini akan banyak berubah jika bursa pencalonan sudah mulai dibuka, klaim SMRC.
Foto: Imago/Zumapress
7 foto1 | 7
Jokowi memang diisukan tengah mempersiapkan kang Emil jadi gubernur di Jawa Barat. "Posisi kepala daerah cukup menentukan bagi dukungan saat Pilpres," kata Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research Centre (SMRC) Djayadi Hanan, seperti dilansir Tirto.id.
Kesimpulan tersebut bukan tak beralasan. Pada Pemilu Kepresidenan 2014, PKS yang menguasai Jawa Barat berhasil menggalang hampir 60% suara buat Prabowo Subianto. Begitu pula sebaliknya dengan suara Jawa Tengah dan Jawa Timur yang beralih ke Jokowi berkat dukungan kepala daerah.
Kini ketiga daerah kantung suara terbesar di Indonesia itu sedang mempersiapkan kedatangan pemimpin baru lewat Pilkada Serentak pada pertengahan 2018.
Memancing Dukungan Banteng
Saat ini harapan terbesar Ridwan Kamil adalah memadu asmara dengan PDIP. Rabu (3/1) dia menyambangi kantor DPP PDIP di Jakarta buat membahas koalisi jelang Pilkada Jabar. Waktu yang kian mendesak membuat Ridwan Kamil mulai gugup.
"Saya tidak ada masalah. Tapi posisinya deadlock. Makanya saya sampaikan, ya sudah, saya serahkan ke partai-partai pengusung. Levelnya sudah level Ketua Umum," ujarnya seperti dikutip CNN Indonesia.
Sementara Ketua DPP PDIP Bidang Pemenangan Pemilu, Bambang Dwi hartono mengakui keputusan soal koalisi Pilkada Jabar baru akan ditentukan pada rapat pleno DPP. "Tugas saya mengkoordinasikan data fakta analisa seobjektif ke pleno. Pleno lah kemudian yang mendiskusikan, memperdebatkan, kemudian mengambil keputusan," tuturnya
Catatan 3 Tahun Kepemimpinan Jokowi
Sebanyak 68% penduduk mengaku puas atas kinerja Joko Widodo. Namun setelah tiga tahun berkuasa, catatan kepemimpinan Jokowi banyak menyisakan pekerjaan rumah yang belum dituntaskan, terutama masalah HAM.
Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
Terrorisme
Pemerintah mengklaim sebanyak 999 eks-jihadis berhasil mengikuti program deradikalisasi. Sejumlah pengamat juga menghargai satuan anti teror Densus 88 yang kini lebih sering menangkap terduga teroris, dan tidak lagi menembak di tempat. Pendekatan lunak ala Indonesia juga mengundang pujian dunia. Tantangan terbesar adalah RUU Anti Terorisme yang bakal melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme.
Foto: Reuters/W. Putro/Antara Foto
Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur sejak awal menjadi jurus pamungkas Jokowi. Berbagai proyek yang tadinya mangkrak kembali dihidupkan, antara lain jalan Trans-Papua, infrastruktur kelistrikan berkapasitas 35.000 megawatt yang baru tuntas 40% dan transportasi. Di bawah pemerintahannya anggaran infrastruktur digandakan dari 177 triliun Rupiah pada 2014 menjadi 401 triliun untuk tahun anggaran 2017.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Demokrasi
Indeks demokrasi Indonesia banyak menurun di era Jokowi. Pemerintah berkilah, berlangsungnya pilkada ikut mempengaruhi peringkat Indonesia. Sejumlah pengamat menyoroti wacana Ambang Batas Kepresidenan sebesar 20% dan Perppu Ormas yang dinilai bermasalah. Selain itu Indeks Kebebasan Pers selama tiga tahun terakhir juga mencatat kemerdekaan media di Indonesia cenedrung berjalan di tempat.
Foto: picture alliance/abaca/J. Tarigan
Intoleransi
Ujaran kebencian dan kabar hoax menemani kepresidenan Jokowi sejak Pemilu 2014 dan memuncak pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Sejak itu dia mulai aktif memberangus media-media hoax, mengeluarkan Perppu yang membidik organisasi intoleran seperti HTI, menggandeng Facebook dan Twitter buat menghalau fitnah dan membentuk unit anti intoleransi.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Hubungan Internasional
Sejauh ini Istana Negara banyak menitikberatkan kerjasama internasional untuk membantu program pembangunan di dalam negeri seperti diplomasi maritim. Namun tantangan terbesar Indonesia adalah menjadi poros penyeimbang antara kekuatan regional Cina dan negara ASEAN, terutama menyangkut konflik Laut Cina Selatan.
Foto: Reuters/R. A. Tongo
Hak Azasi Manusia
Ada masanya ketika Jokowi menggariskan penuntasan pelanggaran HAM sebagai prioritas utama. Namun cita-cita tersebut menyurut seiring berjalannya roda pemerintahan. RUU Penyiaran misalnya mendiskriminasi kaum minoritas seksual. Sementara rekonsiliasi pembantaian 1965 cendrung berjalan di tempat dan penggunaan hukuman mati yang masih marak menjadi catatan hitam pemerintahan Jokowi.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
Ekonomi
Banyak hal positif yang dicatat dari pemerintahan Joko Widodo di bidang ekonomi, meski tidak membuahkan target pertumbuhan yang dipatok 7%. Selain 16 paket kebijakan, pemerintah juga dinilai sukses meningkatan pemasukan pajak, memperbaiki kemudahan berbisnis, rating investasi dan mempertahankan inflasi. Namun begitu rendahnya konsumsi domestik menjadi catatan muram perekonomian Indonesia.
Foto: Reuters
Lingkungan
Konflik agraria yang kian meruncing membutuhkan reformasi untuk mendamaikan kebijakan lingkungan, tanah adat dan kebutuhan industri. Tahun 2016 saja pemerintah mencatat 400 konflik yang melibatkan 1,2 juta hektar lahan, kebanyakan akibat ekspansi perkebunan. Reformasi agraria masih menjadi agenda besar Indonesia, terutama menyangkut penanggulangan perubahan iklim yang kian mendesak.