1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiIndonesia

Tergiur Impor Minyak Murah Rusia, Apa Risikonya?

Betty Herlina
13 April 2022

Meski harga minyak dan gas yang ditawarkan lebih murah, posisi Indonesia bisa serba salah secara politik maupun ekonomi saat konflik antara Rusia dan Ukraina kian meningkat.

Kapal tanker yang mengangkut LNG dari Rusia, foto diambil pada 2 Januari 2022
Kapal tanker yang mengangkut LNG dari Rusia, foto diambil pada 2 Januari 2022Foto: Sergei Krasnoukhov/TASS/dpa/picture alliance

Terbukanya pasar impor minyak dan gas dari Rusia membuat sejumlah pengamat perdagangan internasional memperingatkan agar pemerintah Indonesia tidak tergiur membeli minyak maupun gas dari negara ini. Peringatan ini menyusul pernyataan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati yang berencana membeli minyak dari Rusia dengan alasan harga yang lebih murah, seperti dilansir dari Detik,com pada 1 April 2022.

Rusia diketahui menjadi negara pemasok bahan bakar fosil terbesar untuk Uni Eropa. Dengan invasi Rusia ke Ukraina, negara-negara Eropa pun ingin melepaskan diri dari ketergantungan energi ini. Akibatnya, Rusia kini mencari pasar baru untuk gas alam dan minyak buminya.

DW Indonesia telah berusaha menghubungi Pertamina untuk meminta keterangan lebih lanjut tentang rencana pembelian minyak dari Rusia. Namun hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari pihak Pertamina.

Menanggapi rencana tersebut Yose Rizal Damuri, Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS), mengatakan terbukanya aktivitas ekonomi dalam bentuk pembelian gas maupun minyak dari Rusia akan menempatkan Indonesia dalam posisi sulit secara politik. Menurutnya, Indonesia akan menjadi salah satu negara yang tidak disenangi oleh negara-negara yang memberikan sanksi untuk Rusia.

"Ini akibatnya akan semakin terasa ketika eskalasi antara Rusia dan Ukraina semakin meningkat. Posisi Indonesia menjadi tidak menguntungkan baik secara politik maupun ekonomi, meskipun harganya murah," kata Yose Rizal Damuri kepada DW Indonesia.

Meskipun begitu, Yose Rizal menambahkan, ketika Indonesia tetap melakukan transaksi, negara-negara yang tidak menyenangi hal tersebut tidak dapat memberikan sanksi. Hal ini karena sanksi yang saat ini dialami Rusia bukanlah sanksi yang dilakukan oleh dunia secara keseluruhan, ujar Yose Rizal.

"Apa pun barangnya yang dibeli, tidak akan ada sanksi. Berbeda kasusnya dengan sanksi terhadap Iran, tidak akan ada sanksi bagi Indonesia dari negara lain, jika tetap membeli gas terhadap Rusia," imbuhnya.

Pasokan gas dalam negeri dinilai cukup

Yose Rizal mengatakan terbukanya impor gas bisa menjadi suplai alternatif, apalagi dengan harga penawaran yang lebih murah. Namun menurutnya sejauh ini kebutuhan gas alam masih bisa ditutupi dengan pasokan dari dalam negeri.

"Termasuk dalam hal minyak, Indonesia juga tidak pernah mengimpor minyak dari Rusia, kebanyakan dari Timur Tengah. Jika sekarang Indonesia akan membeli dari Rusia, walaupun mendapat harga lebih murah, masih harus mempertimbangkan kesulitan logistiknya," tambah Yose Rizal.

Serupa disampaikan Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira. Menurutnya, mekanisme pembelian gas akan berbeda dengan minyak. Selain itu, Indonesia tidak memiliki ketergantungan dalam impor gas karena memiliki pasokan dalam negeri yang cukup banyak. 

"Kalaupun impor, itu hanya gas untuk kebutuhan pupuk saja. Namun tidak juga dari Rusia, walaupun di awal invansi Rusia harga pupuk sempat meroket. Impor gas itu membutuhkan infrastruktur. Apakah kita sudah siap? Kalaupun harga gasnya didiskon tentunya tetap membutuhkan biaya distribusi yang tidak sedikit," papar Bhima kepada DW Indonesia. Infrastruktur ini antara lain adalah pipa untuk menyalurkan gas alam.

Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mencatat kurun tahun 2021, total volume impor gas Indonesia mencapai 6,24 juta ton. Jumlah tersebut naik 1,07% dibandingkan tahun sebelumnya, sekaligus menjadi jumlah terbesar dalam 5 tahun terakhir.

Amerika Serikat menjadi negara utama penyuplai gas LPG terbesar Indonesia sekitar 3,78 juta ton, menyusul Uni Emirat Arab 1,23 juta ton dan dari Arab Saudi. Tahun sebelumnya, Indonesia bergantung impor gas LPG dari Singapura dan Timur Tengah.

Risiko tempatkan Indonesia di posisi sulit

Meski demikian, lanjut Bhima jika Indonesia tetap ingin menjajaki peluang pembelian gas dari Rusia, sebaiknya tidak langsung dilakukan Pemerintah Indonesia. Prosesnya dapat dengan membeli di negara kedua atau ketiga, seperti Cina atau India.

Pembelian yang sifatnya langsung akan membuat Indonesia berada dalam posisi sulit, ujar Bhima. "Bisa-bisa Indonesia dianggap mendanai invansi Rusia. Makanya jangan beli langsung. Harus lebih hati-hati. Tapi sebaiknya Pemerintah Indonesia tidak tergiur untuk membeli gas dari Rusia karena ini banyak dampak politiknya," demikian Bhima.

Rencana pembelian bahan bakar fosil dari Rusia juga mendapatkan kecaman dari aktivis Greenpeace. Direktur Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, mengatakan rencana pembelian energi fosil Rusia kontradiktif dengan kencaman Presiden Jokowi terhadap invasi Rusia ke Ukraina. Membeli minyak Rusia berarti memberikan pendapatan bagi negara tersebut, yang besar kemungkinan akan dipakai sebagai modal untuk melanjutkan invasinya di Ukraina, menurut Leonard Simanjuntak.

"Seharusnya Indonesia yang memegang G-20 Presidency tahun ini, bersikap lebih proaktif untuk mengupayakan perdamaian, bukannya justru memanfaatkan kesempatan untuk keuntungan jangka pendek, seperti yang diperlihatkan oleh tindakan Pertamina ini," ujar Leonard dalam rilis yang diterima DW Indonesia. (ae)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait