Hasil riset lembaga pemikir di Denmark mengungkap orang Jerman lebih tertarik untuk membatasi persoalan imigrasi, dan kurang memperhatikan masalah perubahan iklim.
Iklan
Sebuah penelitian yang diterbitkan pada Rabu (08/05) menyebutkan bahwa Eropa tengah mengalami peningkatan jumlah pihak yang mengatakan kalau imigrasi harus menjadi prioritas utama pemerintah. Negara Jerman disebut menduduki peringkat teratas dari riset ini.
Di saat yang sama, keinginan untuk memprioritaskan melawan perubahan iklim di negara-negara Eropa tersebut juga berkurang. Demikian hasil survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga pemikir Alliance of Democracies Foundation yang berbasis di Denmark.
Hampir setengah responden Jerman berfokus pada migrasi
Sejak 2022, ada banyak penduduk Eropa yang mengatakan bahwa pemerintah mereka harus memprioritaskan "pengurangan imigrasi". Jumlah ini meningkat dari 20%, menjadi 25%.
Sementara itu, kekhawatiran soal perubahan iklim dilaporkan menurun di seluruh benua.
"Pada 2024, untuk pertama kalinya, mengurangi imigrasi menjadi prioritas yang lebih besar bagi sebagian besar orang Eropa, ketimbang memerangi perubahan iklim," ujar laporan tersebut.
"Tidak ada tempat yang lebih mencolok dalam persoalan ini selain diJerman, yang kini memimpin dunia dengan jumlah orang terbanyak, dan mereka ingin pemerintahnya fokus pada pengurangan imigrasi, dengan peringkat teratas. Bahkan, sekarang hampir dua kali lipat lebih tinggi daripada memerangi perubahan iklim," lanjut laporan itu.
Wajah Baru Parlemen Jerman
Bundestag gelar sidang pertama parlemen dengan komposisi baru pada Selasa (26/10), sebulan setelah pemilihan umum parlemen. DW berkesempatan meliput wajah baru pengisi parlemen Jerman itu.
Foto: Markus Schreiber/AP/picture alliance
Parlemen yang lebih muda
Seluruhnya ada 736 anggota Bundestag dan parlemen baru Jerman itu secara signifikan lebih muda dari parlemen sebelumnya. Anggota termuda, Emilia Fester, 23 tahun berasal dari Partai Hijau. Secara keseluruhan, usia rata-rata anggota parlemen turun dan 47 anggota parlemen baru, berusia di bawah 30 tahun.
Foto: Kay Nietfeld/dpa/picture alliance
Anggota parlemen rata-rata
“Anggota parlemen rata-rata” demikian julukan bagi posisi Michael Brand, dari Partai Uni Kristen Demokrat CDU. Usianya 47 tahun, yang kini menjadi usia rata-rata anggota parlemen baru. Lulusan jurusan politik dan ilmu hukum terwakili melebihi proporsi di Bundestag. Juga nama Michael merupakan nama paling umum di Parlemen Jerman.
Foto: HMB Media/Mueller/picture alliance
Anggota Tertua
Anggota tertua dalam parlemen baru adalah Alexander Gauland (80) dari Partai Alternatif Jerman yang berhaluan ekstrem kanan. Tradisi sebelumnya, anggota berusia tertua yang membuka sidang perdana. Tapi kini anggota dengan masa pengabdian terpanjang yang membuka sidang pertama parlemen baru, yakni Wolfgang Schäuble dari partai Uni Kristen Demokrat.
Foto: Christoph Hardt/Geisler-Fotopress/picture alliance
Penguatan keterwakilan perempuan
Bundestag bukan hanya lebih muda tapi juga lebih feminim. Jumlah anggota parlemen perempuan meningkat 4%. Penyumbang terbesar dari Partai Kiri dan Partai Hijau. Fenomena sangat lambat untuk kesetaraan gender. Politisi dari Partai Hijau, Tessa Gansere (44, kiri) dan Nyke Slawik (27, kanan) adalah transgender pertama dalam Bundestag. “Cerita kesuksesan kami akan mendunia,” cuitan Slawik.
Sejarah baru kelompok imigran
Juga asal-usul anggota parlemen baru amat beragam. 83 anggota Bundestag berlatar belakang migran, terutama dari Partai Kiri dan Sosial Demokrat. Rasha Nasr (29 tahun) dari Partai Sosial Demokrat punya catatan khusus. Lahir di Dresden setelah orang tuanya hengkang dari Suriah untuk hidup baru di Jerman Timur. Ia sekarang mewakili negara bagian Sachsen.
Foto: SPD
Perwakilan Afro-Jerman
Armand Zorn, salah satu anggota Bundestag dari komunitas Afro-Jerman yang berasal dari Partai Sosial Demokrat ini kelahiran Kamerun dan tiba di Jerman saat usia 12 tahun. Ia memenangkan pemilihan kursi konstituen langsung. “Itu menunjukkan bahwa kita beragam. Bukan masalah dari mana kita datang, namun ke mana tujuan kita,” jelasnya.
Foto: Sebastian Gollnow/dpa/picture-alliance
Terbanyak dari kalangan akademisi
Mayoritas anggota Bundestag berlatar pendidikan kampus. Sangat sedikit yang berasal dari pendidikan kejuruan. Gülistan Yüksel (59 tahun) dari Partai Sosial Demokrat merupakan salah satu dari kelompok minoritas ini. Tiba di Jerman awal 70-an dari Turki, dia lulusan kejuruan asisten farmasi. Terpilih pertama kali jadi anggota parlemen pada tahun 2013.
Foto: Jens Krick/Flashpic/picture alliance
Berlatar belakang pebisnis
UMKM di Jerman kurang terwakilkan di parlemen Jerman, hanya ada 51 anggota di Bundestag berasal dari kalangan bisnis. Kebanyakan dari Partai Liberal Demokrat yang dikenal ramah pebisnis. Kritine Lütke (38 tahun) salah satunya, yang merupakan pengelola panti jompo milik orang tuanya.
Foto: FDP/Heidrun Hoenninger
Kurangnya ahli Kesehatan
Pandemi menegaskan pentingnya sektor kesehatan juga di parlemen. Namun Bundestag masih saja kekurangan perwakilan dokter. Hanya ada beberapa dokter dan tenaga Kesehatan yang terpilih jadi anggota parlemen. Stephan Pilsinger (34, tahun di foto) merupakan salah satunya. Dokter praktik ini terpilih sebagai perwakilan dari partai Uni Kristen Sosial. (mh/as)
Foto: CSU
9 foto1 | 9
Hampir seperempat orang Jerman menyebut bahwa imigrasi sebagai prioritas utama mereka pada tahun 2022. Kemudian jumlah ini meningkat menjadi 44% di tahun 2024. Sekitar sepertiga dari mereka, yang merasa paling khawatir dengan masalah perubahan iklim pada 2022, menurun ke angka 25% di 2024.
Survei ini dilakukan di 53 negara, meliputi negara demokrasi dan autokrasi, yang dianggap mewakili lebih dari 75% populasi dunia. Jajak pendapat ini meneliti sikap soal demokrasi, prioritas pemerintah dan hubungan internasional.
Iklan
Perang dianggap jadi ancaman terbesar
Para penulis laporan tersebut menyebut bahwa ancaman terbesar yang dirasakan secara global adalah perang dan konflik kekerasan, diikuti oleh kemiskinan dan kelaparan, hingga perubahan iklim.
Sekitar separuh orang di permukaan bumi, baik di negara demokratis dan non-demokratis, merasa bahwa pemerintah mereka hanya bertindak untuk kepentingan segelintir orang. Dan sekali lagi, Jerman juga mengalami pergeseran yang mencolok dalam hal ini.
"Dalam empat tahun terakhir, persepsi ini tetap tertinggi di Amerika Latin, terendah di Asia, dan terus meningkat di Eropa sejak tahun 2020, khususnya di Jerman," ungkap laporan itu.
Rasa tidak puas terhadap kondisi demokrasi terlihat "sangat lazim di Amerika Serikat, Eropa, dan di negara-negara lain yang memiliki tradisi demokrasi yang panjang."
Patung Pelancong Tak Rampung Ungkap Nasib Imigran
03:57
"Panggilan" untuk demokrasi
Sementara itu, negara autokrasi seperti Vietnam dan Cina masuk dalam daftar negara yang dianggap paling demokratis oleh penduduknya.
Ketua Alliance of Democracies Foundation, Anders Fogh Rasmussen mengatakan bahwa temuan itu merupakan "peringatan bagi semua pemerintahan demokratis."
"Mempertahankan demokrasi berarti memajukan kebebasan di seluruh dunia, tetapi juga berarti mendengarkan kekhawatiran para pemilih di dalam negeri," kata Perdana Menteri Denmark Rasmussen.
"Tren menunjukkan bahwa kita berisiko kehilangan "Global South" karena autokrasi. Kita tengah menyaksikan terbentuknya poros autokrasi dari Cina ke Rusia hingga Iran."
Artikel ini ditulis dengan menggunakan materi dari kantor berita DPA.