1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
IptekCile

Riset: Tidak Ada Bukti Ekosida di Pulau Paskah

28 Juni 2024

Pulau Paskah sejak lama dianggap sebagai bukti ekosida buatan manusia, ketika kerusakan lingkungan membawa kepunahan peradaban. Namun riset teranyar meragukan keabsahan teori tersebut.

Patung Moai
Patung MoaiFoto: O. Protze/picture alliance/blickwinkel/McPHOTO

Rapa Nui atau Pulau Paskah di Selatan Samudera Pasifik sejak lama dikenal lewat ratusan patung monolit raksasa bernama Moai. Hingga kini, tidak jelas untuk tujuan apa bangsa Rapanui memahat monumen tersebut. Namun keberadaannya mengindikasikan jumlah populasi yang besar dan peradaban yang maju.

Sekitar tahun 1210, nenek moyang orang Polinesia masa kini pertama kali menetap di pulau vulkanik tak berpenghuni itu. Tidak ada manusia lain di dunia yang hidup begitu terisolasi. Jarak Pulau Paskah hampir 3.800 kilometer ke daratan Chili dan 1.900 kilometer ke pulau berpenghuni terdekat.

Ilmuwan berasumsi bahwa populasi di Rapa Nui sempat berkembang pesat. Penduduk menebang semua pohon di pulau itu untuk membangun Moai atau sebagai kayu bakar, membunuh burung laut dan menggarap sebagian besar lahan untuk pertanian. Ketika kerusakan lingkungan merajalela, peradaban Rapanui pun perlahan punah. Untuk waktu lama, pulau ini dianggap sebagai bukti "ekosida” buatan manusia.

Viewer video of Easter Island

01:29

This browser does not support the video element.

Temuan terbaru sains

Namun sebuah studi teranyar oleh Columbia University, Amerika Serikat, membantah asumsi tersebut. Menurut ilmuwan, populasi Rapa Nui tidak pernah meledak melampaui batas keberlanjutan. Sebaliknya, para pendatang menemukan cara beradaptasi dengan kondisi iklim yang dingin dan berangin. Selama berabad-abad, kerasnya kondisi di Pulau Paskah hanya mengizinkan hidupnya sebuah populasi yang kecil, yang berjumlah stabil selama berabad-abad. 

Ketahanan pangan termasuk tantangan paling mencolok di atas pulau seluas 63 kilometer persegi yang seluruhnya morfologinya terdiri dari batuan vulkanik. Berbeda dengan pulau tropis subur seperti Hawaii dan Tahiti, letusan gunung berapi di Rapa Nui berhenti ratusan ribu tahun lalu. Mineral yang dikeluarkan oleh lava telah lama tersapu keluar dari tanah.

Rapa Nui juga jauh lebih kering dibandingkan pulau tropis lainnya. Dan karena kemiringan dasar laut di sekitar pulau sangat curam, berburu makanan laut jauh lebih sulit dibandingkan di laguna atau terumbu karang seperti di pulau-pulau Polinesia yang lain.

Kebun batu amankan suplai

Menurut para peneliti, keberhasilan bangsa Rapanui membangun peradaban dimungkinkan oleh konsep "kebun batu” di mana penduduk pulau menanam umbi-umbian sebagai makanan pokok.

Teknik ini menempatkan tumpukan batu untuk melindungi tanaman dari semprotan garam dan angin. Bebatuan dan karang menjadi tembok alami yang menghalangi angin kering dan menciptakan aliran udara yang menjaga suhu udara dan melindungi tanaman dari panas atau dingin yang berlebihan.

Kebun batu juga diketahui digunakan penduduk asli Selandia Baru, Kepulauan Canary dan di barat daya Amerika Serikat. Namun begitu, teknik ini menuntut beban kerja yang sangat tinggi dengan hasil panen yang tergolong rendah.

Bantahan atas teori ekosida

Saat ini, Pulau Paskah berpenduduk hampir 8.000 jiwa, ditambah sekitar 100.000 wisatawan yang datang setiap tahun. Kendati sebagian besar bahan pangan harus diimpor, warga kembali berusaha menanam ubi jalar di kebun batu tua. Tren ini muncul pada tahun 2020 silam di tengah pandemi Covid-19.

Menurut para peneliti, luas kebun batu dulunya hanya cukup untuk memberi makan beberapa ribu orang. Hal ini menunjukkan "bahwa populasi Pulau Paskah tidak pernah sebesar perkiraan sebelumnya,” kata penulis utama studi ini Dylan Davis, seorang arkeolog di Columbia Climate School.

Hal ini tegas membantah teori ekosida yang sebelumnya dijadikan pegangan. "Dengan mengubah alam demi keuntungan mereka, masyarakat Rapanui menjadi sangat tangguh meskipun sumber dayanya terbatas,” kata Davis.

Dalam beberapa tahun terakhir, peneliti telah mencoba memperkirakan populasi berdasarkan kebun batu yang ada dan kapasitas produksi pangan. Dalam studi tahun 2017, sekitar 7.700 hektar lahan diklasifikasikan sebagai lahan yang cocok untuk menanam bahan pangan, yang mewakili 19 persen dari luas pulau tersebut. Atas dasar itu, peneliti memperkirakan daya tampung sekitar 17.500 hingga 25.000 penduduk.

Pengukuran ulang lewat AI

Dalam studinya, peneliti menggunakan kecerdasan buatan untuk mengonfigurasi citra satelit, sehingga tidak hanya mengidentifikasi bebatuan, tetapi juga tempat-tempat dengan kelembapan tanah dan kandungan nitrogen tinggi, sebagai area berpotensi pertanian.

Berdasarkan evaluasi mereka, taman batu konon hanya menempati lahan sekitar 188 hektare, alias kurang dari setengah persen luas pulau. Jika pola makan sebagian besar populasi Rapa Nui didasarkan pada umbi-umbian, maka pulau ini kemungkinan hanya mampu menghidupi sekitar 2.000 orang.

Dari studi isotop terhadap tulang dan gigi penduduk asli, disimpulkan bahwa bangsa Rapanui mendapatkan 35 hingga 45 persen makanan dari laut dan sebagian kecil dari tanaman lain yang kurang bergizi seperti pisang, talas atau tebu.

Menurut para peneliti, kecerdikan penduduk asli beradaptasi dengan kondisi kehidupan yang sulit mengindikasikan jumlah populasi sebesar 3.000 orang. Jumlahnya kira-kira sama dengan yang ditemukan orang Eropa ketika tiba di pulau itu pada Hari Paskah tahun 1722.

Artinya, tidak ada bukti bagi teori ekosida yang mengasumsikan kepunahan massal akibat kerusakan lingkungan, kata Carl Lipo, arkeolog di Binghamton University dan salah satu penulis penelitian tersebut.

rzn/as

 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait