Riset: Apa yang Paling Ditakutkan Warga Jerman?
19 September 2025
Tak berdaya, ragu, dan penuh kehati-hatian. Ditambah kegemaran berlebihan akan keamanan serta segenggam besar ketakutan pada masa depan. Itulah yang dikenal sebagai German Angst atau ketakutan khas Jerman.
Mungkin kebetulan, mungkin juga tidak, bahwa banyak studi tentang ketakutan justru paling banyak dilakukan di negeri ini.
Begitu pula studi tahunan Die Ängste der Deutschen 2025 oleh R+V Versicherung, yang untuk ke-34 kalinya menelisik isi hati warga Jerman, 2.400 responden berpartisipasi dalam penelitian ini. Hasilnya mengejutkan: ketakutan warga cenderung menurun, di tengah krisis global, di tengah ekonomi yang belum pulih.
Barang kali ini pertanda, seperti kata ilmuwan politik Isabelle Borucki dari Universitas Marburg, bahwa masyarakat "sedang menarik napas lega setelah bertahun-tahun dicekam krisis." Fokus mereka kini, katanya, "lebih pada di sini dan sekarang, bukan pada masa depan yang menakutkan.”
Memang, kekhawatiran atas kondisi ekonomi dan biaya hidup yang tinggi masih menggelayuti, imbuhnya, "tapi orang-orang tidak merasa seberat sebelumnya.”
Mimpi buruk finansial
Ketakutan terbesar masih berpusar pada pendapatan yang tak cukup untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Cerminan terbesar adalah harga-harga barang di supermarket, pompa bensin, hingga tagihan listrik. Untuk ke-15 kalinya, dan kedua tahun berturut-turut, rasa takut harga-harga melambung menempati posisi pertama.
Dari empat ketakutan teratas, tiga terkait urusan uang: yakni kekhawatiran atas pajak dan pemotongan tunjangan, serta ketakutan terhadap kenaikan harga properti yang kian tak terjangkau.
"Masalah perumahan sangat krusial, sebab baik harga sewa maupun biaya tambahan seperti pemanas dan listrik hampir tidak menunjukkan penurunan,” ujar Borucki. Dia menambahkan, isu perumahan terjangkau bisa menjadi agenda sosial-politik nomor satu dalam pemilu mendatang.
Migrasi: Sumber kecemasan di Timur
Di antara kecemasan ekonomi itu, ada rasa takut lain, terutama di Jerman Timur, bahwa negara tak mampu lagi menampung pengungsi. Padahal, jumlah permohonan suaka pada paruh pertama 2025 justru turun hampir 50% ke kisaran 73.000 pemohon, berkat aturan ketat dari pemerintahan sebelumnya dan kontrol perbatasan yang lebih ketat di bawah koalisi baru CDU-SPD.
Borucki menjelaskan, kecemasan itu sebenarnya lebih menyangkut identitas sosial dan rasa kebersamaan ketimbang kebijakan imigrasi itu sendiri. "Narasi tentang pengungsi mudah dipakai sebagai instrumen politik, terutama oleh kelompok populis kanan atau ekstrem kanan,” ujarnya.
Otoritarianisme dan Trump
Ketakutan yang justru meningkat adalah bangkitnya kekuasaan otoriter di dunia. Pengambilalihan jabatan oleh Presiden AS Donald Trump disebut sebagai salah satu penyebab. Ketakutan terhadap penguasa otoriter dan khususnya terhadap kebijakan Trump menempati posisi kelima dan keenam.
Sementara itu, kepercayaan publik terhadap politik Jerman tetap rendah. Jika studi ini dianalogikan dengan nilai rapor sekolah, para politisi hanya mendapat nilai rata-rata D, sedikit lebih baik daripada D- tahun lalu, artinya tetap menunjukkan ketidakpuasan mendalam.
"Bukan alasan untuk berbangga diri,” kata Borucki. "Lebih dari separuh masyarakat hanya memberi nilai cukup. Kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah Merz untuk menavigasi krisis belum tampak. Karena itu membangun kepercayaan sangat penting.”
Ketakutan iklim menurun, bencana meningkat
Kejutan lain adalah, ketakutan warga terhadap dampak perubahan iklim dan bencana cuaca ekstrem, kini hanya berada di peringkat 15 dan 16 atau turun drastis, meski bencana global meningkat. Isu lingkungan tersisih dari agenda politik, apalagi setelah Partai Hijau tidak lagi duduk di pemerintahan.
Namun Borucki memperingatkan, perubahan situasi bisa datang cepat. "Peristiwa seperti banjir di banjir bandang di Ahrtal 2021 bisa kembali menghidupkan kecemasan ini,” katanya. Menariknya, pada responden muda usia 14–19 tahun, ketakutan terhadap perubahan iklim justru masuk tiga besar.
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Polarisasi tak lagi menakutkan
Sebaliknya, ketakutan akan perpecahan masyarakat berkurang drastis, turun sembilan poin persentase. Menurut Borucki, masyarakat tampak sudah terbiasa dengan kondisi krisis dan konflik publik. "Ada semacam kelelahan atas polarisasi. Keadaan terbelah dianggap sebagai kondisi permanen,” ujarnya.
Barangkali inilah ironi khas German Angst: ketika rasa takut dianggap bagian dari keseharian, ia kehilangan daya gigitnya. Namun, seperti inflasi yang tak kunjung reda atau harga sewa yang terus merangkak, ketakutan bisa saja kembali—dan biasanya, tanpa mengetuk pintu lebih dulu.
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Agus Setiawan