1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Riset: Dunia Catat Rekor Terpanas Selama 12 Bulan Terakhir

8 Februari 2024

Suhu rata-rata di atas 1,5 derajat Celcius dari masa pra-industri melanda Bumi selama 12 bulan terakhir. Copernicus Climate Change Service sebut temuan tersebut selayaknya ditafsir jadi "peringatan untuk umat manusia."

Kekeringan di Suriah
Bencana kekeringan di Suriah, 2023Foto: Rami Alsayed/NurPhoto/picture alliance

Badai, banjir, kekeringan dan kebakaran hutan datang silih berganti di penjuru Bumi selama tahun 2023, yang antara lain disebabkan fenomena cuaca kering El Nino. Menurut catatan Layanan Riset Iklim Copernicus, C3S, suhu rata-rata sepanjang tahun melampaui rekor terpanas sejak 100.000 tahun terakhir.

Cuaca ekstrem berlanjut hingga ke tahun 2024, tulis Copernicus, dengan bulan Januari mencatatkan kenaikan suhu rata-rata sebesar 1,52 derajat Celcius lebih tinggi dibandingkan temperatur rata-rata di abad ke19.

"Kita sudah mulai menyentuh angka 1,5 derajat Celcius dan kita mulai melihat ongkosnya, secara sosial atau ekonomi," kata Johan Rockstrom dari Pusat Penelitian Dampak Iklim di Potsdam Institute. "I,5 derajat adalah level yang sangat tinggi dan mengancam kita lewat gelombang panas, kekeringan, bencana banjir, badai ekstrem dan kelangkaan air di penjuru dunia. Inilah yang kita pelajari dari tahun 2023."

Tahun lalu, bencana berurutan menimpa berbagai kawasan, terutama kekeringan di Basin Sungai Amazon, kebakaran hutan di Chile, banjir di California dan musim dingin berkeringat di selatan Eropa. "Tentunya, ini adalah peringatan bagi manusia dan kita melaju lebih cepat menuju batasan 1,5 derajat Celcius ketimbang yang kita sepakati," kata Rockstrom lagi.

El Nino 2023: Bagaimana Redam Musim Api di Era Krisis Iklim?

12:25

This browser does not support the video element.

Pemanasan ekstrem

Januari lalu, Copernicus mencatat rekor suhu panas bulanan selama delapan bulan berturut-turut, dengan suhu berkisar 1,66 derajat Celcius di atas rata-rata bulan Januari antara 1850 hingga 1990.

"Bukan cuma Januari terpanas dalam sejarah cuaca, tapi kita juga mengalami periode selama 12 bulan dengan suhu rata-rata lebih dari 1,5 derajat Celcius di atas level pra-industri," kata Samantha Burgess, wakil direktur C3S.

Rekor suhu global dicatat ketika angka pencemaran emisi gas rumah kaca terus meningkat sejak beberapa tahun terakhir. Panel Iklim Antarpemerintah PBB, IPCC, mewanti-wanti betapa suhu global akan bertengger stabil di atas 1,5 derajat Celcius pada awal dekade 2030an.

"Datangnya cuaca yang sangat panas secara beruntun adalah kabar buruk bagi manusia dan alam, yang mengalami dampak tahun-tahun ekstrem ini," kata Hoeri Rogely, Guru Besar Politik Iklim di Imperial College London, kepada AFP.

"Kecuali emisi global bisa segera dipangkas menjadi nol, dunia akan melampaui batas aman yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Iklim Paris."

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Januari terpanas

Copernicus melaporkan, temperatur bulan Januari melewati rekor di Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tengah, timur Kanada dan selatan Eropa. Namun di utara Eropa, barat Kanada atau wilayah tengah Amerika Serikat, suhu malah anjlok di bawah rata-rata.

Dan ketika sebagian di dunia mengalami Januari basah, kekeringan melanda di Amerika Utara, Tanduk Afrika dan Semenanjung Arab. Kekeringan dan gelombang panas juga menjadi pemicu utama kebakaran hutan di Chile, tulis Copernicus.

Kondisi kering juga dilaporkan berlanjut ke bulan Januari, di mana api kebakaran hutan dan lahan menjalar ke kawasan Valpraiso di pesisir Chile dan menewaskan 130 orang sepanjang akhir pekan. Sementara itu, fenomena cuaca El Nino yang memanaskan suhu laut di Pasifik Selatan, kini mulai melemah.

Walau demikian, suhu permukaan air laut terus mencatatkan rekor demi rekor. Rockstrom mengatakan, tahun 2023 adalah "tahun di mana dinamika samudera menggila, angkanya melampaui batas."

Laut, yang menutupi 70 persen permukaan Bumi, selama ini menopang regulasi suhu dengan menyerap 90 sisa panas yang dipantulkan atmosfer sebagai akibat pencemaran emisi gas rumah kaca oleh manusia.

Suhu laut yang lebih hangat akan meningkatkan tingkat kelembapan di udara dan berpotensi menciptakan cuaca ekstrem, seperti angin kencang atau hujan lebat, secara sporadis.

rzn/as (afp, ap, rtr)

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya