1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Pendidikan

Masih Ada Benih-benih Intoleransi di Sekolah

4 Mei 2017

Hasil riset kementerian pendidikan menunjukkan adanya benih-benih intoleransi di lingkungan sekolah. Pemerintah berusaha menekan praktik intoleransi tersebut.

Indonesien Schüler der High School in Uniform
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad

Benih-benih intoleransi itu terpotret dari masih adanya siswa maupun guru yang menganggap Ketua OSIS seharusnya berasal dari kalangan beragama mayoritas, pemimpin harus yang seagama, memilih teman yang seagama atau pun satu etnis, dan masih ada yang memilih tidak mengucapkan selamat hari raya kepada orang yang beda agama. Demikan dikutip dari kompas.com.

Penelitian itu dilakukan dengan metode studi kasus dengan responden kalangan siswa SMA/sederajat, guru, dan kepala sekolah dua SMA negeri dan dua SMA swasta di Salatiga, Jawa Tengah dan  Singkawang, Kalimantan Barat. Studi itu dilakukan antara Juli-September 2016.

Meski demikian, hasil penelitian menunjukkan mayoritas lingkungan pendidikan di kedua wilayah multikultur yang diteliti itu cukup toleran terhadap perbedaan. Sebab, yang tak setuju kalau faktor agama penting dalam memilih pemimpin maupun pergaulan, angkanya relatif tinggi.

"Dalam memilih Ketua OSIS, sekitar hampir 20 persen ragu atau setuju untuk memilih dari agama atau etnis mayoritas. Serta lebih dari 40 persen siswa, ragu dan setuju memilih pemimpin masyarakat yang seagama atau seetnis," ujar Peneliti Puslitjakdikbud, Kemendikbud, Nur Berlian Venus Ali, seperti termuat di kompas.com.

Misalnya untuk pertanyaan, apakah ketua OSIS sebaiknya diketuai siswa dari agama mayoritas, sebagian besar menjawab tidak setuju dengan rincian: 36,3 persen sangat tidak setuju; 42,5 persen tidak setuju; 13,1 persen ragu-ragu; 6,3 persen setuju; 1,9 persen sangat setuju.

 

Studi berdasarkan survei 2015

Sementara itu, dalam menjawab pertanyaan mengenai seperti kenyamanan dipimpin oleh seseorang dengan agama yang sama sebagian besar responden menjawab tidak setuju dengan rincian: yakni 16,8 persen sangat tidak setuju dan 34,8 persen tidak setuju. Sementara 19,3 persen setuju dan 3,7 persen sangat tidak setuju. Sebanyak 25,5 persen mengaku ragu-ragu. Demikian dikutip dari tribunnews.

Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud), Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tersebut juga menemukan masih ada siswa yang cenderung menolak Ketua OSIS yang berbeda agama.

Penelitian dilatarbelakangi berdasarkan survei Setara Institute for Democracy and Peace (SIDP) tahun 2015 yang menunjukkan siswa SMA Negeri yang tidak sesuai dengan nilai-nilai nasionalis. "Sikap tersebut antara lain 8,5 persen setuju dasar negara diganti dengan agama, dan 7,2 persen setuju (eksistensi) gerakan ISIS."

 

Kemendikbud berjuang menekan praktik intolerasi

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menjelaskan kementeriannya berupaya menekan praktik intoleransi di lingkungan sekolah dengan diwajibkan membuat kegiatan yang bertujuan membangun rasa solidaritas dan tenggang rasa di antara sesama siswa.

Ia pun meminta kepada seluruh Kepala Dinas Pendidikan untuk mengawasi dengan ketat terhadap seluruh kegiatan siswa di luar sekolah.

ap/vlz (tribunnews,kompas)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait