Efek pemanasan global sudah terasa pada turunnya habitat ikan di Peru. Riset kondisi di Samudra Pasifik dan arus Humboldt di perairan Peru tunjukkan turunnya kadar oksigen di Samudra.
Iklan
Riset di Peru Tegaskan Bukti Efek Pemanasan Global
05:16
Pantai Pasifik di pelabuhan ibukota Peru, Lima pada pagi hari. Pada jam-jam ini situasi tenang. Sekelompok orang ini tampak menonjol. Tiap hari mereka melakukan prosedur sama. Di waktu yang sama mereka bertolak ke laut, mengabdi bagi ilmu pengetahuan.
Ulf Riebesell, peneliti kelautan dari pusat riset Helmholtz GEOMAR di Kiel menuturkan: "Kami memuat perlengkapan ke perahu, mempersiapkan diri untuk mengambil sampel, kemudian menuju ke Mesokosmos, dan sepanjang pagi kami mengumpulkan sampel penelitian. Menurunkan sensor. Ssetiap pagi ada program besar di sini."
Meninjau Kerja di Kapal Riset
Dalam perjalanannya dari Bremerhaven ke Cape Town, kru kapal riset Polarstern mengirimkan sejumlah gambar yang mendokumentasikan pekerjaan mereka. Bagaimana hidup sehari-hari para ilmuwan di kapal riset?
Foto: Eva Brodte
Matahari Janjikan Hari Baik
Bagaimana rasanya bekerja dan hidup di kapal riset yang berlayar di laut lepas? Jika harus melewatinya selama 24 jam tiap hari selama berminggu-minggu, jelas lebih enak jika cuaca baik, dan orang bisa menikmati sinar matahari.
Foto: Eva Brodte
Hari-Hari Berawan
Tapi sayangnya matahari tidak selalu bersinar. Ada juga hari-hari yang diselubungi awan. Namun demikian, kru harus terus aktif bekerja dalam kondisi apapun.
Foto: Eva Brodte
Keamanan Jadi Hal Terpenting
Sebelum masuk dek untuk bekerja, setiap anggota kru harus mengenakan jaket penyelamat dan helm.
Foto: Eva Brodte
Mengambil Contoh Air
Tujuan ekspedisi ini adalah untuk mencari tahu lebih banyak dampak perubahan iklim. Untuk itu anggota kru mengambil contoh air untuk dianalisa.
Foto: Eva Brodte
Dari Laut Beralih ke Laboratorium
Mereka mengambil contoh air dari lautan dengan menggunakan ember. Air kemudian dipindahkan ke jeriken. Air kemudian difilter sebelum dibawa ke laboratorium.
Foto: Eva Brodte
Analisa di Laboratorium
Ilmuwan menganalisa contoh air dari laut dan melihat kandungan pigmen seperti klorofil, dalam beberapa laboratorium yang terdapat pada kapal. Mereka tak sabar melihat hasil tes tersebut. Penulis: Ruben Kalus (ml/as)
Foto: Eva Brodte
6 foto1 | 6
Proyek penelitian internasional ini dilaksanakan Pusat Penelitian Kelautan Helmholtz GEOMAR di Kiel, Jerman. Sudah berminggu-minggu sekitar 70 ilmuwan dari 10 negara bekerja di lahan percobaan di Pasifik. Mereka menempatkan berbagai konstruksi yang tampilannya aneh, yang disebut Mesokosmos. Ini ibaratnya tabung percobaan berukuran raksasa. Dari sana para peneliti mengambil air dari berbagai kedalaman untuk diperiksa. Mereka mengecek kadar oksigen dan jumlah plankton dari berbagai lapisan air.
"Sekarang kami mengambil sampel yang sensitif terhadap gas. Kami harus mengambilnya dengan cara khusus. Tidak bisa dimasukkan begitu saja ke dalam jeriken. Harus memperhatikan bahwa tidak ada gas yang hilang saat memindahkan sampel. Oleh sebab itu kami di sini mempersiapkan botol-botol kecil dan harus bekerja dengan teliti", ujar seorang ilmuwan.
Peneliti lain menimpali: "Saya mengambil contoh dari permukaan. Kami mengikutsertakan 12 meter pertama dari permukaan,sampel air kami isikan ke jeriken."
