Apakah vaksin yang dikembangkan dalam waktu singkat benar-benar aman? Reaksi imunisasi normal apa yang bisa diprediksi? Apakah ada efek sampingnya? Ini penjelasan singkatnya.
Iklan
Ratusan juta orang di seluruh dunia mengharapkan vaksinasi secepatnya melawan virus corona. Namun dalam waktu bersamaan, banyak orang ragu dan takut. Pasalnya, di satu sisi mereka ingin melindungi dari dari infeksi Covid-19, namun di sisi lainnya takut pada efek samping vaksin baru itu.
Banyak yang menyangsikan keamanan vaksin yang dikembangkan sangat cepat itu, dan mempertanyakan apakah efek sampingnya sudah benar-benar diteliti dengan memadai.
Pertanyaannya cukup panjang: reaksi vaksinasi mana yang normal? Apa efek samping yang mungkin muncul? Apakah saya harus divaksinasi?
Reaksi vaksinasi normal
Apapun jenis vaksin yang diberikan, reaksi tertentu tubuh setelah imunisasi adalah hal normal. Reaksi normal biasanya tidak memicu gejala berat. Demam ringan, sakit kepala dan nyeri anggota tubuh, bengkak di lokasi suntikan atau gatal-gatal, dalam waktu tiga hari setelah divaksinasi bukanlah hal aneh.
Gejala ini biasanya hilang setelah beberapa hari. Reaksi tubuh merupakan petunjuk, bahwa vaksin ampuh, dengan memicu sistem kekebalan tubuh dan tubuh mengembangkan antibodi terhadap "infeksi tipuan" yang dipicu vaksin.
Vaksin Covid-19 yang Sudah Siap Pakai dan Masuki Uji Fase Akhir
Ada 4 vaksin Covid-19 yang sudah berizin dan digunakan secara massal. Efikasinya diklaim antara 70% hingga 95%. Sedikitnya ada 7 kandidat vaksin lainnya yang masuk fase akhir uji klinis dan akan segera diluncurkan.
Foto: H. Pennink/AP Photo/picture-alliance
Vaksin BioNTech/Pfizer dari Jerman
Perusahaan Bio-farmasi BioNTech dari Jerman yang digandeng Pfizer dari AS menjadi yang pertama umumkan sukses memproduksi vaksin anti-Covid-19 yang diberi nama BNT162b2 dengan efektifitas 95%. Vaksinnya sudah mendapat izin. Vaksinasi massal di AS dan Jerman dimulai bulan Desember 2020. Satu-satunya kendala, vaksin harus didinginkan hingga minus 70°C sebelum dipakai.
Foto: SvenSimon/picture alliance
Vaksin Moderna dari Amerika Serikat
Perusahaan Bio-farmasi Moderna dari AS menyusul umumkan sukses dengan vaksin yang diberi nama mRNA-1273 dengan efektifitas 94,5%. Belum lama ini UE izinkan vaksin. Sama dengan BioNTech, vaksin dikembangkan dengan teknologi teranyar berbasis mRNA virus. Keunggulan vaksin Moderna adalah hanya perlu pendinginan minus 30° C dan tahan seminggu dalam lemari pendingin biasa.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/J. Porzycki
Vaksin AstraZeneca/Oxford dari Inggris
Perusahaan farmasi AstraZeneca dari Inggris menjadi yang ketiga umumkan sukses uji coba vaksin yang ampuh 70% hingga 90%. Pengembangan vaksin menggandeng para ilmuwan dari Oxford University. Unsur aktifnya AZD1222 berasal dari gen virus corona yang dilemahkan dan sudah diuji klinis pada 60.000 responden.
Foto: picture-alliance/Flashpic
Vaksin Janssen/Johnson&Johnson dari AS
AS dan Kanada sudah memberikan izin bagi vaksin Johnson & Johnson. Vaksin berasal dari vektor virus yang memicu jawaban imunitas perlindungan tubuh. Disebutkan pemberian satu dosis vaksin mencukupi untuk mengembangkan antibodi pencegah Covid-19.Juga penyimpanan vaksin relatif mudah pada kulkas yang lazim.
Foto: Michael Ciaglo/Getty Images
Vaksin Sinovac dari Cina
Perusahaan farmasi Sinovac Biotech dari Cina sedang menuntaskan fase tiga uji klinis vaksin Covid-19 dengan sekitar 29.000 responden. Uji klinis skala besar dilakukan di Brazil, Indonesia dan Turki. Vaksin dikembangkan dari virus corona yang inaktif.
