Hasil riset kementerian pendidikan menunjukkan adanya benih-benih intoleransi di lingkungan sekolah. Pemerintah berusaha menekan praktik intoleransi tersebut.
Iklan
Benih-benih intoleransi itu terpotret dari masih adanya siswa maupun guru yang menganggap Ketua OSIS seharusnya berasal dari kalangan beragama mayoritas, pemimpin harus yang seagama, memilih teman yang seagama atau pun satu etnis, dan masih ada yang memilih tidak mengucapkan selamat hari raya kepada orang yang beda agama. Demikan dikutip dari kompas.com.
Penelitian itu dilakukan dengan metode studi kasus dengan responden kalangan siswa SMA/sederajat, guru, dan kepala sekolah dua SMA negeri dan dua SMA swasta di Salatiga, Jawa Tengah dan Singkawang, Kalimantan Barat. Studi itu dilakukan antara Juli-September 2016.
Meski demikian, hasil penelitian menunjukkan mayoritas lingkungan pendidikan di kedua wilayah multikultur yang diteliti itu cukup toleran terhadap perbedaan. Sebab, yang tak setuju kalau faktor agama penting dalam memilih pemimpin maupun pergaulan, angkanya relatif tinggi.
"Dalam memilih Ketua OSIS, sekitar hampir 20 persen ragu atau setuju untuk memilih dari agama atau etnis mayoritas. Serta lebih dari 40 persen siswa, ragu dan setuju memilih pemimpin masyarakat yang seagama atau seetnis," ujar Peneliti Puslitjakdikbud, Kemendikbud, Nur Berlian Venus Ali, seperti termuat di kompas.com.
Misalnya untuk pertanyaan, apakah ketua OSIS sebaiknya diketuai siswa dari agama mayoritas, sebagian besar menjawab tidak setuju dengan rincian: 36,3 persen sangat tidak setuju; 42,5 persen tidak setuju; 13,1 persen ragu-ragu; 6,3 persen setuju; 1,9 persen sangat setuju.
Satu Rumah Tiga Agama
Sebuah proyek di Berlin ingin menyatukan tiga agama Samawi dalam satu atap. Nantinya umat Muslim, Kristen dan Yahudi saling berbagi ruang saat beribadah. The House of One bakal dibiayai murni lewat Crowdfunding.
Foto: Lia Darjes
Berkumpul di Bawah Satu Atap
Tidak lama lagi ibukota Jerman, Berlin, bakal menyambut sebuah rumah ibadah unik, yang menyatukan tiga agama Ibrahim, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Rencananya The House of One akan memiliki ruang terpisah untuk ketiga agama, dan beberapa ruang umum untuk para pemeluk buat saling bersosialiasi.
Foto: KuehnMalvezzi
Tiga Penggagas
Ide membangun The House of One diusung oleh tiga pemuka agama, yakni Pendeta Gregor Hohberg, Rabi Tovia Ben-Chorin dan seorang imam Muslim, Kadir Sanci. "Ketiga agama ini mengambil rute yang berbeda dalam perjalanannya, tapi tujuannya tetap sama," ujar Kadir Sanci. Menurutnya The House of One merupakan kesempatan baik buat ketiga agama untuk menjalin hubungan dalam kerangka kemanusiaan
Foto: Lia Darjes
Berpondasi Sejarah
Di atas lahan yang digunakan The House of One dulunya berdiri gereja St. Petri yang dihancurkan pada era Perang Dingin. Arsitek Kuehn Malvezzi memutuskan menggunakan pondasi gereja St. Petri untuk membangun The House of One. Sang arsitek mengakomodir permintaan masing-masing rumah ibadah, seperti Masjid dan Sinagoga yang harus mengadap ke arah timur.
Foto: Michel Koczy
Cerca dan Curiga
Awalnya tidak ada komunitas Muslim yang ingin terlibat dalam proyek tersebut. Namun, FID, sebuah kelompok minoritas Islam moderat yang anggotanya kebanyakan berdarah Turki mengamini. Kelompok tersebut harus menghadapi cercaan dari saudara seimannya lantaran dianggap menkhianati aqidah Islam. Namun menurut Sanci, perdamaian adalah rahmat semua agama.
Foto: KuehnMalvezzi
Dikritik Seperti Makam Firaun
Tidak jarang proyek di Berlin ini mengundang kritik tajam. Salah seorang tokoh agama Katholik Jerman, Martin Mosebach, misalnya menilai desain arsitektur The House of One tidak mencerminkan sebuah bangunan suci. Bentuk di beberapa bagiannya malah tampak serupa seperti makan Firaun. Tapi ketiga pemuka agama yang terlibat memilih acuh dan melanjutkan dialog terbuka untuk menggalang dukungan publik
Foto: Lia Darjes
Sumbangan Massa
Penggagas proyek The House of One menyadari betul pentingnya peran publik dalam pembangunan. Sebab itu mereka sepenuhnya mengandalkan pendanaan massa alias crowdfunding. Setiap orang bisa menyumbang uang buat membeli satu batu bata. Sebanyak 4,350.000 batu bata dibutuhkan buat menyempurnakan bangunan. Sejauh ini dana yang terkumpul sebesar 1 juta Euro dari 43 juta yang dibutuhkan
Foto: KuehnMalvezzi
Merajut Damai
Manajamen proyek berharap rumah baru ini bakal menjadi pusat pertukaran budaya antara ketiga pemeluk agama untuk saling menengenal dan saling menghargai. "Adalah hal baik buat mengenal lebih dekat jiran kita," ujar Imam Kadir Sanci.
Foto: Lia Darjes
7 foto1 | 7
Studi berdasarkan survei 2015
Sementara itu, dalam menjawab pertanyaan mengenai seperti kenyamanan dipimpin oleh seseorang dengan agama yang sama sebagian besar responden menjawab tidak setuju dengan rincian: yakni 16,8 persen sangat tidak setuju dan 34,8 persen tidak setuju. Sementara 19,3 persen setuju dan 3,7 persen sangat tidak setuju. Sebanyak 25,5 persen mengaku ragu-ragu. Demikian dikutip dari tribunnews.
Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud), Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tersebut juga menemukan masih ada siswa yang cenderung menolak Ketua OSIS yang berbeda agama.
Penelitian dilatarbelakangi berdasarkan survei Setara Institute for Democracy and Peace (SIDP) tahun 2015 yang menunjukkan siswa SMA Negeri yang tidak sesuai dengan nilai-nilai nasionalis. "Sikap tersebut antara lain 8,5 persen setuju dasar negara diganti dengan agama, dan 7,2 persen setuju (eksistensi) gerakan ISIS."
Mengenyam Pendidikan dan Teologi Islam di Münster
Di Jerman terdapat beberapa universitas yang menawarkan jurusan teologi Islam. Yang paling besar ada di Universitas Münster. Di jurusan ini dipersiapkan tenaga-tenaga pengajar untuk pelajaran agama Islam di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Pusat pendidikan Islam terbesar di Jerman
Pusat Teologi Islam di Münster (Zentrum für Islamische Theologie, ZIT) adalah satu dari empat pusat pendidikan Teologi Islam di Jerman. Pusat pendidikan Islam lainnya terletak di Frankfurt, Tübingen dan Nürnberg. Tapi jurusan di Universitas Münster ini yang terbesar. Pusat pendidikan ini mendapat bantuan dana sekitar 20 juta Euro dari pemerintah Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Metode ilmiah dalam pendidikan teologi
Mouhanad Khorchide merupakan pimpinan jurusan ini. Dia menyebut dirinya sebagai seorang ilmuwan sekaligus ahli agama. Menurut Khorchide, sistem pendidikan di institutnya mengacu pada metode ilmiah yang juga diterapkan dalam pendidikan teologi umum.
Foto: Ulrike Hummel
Suasana belajar
Inilah suasana belajar di ruang kuliah studi Islam di Universitas Münster. Dewan Pengawas Pusat Teologi Islam di Münster diisi oleh anggota dari empat organisasi besar Islam yang ada di Jerman. Pimpinan pusat kajian Islam, Mouhanad Khorchide menolak interpretasi fundamenlistik dan menyebut Islam sebagai "agama yang murah hati."
Foto: Amal Diab Fischer
Tempat terbatas
Setiap tahun, ribuan orang melamar, tapi hanya sekitar 400 orang yang bisa diterima. Dua jurusan khusus yang ditawarkan adalah jurusan "Teologi Islam" dan jurusan "Pendidikan Keguruan Islam". Tampak beberapa perempuan Muslim mengikuti seminar dalam pembukaan jurusan teologi dan keguruan Islam di Universitas Münster.
Foto: picture-alliance/dpa
Ingin jadi guru
Mariam Sarwary termasuk yang berhasil masuk ke jurusan keguruan Islam. Ia bercita-cita untuk menjadi guru pelajaran agama Islam. Saat ini sudah ada mata pelajaran Islam yang ditawarkan di sekolah di beberapa negara bagian. Kebutuhan guru agama Islam di Jerman diperkirakan akan meningkat dalam beberapa tahun depan.
Foto: Marie Coße
Mualaf yang ingin mendalami
Di universitas yang sama, Daniel Garske lebih memilih jurusan Teologi Islam ketimbang keguruan Islam. Dia seorang mualaf dan baru mulai belajar tentang Teologi Islam beberapa tahun belakangan. Dia mengatakan: "Dengan pengetahuan yang saya dapatkan di sini, saya nantinya ingin bekerja dalam bidang teologi. Saya juga ingin membantu agar wajah dan citra Islam dalam masyarakat menjadi lebih baik.
Foto: Marie Coße
Dikunjungi presiden Jerman
Dalam kunjungannya pada bulan November 2013, Presiden Jerman Joachim Gauck berbincang dengan kepala pusat studi Islam di Münster, Mouhanad Khorchide.
Foto: picture-alliance/dpa
Belajar toleransi
Masih banyak guru pelajaran Islam dibutuhkan di Jerman. Bulent Senkaragoz, di antaranya, mendidik siswa dalam pelajaran agama Islam di Münster. Sebagai pendidik kerohanian, ia menanamkan kepada murid-muridnya, tentang betapa pentingnya toleransi.
Foto: picture-alliance/dpa
8 foto1 | 8
Kemendikbud berjuang menekan praktik intolerasi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menjelaskan kementeriannya berupaya menekan praktik intoleransi di lingkungan sekolah dengan diwajibkan membuat kegiatan yang bertujuan membangun rasa solidaritas dan tenggang rasa di antara sesama siswa.
Ia pun meminta kepada seluruh Kepala Dinas Pendidikan untuk mengawasi dengan ketat terhadap seluruh kegiatan siswa di luar sekolah.
ap/vlz (tribunnews,kompas)
Kenangan dari Bangku Sekolah
Siapa yang tidak ingat masa-masa bersekolah? Bermain, belajar, tertawa, berkelahi. DW mengumpulkan kisah-kisah unik lintas sejarah, yang merekam masa-masa di bangku sekolah dari berbagai negara.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Untuk si Kecil Ladka
Setiap bocah perempuan di Ukraina punya album berisikan puisi mengenai teman, saudara yang dibumbui kata-kata mutiara dan coretan tangan. Pada gambar ini keluarga si kecil Ladushka mengucapkan selamat untuk hari pertama di bangku sekolah.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Disiplin Ketat di Negeri Komunis
Ramah bukan kesan yang muncul dari wajah para guru di foto ini. Tahun 1970-an di Uni Sovyet adalah masa-masa penuh disiplin dan ketekunan. Situasinya tidak berbeda jauh dengan negara-negara lain di dunia. Hukuman fisik adalah metode yang saat itu masih lazim digunakan.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Berpose Untuk Lenin
Setiap tahun murid-murid di Uzbekistan berpose untuk difoto, tepat pada tanggal 22 April, yakni hari kelahiran bekas pemimpin besar Uni Sovyet, Vladmiir Lenin. Beberapa bocah perempuan berdandan layaknya seorang pengantin. Tidak berbeda dengan murid laku-laki yang mengenakan dasi.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Membaca dengan "Opa Haas"
Prilaku guru yang menjewer kuping muridnya adalah hal lumrah, kata seorang penduduk Belanda. Perempuan renta berusia 70 tahun itu masih mampu mengingat ruang kelasnya dengan jelas. Termasuk buku "Belajar Membaca dengan Opa Haas" yang dipakainya untuk mempelajari alfabet.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Terdidik dan Terjajah
Jerman tergolong telat merambah wilayah baru untuk dijadikan jajahan. Baru 1884 kekaisaran Jerman menganeksasi kawasan barat daya Afrika. Penguasa kulit putih itu berbuat banyak untuk menampilkan kesan damai kepada penduduk asli. Sebuah kartu pos yang terbit 1912 menampilkan pelajaran di sebuah sekolah untuk murid berkulit hitam.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Musim Panen, Sekolah Libur
Musim panen menyedot banyak tenaga kerja, termasuk di antaranya anak-anak. Sering sekolah diliburkan atau orangtua memaksa anaknya untuk membolos. Gambar yang dibuat tahun 1950 ini menampilkan keluarga yang tengah beristirahat.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Rapor yang Baik
Rapor yang bisa membuat setiap orang tua berbangga hati ini berasal dari seorang murid perempuan dari Kazakhstan yang bermigrasi ke Jerman tahun 1984. Rapornya harus telebih dahulu diterjemahkan ke bahasa Jerman. Namun mata pelajaran seperti, "Dasar Hukum Uni Sovyet" tidak dipelajari di negara barunya itu.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Sayonara Bangku Sekolah!
Remaja asal Kazakhstan ini baru saja menuntaskan bangku sekolah menengah pertama. Ketika masuk ke jenjang yang lebih tinggi, mereka diwajibkan membawa bunga untuk para guru. Dan ketika lulus, mereka mendapatkan bunga dari para guru, seperti murid-murid di tahun 1969 ini.
Foto: Schulmuseum Uni Hildesheim
Kenangan Terakhir Seusai Lulus
Murid sekolah mengabadikan wajahnya di koran sekolah seusai lulus dari ujian akhir, sementara para guru di barisan teratas. Hingga 1975, pemuda-pemudi yang terpampang di gambar ini masih duduk di bangku sekolah Stalin di Uzbekistan.