Riset internasional efek pemanasa global
Ini eksperimen penelitian penting di kawasan arus Humboldt yaitu salah satu kawasan laut yang paling kaya keragaman hayati. Tapi ada kekhawatiran besar, karena kadar oksigen turun di berbagai bagian samudera.
Peru sangat berkepentingan dengan studi ini, karena dari sinilah 10% penangkapan ikan di dunia berasal. Untuk para ilmuwan ini kawasan penelitian paling ideal.
5 Masalah Lingkungan Terbesar Abad Ini
Dunia hadapi 5 masalah lingkungan tebesar yang pemecahannya amat sulit. Tanpa langkah penyelamatan global, biosfer terancam musnah. Ini berarti kiamat bagi umat manusia.
Foto: picture-alliance/dpa/J. Stratenschulte
Polusi Udara
Emisi CO2 terus membebani lingkungan. Setelah revolusi industri, aktivitas manusia, terutama dari pembakaran bahan bakar fosil jadi penyumbang terbesar cemaran udara. WHO melaporkan sekitar 10 persen kasus kematian pada 2012, adalah akibat dampak penyakit yang dipicu polusi udara. Foto:Shanghai diselimuti smog.
Foto: Getty Images/AFP/J. Eisele
Pembabatan Hutan
Pembalakan liar dan pembabatan hutan tropis kini terjadi dengan laju menakutkan. Setiap tahun rata-rata 7,3 juta hektar hutan dibabat, untuk dijadikan pemukiman, lahan perkebunan besar, tanah pengangonan dan pertanian monokultur lainnya. Fungsi hutan sebagai paru-paru hijau dan penyimpan CO2 turun drastis dan dampaknya amat luas.
Foto: picture-alliance/dpa
Pemusnahan Biodiversitas
Manusia menjarah alam dalam tempo yang menggiriskan. Pembabatan hutan dan rebutan habitat jadi pemicu utama musnahnya biodiversitas. Juga perburuan hewan untuk perdagangan daging maupun bagian tubuh lain, yang dipercaya sebagai obat mempercepat pemusnahan biodiversitas.
Foto: DW/A. Cizmecioglu
Erosi Tanah Subur
Monokultur, pembabatan hutan, pembetonan lahan dan perubahan tata guna lahan adalah pemicu erosi tanah subur. PBB melaporkan setiap tahunnya 12 juta hektar lahan pertanian terdegradasi jadi gurun akibat erosi. PBB sejak lama menyerukan metode pertanian berkelanjutan untuk mengerem laju erosi.
Foto: CC BY-SA 2.0/Jim Bain
Tekanan Ledakan Populasi
Populasi manusia tumbuh dengan cepat. Hanya dalam waktu satu abad, jumlah populasi meningkat dari 1,6 milyar di awal abad 20 menjadi 7,5 milyar orang saat ini. Tekanan populasi jadi potensi konflik perebutan lahan dan sumber daya alam terpenting, misalnya air. PBB memperkirakan, jika tidak direm, pada 2050 pupulasi penduduk Bumi bisa mencapai 10 milyar orang. Penulis: Nils Zimmerman (as/ml)
Foto: Getty Images/AFP/T. Aljibe
5 foto1 | 5
"Ini kawasan ideal untuk meneliti penurunan kadar oksigen dalam samudera. Kawasan ini secara alamiah memang mengandung sedikit oksigen. Jadi, jika samudera terus kehilangan oksigen, kawasan ini yang akan pertama kali mengalami situasi gawat. Bisa saja seluruh ekosistem di sini ambruk dalam waktu singkat. Karena itu kami datang ke sini, untuk mempelajari prosesnya", papar Ulf Riebesell lebih lanjut.
Ini proyek yang sangat rumit. Awal 2017 tim peneliti internasional menempatkan peralatan besar di kawasan laut tak jauh dari Lima. Letaknya di bagian laut dalam, karena dengan sampel air dari lapisan terbawah ilmuwan bisa mensimulasikan dalam Mesokosmos, seproduktif apa samudera dunia di masa depan.
Kembali ke pelabuhan Lima, setelah mengambil sejumlah sampel air untuk dianalisa. Jeriken berisi penuh air laut dari berbagai lapisan. Ini sampel penting yang kini dibawa untuk dianalisa di laboratorium yang didirikan spesial.
Dalam analisanya, para peneliti juga mencatat, apa yang sudah lama tercatat di sini, yaitu suhu air di sekitar pantai Peru meningkat. Maret lalu suhunya beberapa derajat lebih tinggi dari biasanya. Ini menyebabkan jumlah penguapan lebih besar, dan jadi penyebab banjir fatal Maret dan April lalu di kawasan itu. Inilah dampak perubahan iklim.
Kadar oksigen laut global terus turun
Studi para peneliti menunjukkan, kadar oksigen di laut-laut di dunia menurun 2% dalam 50 tahun terakhir.
Peneliti Ulf Riebesell menjelaskan: "Laut-laut sebenarnya mengalami tiga perubahan besar. Yang pertama: laut tambah hangat, itu perubahan iklim. Kemudian laut kadar asamnya meningkat, karena menyerap banyak CO2 yang diakibatkan manusia. Dan yang ketiga: laut kehilangan oksigen. Tiga hal inilah yang memegang peran terbesar di seluruh samudera."
Kota Terapung Menjawab Perubahan Iklim
Kota di permukaan samudera bisa menyelamatkan jutaan penduduk di negara kepulauan yang terancam perubahan iklim. Tapi berbeda dengan yang lain, konsep milik Institut Seasteading ini bisa direalisasikan dalam waktu dekat.
Foto: Floating City Project/DeltaSync
Bertaruh Nasib
Maladewa, Kepulauan Marshall atau bahkan Indonesia pun ikut terancam oleh kenaikan permukaan air laut sebagai dampak perubahan iklim. Selama ini pemerintah di negara kepualauan terkecil cuma memiliki satu solusi, yakni menyewa atau membeli tanah di negeri orang untuk mengungsi. Namun kini konsep kota terapung milik Institut Seasteading bisa menjadi solusi paling berkelanjutan.
Foto: RICO - Fotolia.com
Solusi di Samudera
Belum lama ini pemerintah Polynesia Perancis sepakat menggandeng rumah desain Institut Seasteading buat membangun kota terapung di permukaan samudera Pasifik, di lepas pantai Tahiti. Kota tersebut rencananya akan mulai dibangun tahun 2019. Menurut studi teranyar, dua pertiga wilayah Polynesia Perancis akan tenggelam pada akhir abad dengan laju kenaikan permukaan laut seperti saat ini.
Foto: Floating City Project/The Seasteading Institute /DeltaSync/Architectural Design Contest/Roark 3D/G. Sheare, L. & L. Crowley und P. White
Delapan Perintah Moral
Institut Seasteading yang didirikan oleh pemilik Paypal Peter Thiel itu memerlukan waktu lima tahun untuk mendesain "komunitas permanen dan inovativ yang mengapung di permukaan laut." Tidak tanggung-tanggung, institut tersebut mengklaim desainnya dibuat dengan merujuk pada delapan perintah moral, antara lain menyembuhkan orang sakit, menyejahterakan kaum miskin dan membersihkan atmosfer Bumi.
Foto: Floating City Project/The Seasteading Institute /DeltaSync/Architectural Design Contest/TDArch/Yin Tao-chiang
Surga Mengambang
Proyek pertama akan dibangun di atas 11 panggung mengambang berbentuk persegi yang susunannya bisa diatur sesuai kebutuhan penduduk kota layaknya kepingan puzzle. Untuk tahap pertama pemerintah Polynesia Perancis berencana membangun kota untuk menampung antara 250 hingga 300 orang. Kota ini nantinya akan sepenuhnya menggunakan energi terbarukan dan dikelola dengan konsep ramah lingkungan.
Foto: Floating City Project/The Seasteading Institute /DeltaSync/Architectural Design Contest/Seoul National University/M. Seok Kim
Tembok Air
Panggung mengambang tersebut rencananya akan dibangun dari beton bertulang dan bisa menampung gedung bertingkat tiga seperti hotel, apartemen atau pusat perbelanjaan dan memiliki usia pakai hingga 100 tahun. Setiap panggung akan dibuat sepanjang 50 metern dengan tinggi lima meter. Kota ajaib ini juga akan dilindungi oleh tembok laut setinggi 50 meter.
Foto: Floating City Project/The Seasteading Institute /DeltaSync
Mandiri dan Berkelanjutan
Setiap panggung bisa dipindahkan ke lokasi lain dengan menggunakan kapal penyeret dan dikaitkan dengan panggung lain buat membentuk formasi yang diinginkan. Kebutuhan air akan ditutupi dengan menyaring air laut dan sayuran atau buah bisa ditanam di rumah kaca dengan sistem akuaponik. Sementara sampah diangkut ke lokasi pengolahan yang dibangun di daratan.
Foto: Floating City Project/The Seasteading Institute /DeltaSync/Architectural Design Contest/A. Gyorfi
Terjangkau dan Realistis
Bahwa kota terapung di Haiti terjangkau secara ekonomi terlihat dari ongkos pembangunan tahap pertama yang ditaksir senilai 167 juta Dollar AS atau sekitar 2,2 triliun Rupiah. Ongkos pembangunan sebuah panggung mencapai 10 juta Dollar AS, tidak berbeda dengan harga tanah di kota metropolitan seperti New York atau London.
Foto: Floating City Project/The Seasteading Institute /DeltaSync/Architectural Design Contest/Roark 3D/G. Sheare, L. & L. Crowley und P. White
Kebebasan Politik
Keunikan terbesar kota terapung adalah kebebasan politik yang dinikmati penduduknya. Lantaran sifatnya yang mandiri dan bisa berpindah tempat, kota ini bisa memilih kota untuk melabuh. "Jika penduduknya tidak suka kebijakan sebuah kota, maka mereka bisa pindah ke kota lain," tulis Institut Seasteading. Keunikan tersebut diyakini akan memaksa pemerintah kota bekerja sesuai keinginan penduduk.
Foto: Floating City Project/DeltaSync
Realita Menyapa
Ada banyak gagasan inovatif lain untuk menghadirkan konsep pemukiman mengambang. Namun sejauh ini ide yang dikembangkan Institut Seasteading adalah yang paling realistis dan terjangkau. Meski begitu konsep kota terapung masih harus mengalami lusinan uji kelayakan untuk menghadapi berbagai bahaya seperti kebakaran, wabah penyakit, Tsunami atau kerusuhan sosial.
Foto: Floating City Project/The Seasteading Institute /DeltaSync/Architectural Design Contest/Atkins/S. Nummy
9 foto1 | 9
Ini hasil penelitian yang menyebabkan kecemasan. Suhu permukaaan laut yang hangat menyebabkan penyerapan oksigen lebih sedikit daripada air yang sejuk. Sirkulasi yang lemah menyebabkan oksigen tidak terbawa ke bagian laut yang dalam.
Sementara ilmuwan tuan rumah Michelle Graco, dari Instituto del Mar del Perú mengungkapkan: "Kini kami mengerti, apa yang terjadi di kawasan perairan kami. Pengaruh dari luar, perubahan iklim meninggalkan jejak. Apa yang berikutnya akan menimpa kita? Kini kami berusaha mencari tahu."
Dalam sejumlah akuakultur sampel air dan mahluk yang hidup di dalamnya dites dengan berbagai kemungkinan perubahan iklim. Ini percobaan jangka panjang, untuk meneliti, apakah produktivitas di air laut menurun jika kadar oksigen masih rendah. Yang jelas, akibat perubahan iklim ekosistem berubah, bahkan di bawah permukaan air. (DWInovator)
Kiamat Iklim Kian Dekat
Ilmuwan memperingatkan umat manusia hanya punya waktu tiga tahun untuk menyelamatkan Bumi dari dampak terburuk perubahan iklim. PBB mengusulkan enam butir rencana untuk menanggulanginya.
Berlomba dengan Waktu
Lewat jurnal ilmiah Nature, ilmuwan mewanti-wanti betapa manusia kehabisan waktu buat mencegah laju perubahan iklim menjadi tidak terkendali. Sisi positifnya, saintis meyakini manusia masih bisa menyelamatkan Bumi dari ancaman kekeringan, banjir, gelombang panas dan kenaikan permukaan air laut. Namun untuk itu kita hanya punya waktu tiga tahun.
Foto: Getty Images/L. Maree
Enam Langkah buat Bumi
Kelompok ilmuwan yang juga beranggotakan bekas Direktur Iklim PBB, Christiana Figueres, itu menyimpulkan jika kadar emisi bisa ditekan secara permanen hingga 2020, maka ambang batas temperatur yang bisa berdampak pada perubahan iklim tak terkendali tidak akan dilanggar. Untuk itu mereka mengusulkan rencana enam butir kepada dunia internasional.
Foto: picture-alliance/R4200
1. Energi Terbarukan
Saat ini energi terbarukan memenuhi sedikitnya 30% kebutuhan energi dunia. Angka tersebut banyak meningkat dari kisaran 23,7% pada 2015. Meski pertumbuhan produksi energi ramah lingkungan meningkat, pemerintah dan industri tidak boleh lagi membangun pembangkit listrik tenaga batu bara pasca 2020 dan semua pembangkit yang sudah beroperasi harus dipensiunkan.
Foto: picture-alliance/AP Images/Chinatopix
2. Infrastruktur Nol Emisi
Kota dan negara di dunia sudah berkomitmen untuk menghilangkan jejak karbon sepenuhnya pada sektor konstruksi dan infrastruktur pada 2050. Untuk itu Perjanjian Iklim Paris menyediakan program pendanaan senilai 300 milyar Dollar AS setiap tahun. Kota-kota wajib mengganti struktur konstruksi pada sedikitnya 3% bangunan/tahun di wilayahnya menjadi lebih ramah lingkungan atau nol emisi.
Foto: Getty Images
3. Transportasi Ramah Energi
Tahun lalu sebanyak 15% dari total penjualan kendaraan bermotor di seluruh dunia berbahan bakar elektrik. Jumlahnya meningkat 1% dari tahun sebelumnya. Namun pemerintah dan industri tetap diminta untuk menggandakan efisiensi bahan bakar untuk transportasi, yakni sebesar 20% untuk kendaraan berat dan pengurangan 20% emisi gas rumah kaca per kilometer untuk pesawat terbang.
Foto: picture-alliance/dpa/O. Berg
4. Penghijauan Lahan
Kebijakan penggunaan lahan harus diarahkan untuk mengurangi kerusakan hutan dan bergeser ke arah penghijauan kembali. Saat ini emisi gas rumah kaca dari pembalakan hutan dan pembukaan lahan mencapai 12% dari emisi global. Jika emisi tersebut bisa dikurangi menjadi nol, maka hutan yang ada bisa digunakan untuk mempercepat pengurangan emisi CO2 global.
Foto: picture-alliance/AP Photo/R. Abd
5. Efisiensi Industri Sarat Emisi
Industri berat seperti industri baja, semen, kimia, minyak dan gas, saat ini menghasilkan seperlima emisi CO2 di dunia, termasuk untuk kebutuhan energi. Baik pemerintah maupun swasta harus berkomitmen memangkas emisi CO2 industri berat menjadi separuhnya pada 2050. Hal ini bisa dicapai dengan pertukaran teknologi dan efisiensi energi.
Foto: Reuters/M. Gupta
6. Pendanaan Mitigasi Iklim
Sektor keuangan berkomitmen memobilisasi dana senilai 1 trilyun Dollar AS per tahun untuk program iklim. Kebanyakan berasal dari swasta. Pemerintah dan lembaga keuangan seperti bank dunia harus mengeluarkan "obligasi hijau" lebih banyak untuk membiayai program mitigasi perubahan iklim. Langkah itu berpotensi mampu menciptakan pasar yang mengelola dana senilai hampir 1 trilyun Dollar AS pada 2050.
Foto: picture-alliance/dpa/F. Rumpenhorst
Kiamat Tak Terbendung?
Celakanya bahkan jika manusia berhasil mencapai target dua derajat seperti yang tertera pada perjanjian iklim Paris, separuh populasi Bumi akan tetap menglami gelombang panas mematikan lebih sering pada 2100. Indonesia dan Amerika Selatan termasuk kawasan yang paling parah. Ilmuwan meyakini tren tersebut tidak bisa dicegah lagi. (rzn/hp - nature, unfccc, guardian)