Foto: Wang Zhao/AFP/Getty Images
Vaksin Sinopharm dari Cina
Perusahaan farmasi lain dari Cina, Sinopharm juga sudah masuki fase tiga uji klinis kandidat vaksinnya pada 55.000 responden. Uji klinis antara lain dilakukan di Uni Emirat Arab, Bahrain, Yordania, Maroko, Peru dan Argentina. Sinopharm menggunakan virus yang inaktif sebagai basis pembuatan vaksinnya.
Foto: picture-alliance/Photoshot/Z. Yuwei
Vaksin Sputnik V dari Rusia
Berdasar klaim sendiri, Rusia menyatakan vaksin Sputnik V buatan Gamaleya ampuh perangi Covid-19. Vaksin yang kini sudah mendapat izin regulasi dari Moskow itu dilaporkan baru melakukan uji klinis fase 1 dan 2 tanpa kejelasan berapa jumlah sampelnya. Vaksinnya berbasis vektor adenovirus manusia yang diizinkan WHO. Penulis: Agus Setiawan
Foto: picture-alliance/dpa/V. Pesnya
7 foto1 | 7
Reaksi khas setelah vaksinasi semacam itu, juga sudah dilaporkan muncul dari vaksin yang sudah digunakan, yakni buatan BioNTech-Pfizer, Moderna, AstraZeneca dan vaksin buatan Rusia, Sputnik V.
Jarang timbul efek samping dengan gejala serius
Di samping reaksi khas vaksinasi normal, tentu saja ada kasus efek samping dengan gejala yang amat berat pada sebagian sangat kecil individu. Misalnya syok alergi, yang sudah diberitakan dengan gencar. Tapi perlu diingat, ini adalah kasus individual.
Tiga vaksin corona yang sejauh ini sudah mendapat izin, menurut jawatan obat Eropa-EMA, jawatan obat dan makanan AS - FDA serta organisasi kesehatan dunia-WHO, secara keseluruhan aman. Jika tidak, lembaga pengawasan obat dan makanan ini tidak akan mengeluarkan izin penggunaan vaksinnya.
Vaksin dari BioNTech dan Moderna dalam pengembangannya menggunakan metode terbaru, yang disebut vaksin mRNA. Secara mendasar, vaksin ini berbeda dengan vaksin konvensional. Dalam artian, vaksin tidak mengandung virus mati atau virus yang dilemahkan. Melainkan hanya rancang bangun untuk satu bagian pembentuk penyebab Covid-19.
Sementara vaksin AstraZeneca pengembangannya juga menggunakan teknologi baru, yang disebut vektor virus. Vaksin vektor ini memanfaatkan adenovirus, misalnya virus flu yang hanya menginfeksi simpanse, sebagai alat transportasi, untuk menyusup ke protein permukaan SARS-CoV-2 yang disebut protein duri, agar memicu reaksi kekebalan tubuh.
Iklan
Siap mengabaikan risiko vaksin?
Hal ini menjadi tanggung jawab tiap individu. Setiap orang harus menimbang sendiri, apakah baginya keuntungan lebih besar dari risikonya? Apakah bagi saya lebih penting, melindungi diri saya sendiri dan orang lain lewat vaksinasi? Dan dengan begitu kembali menjalani hidup normal. Atau, bagi saya risiko dari vaksin teknologi terbaru ini terlalu besar?
Juga ada pertimbangan lain, semua risiko dan efek samping yag sejauh ini tercatat, adalah data rekaman momen per momen dari beberapa bulan belakangan. Ini harus dicatat, agar kita tidak terlalu euforia menanggapi proses cepat pengembangan vaksin. Seperti pengalaman pada vaksin lain sebelumnya, studi jangka panjang lah yang akan memberikan kejelasan. Inilah yang disebut fase 4, dengan monitoring vaksinasi global setelah izin dikeluarkan.
Sejauh ini belum ada informasi mengenai kemungkinan efek samping yang langka, misalnya pada orang komorbid atau pengidap alergi. Efek samping semacam itu hanya bisa diamati, jika sudah dilakukan vaksinasi pada sangat banyak orang dan dimonitor jangka panjang.
"Masih ada risiko yang tersisa", kata Christian Bogdan, direktur Institut Mikrobiologis Klinis, Imunologi dan Higiene di RS Universitas Erlangen. "Setinggi apa risikonya, harus diuji pada bulan-bulan mendatang", paparnya.
Siapa yang harus mendapat prioritas imunisasi
Bogdan, yang juga anggota komisi tetap vaksinasi di Robert Koch-Institut (RKI) menyebutkan, pertimbangan antara kegunaan dan risiko tetap menjadi basis vaksinasi. Kepada dpa ia menjelaskan contoh hitungan matematisnya: Seorang manusia lanjut usia, jika terinfeksi virus corona menghadapi risiko kematian 20%, sementara jika divaksinasi, risiko efek samping berat hanya satu banding 50.000, maka secara logika, mereka disarankan untuk melakukan imunisasi.
Juga perempuan yang sedang hamil atau menyusui, dengan menyitir data terbaru, Bogdan menyarankan harus sangat berhati-hati dan jangan melakukan vaksinasi. Walau begitu, jawatan penanggulangan penyakit di AS-CDC menyebutkan, perempuan hamil atau menyusui tidak tertutup kemungkinan mendapat vaksin mRNA, setelah mendapat pemeriksaan dan konsultasi dengan dokternya.
Alexander Freund (as/pkp )
Apakah Sudah Ada Obat Penyembuh Covid-19?
Euforia pecah saat vaksin corona pertama dinyatakan efektif hingga 95%. Namun banyak yang lupa, penyakit Covid-19 jika sudah menyerang tubuh, harus diobati agar pasien sembuh. Adakah obat ampuh buat melawan Covid-19?
Foto: Kay Nietfeld/dpa/picture alliance
Dexamethasone Reduksi Kematian Pasien Covid-19
Sejauh ini penyakit Covid-19 hanya diobati gejalanya. Dexamethasone adalah obat keluarga streoid yang murah dan mudah diakses. Dalam uji coba terhadap 2.100 pasien Covid-19 dengan gejala berat, obat anti inflamasi ini mampu mereduksi kematian pasien hingga 30%. Pakar epidemiologi Peter Horby dari Universitas Oxford Inggris, pimpinan riset menyebut, obat murah ini bisa cegah banyak kematian.
Foto: Getty Images/M. Horwood
Favipiravir Kurangi Beban Virus Corona
Favipiravir dikembangkan oleh Fujifilm Holdings Jepang untuk melawan virus lain, dalam kasus ini virus influenza. Dalam sebuah riset disebutkan unsur aktifnya bisa mengurangi beban virus pada tubuh pasien dan mereduksi lamanya waktu perawatan di rumah sakit. Obat yang di Jepang dikenal dengan merk Avigan ini, juga sudah mendapat izin edar di Rusia dengan nama Avifavir.
Foto: picture-alliance/dpa/Kimimasa Mayama
Remdesivir Tidak Disarankan oleh WHO
Remdesivir sejatinya dikembangkan untuk mengobati Ebola yang dipicu virus corona jenis lain. Obat buatan Gilead Sciences AS ini mula-mula disebut ampuh melawan Covid-19 dan di AS diajukan regulasi darurat. Tapi WHO kemudian menyatakan, tidak merekomendasikan Remdesivir, karena tidak menunjukkan keampuhan signifikan pada pasien Covid-19.
Foto: picture-alliance/Yonhap
Chloroquin Mencuat Akibat Politisasi
Chloroquin dan turunannya Hydroxychloroquin adalah obat anti malaria yang ampuh dan sudah digunakan luas sejak lama. Nama obat ini mencuat gara-gara presiden AS, Trump dan presiden Brazil, Bolsonaro memuji keampuhannya tanpa data ilmiah penunjang. Riset terbaru menyatakan obat antimalaria ini tidak ampuh melawan virus SARS-Cov-2 penyebab Covid-19.
WHO mula-mula menyarankan jangan mengkonsumsi obat antinyeri Ibuprofen dalam kasus infeksi virus corona. Namun beberapa hari kemudian WHO mencabut lagi saran ini. Pakar virologi Jerman Christian Drosten menyebut, asupan ibuprofen tidak membuat penyakit Covid-19 tambah parah. Sejauh ini sifat virus SARS-Cov-2 memang masih terus diteliti.
Foto: picture-alliance/dpa/L. Mirgeler
Artemisia Obat Herbal Berpotensi
Tanaman Artemisia dengan unsur aktif artemisinin terbukti ampuh melawan malaria. Penemunya, ilmuwan Cina Youyou Tu dianugerahi Nobel Kedokteran 2015. Kini herbal berkhasiat ini dilirik para peneliti Jerman yang merisetnya untuk mengobati Covid-19. Namun WHO menyarankan semua pihak agar ekstra hati-hati tanggapi laporan efektifitas herbal dalam pengobatan Covid-19. (Penulis: Agus Setiawan)