1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Riset Muslim di Jerman: Agama Tidak Hambat Integrasi

Elliot Douglas
30 April 2021

Sebuah riset tentang muslim Jerman menampilkan wajah minoritas yang kian membumi dengan masyarakat lokal, tapi bergulat dengan ketimpangan ekonomi dan sosial. Agama dinilai tidak berperan penting dalam proses integrasi.

Warga muslim di Jerman menunaikan ibadah berjarak di masjid Mevlana, Berlin.
Warga muslim di Jerman menunaikan ibadah berjarak di masjid Mevlana, Berlin.Foto: picture-alliance/AA/A. Hosbas

"Kita bisa,” kata Kanselir Angela Merkel pada malam tersohor enam tahun silam, ketika Jerman secara resmi membuka pintu bagi sekitar satu juta pengungsi. Kini sebuah studi mengungkap, populasi yang dulu didominasi keturunan Turki itu kini menjadi semakin beragam dan heterogen.

"Keragaman muslim di Jerman dihasilkan oleh arus imigrasi dari negara-negara bermayoritaskan muslim dalam beberapa tahun terakhir,” kata Hans-Eckhard Sommer, Presiden Badan Migrasi dan Pengungsi Jerman, dalam sebuah jumpa pers, Rabu (28/4). 

Berdasarkan riset tersebut, antara 5,3 hingga 5,6 juta warga muslim di Jerman memiliki "latar belakang migran.” Jumlah ini mewakili 6,7% dari populasi penduduk Jerman. Kebanyakan adalah warga berlatar belakang Turki. Tapi dominasi mereka perlahan terkikis, terutama sejak kehadiran pengungsi Suriah, Irak dan Afghanistan.

Studi ini melibatkan 4.500 responden muslim dengan latar belakang migran, dan 500 penduduk asli Jerman. 

"Analisa kami menunjukkan peran agama dalam integrasi cenderung dibesar-besarkan,” kata Sommer soal riset yang digelar atas inisatif Konferensi Islam Jerman dan Kementerian Dalam Negeri itu. 

Menurut para peneliti, hasil studi tidak mengindikasikan bahwa agama menjadi faktor penentu dalam beragam tren. Misalnya 15,8% migran muslim tercatat tidak menyelesaikan sekolah tinggi. Jumlahnya pada warga Kristen berkisar tidak jauh, yakni 17,5%. 

Tren serupa juga tercatat pada indikator-indikator lain. Jika 74,6% migran muslim tidak memiliki kualifikasi profesional atau pendidikan vokasi, jumlahnya pada kelompok migran Kristen berkisar 71,9%. 

"Aspek-aspek lain seperti lama bermukim, alasan migrasi atau situasi sosial membentuk proses integrasi jauh lebih banyak ketimbang afiliasi agama,” demikian bunyi kesimpulan riset tersebut.

Integrasi di tengah ketimpangan 

Hal yang dianggap lebih mendesak adalah ketimpangan akses lapangan pekerjaan. Saat ini 61% pria dan 41% perempuan berlatar belakang muslim memiliki pekerjaan. Jumlahnya jauh di bawah mayoritas Jerman yang berkisar 77% pada pria dan 68% pada perempuan.

Terutama ketimpangan pada taraf pendidikan dinilai mengkhawatirkan. Saat ini proporsi warga muslim tanpa ijazah yang sebesar 16% masih terlalu tinggi. Sebanyak 59% penduduk muslim tidak memiliki riwayat pendidikan di Jerman.

Meski tidak membahas diskriminasi, studi ini mengungkap 70% perempuan muslim tidak berjilbab, sepertiga di antaranya mengaku mengkhawatirkan konsekuensi sosial dan profesional. Pada usia 16 dan 25 tahun, hanya 26% perempuan yang berjilbab.

Studi ini juga mencatat perbaikan dalam integrasi. Sebanyak 79% warga muslim setidaknya mampu menuturkan bahasa Jerman dengan baik, sementara 65% mengaku secara rutin berinteraksi dengan penduduk asli. 

Salah satu rintangan terbesar bagi integrasi warga muslim di Jerman adalah organisasi Islam, yang sebagian berkantor pusat di luar negeri semisal Turki. Lembaga-lembaga ini mengelola sebagian masjid dan kerap mewakili kepentingan negara asal.

Menurut studi teranyar, hanya 40% warga muslim yang merasa diwakili oleh organisasi-organisasi ini.

rzn/gtp 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait