Lonjakan COVID-19 di Cina Tingkatkan Risiko Varian Baru
29 Desember 2022
Pakar kesehatan peringatkan, ledakan kasus COVID-19 di Cina setelah negara itu mencabut aturan nol-COVID-19 dapat berpontensi ciptakan munculnya varian baru virus corona.
Iklan
Melonjak drastisnya kasus COVID-19 di Cina setelah Beijing mencabut kebijakan nol-COVID-19, dapat menciptakan potensi tempat berkembang biaknya varian baru virus corona, demikan peringatan pakar kesehatan.
Cina mengumumkan pekan ini, para wisatawan yang masuk ke negara itu, mulai 8 Januari tidak lagi diwajibkan dikarantina. Ini adalah pembatalan kebijakan besar terbaru dari pembatasan ketat yang membuat Cina sebagian besar tertutup bagi dunia sejak dimulainya pandemi.
Sementara Komisi Kesehatan Nasional negara itu berhenti mengeluarkan angka kasus harian, pejabat di beberapa kota memperkirakan ratusan ribu orang telah terinfeksi COVID-19 dalam beberapa pekan terakhir. Rumah sakit dan krematorium di seluruh negeri dilaporkan telah kewalahan.
Dengan varian virus yang kini bersirkulasi dan mampu menginfeksi hampir 20% populasi dunia, banyak warga Cina yang belum memiliki kekebalan dari infeksi sebelumnya dan banyak yang belum divaksinasi, mengkhawatirkan negara lain dan pakar, Cina akan menjadi lahan subur bagi varian baru.
Linimasa Penyebaran Virus Corona Secara Global
Setelah kasus virus corona dikonfirmasi Cina akhir Desember 2019, wabah menyebar jadi pandemi. Sejumlah negara sudah memberlakukan lockdown. Sekarang lebih1,2 juta terinfeksi Covid-19 dan hampir 70.000 meninggal.
Foto: picture-alliance/dpa/SOPA Images/A. Marzo
Virus Corona Baru Diidentifikasi
Ilmuwan Cina pada 7 Januari mengumumkan, berhasil identifikasi virus corona jenis baru yang menyerang Wuhan dan memicu infeksi paru-paru yang kemudian diberi nama SARS-CoV-2. Berbeda virus corona pemicu SARS sebelumnya, virus baru menyerang saluran pernafasan bawah. Gejala penyakitnya: demam, batuk kering, kesulitan bernafas dan paru-paru berisi cairan.
Foto: Reuters/Str
Jutaan Warga Dikarantina
Cina mengkarantina Wuhan pada 23 Januari dalam upaya membatasi penyebaran virus corona. Pekerja berupaya untuk segera membangun rumah sakit baru untuk merawat pasien terinfeksi, yang jumlahnya lebih dari 830 orang dan jumlah kematian yang meningkat menjadi 26 orang pada 24 Januari. Para pejabat akhirnya memperluas lockdown ke 13 kota lain, yang memengaruhi setidaknya 36 juta orang.
Foto: AFP/STR
Jerman Batasi Kontak Sosial
Pada tanggal 27 Januari, Jerman mengumumkan kasus virus corona pertama yang teridentifikasi. Pasiennya seorang pria berusia 33 tahun di Bayern yang kontak langsung dengan rekan kerja dari Cina selama pelatihan di tempat kerja. Tanggal 22 Maret Jerman umumkan lockdown parsial dan sosial distancing. Tanggal 6 April, John Hopkins konformasi lebih 100.000 kasus di Jerman dengan lebih 1.500 kematian.
Foto: Reuters/A. Uyanik
Italia Berlakukan Lockdown
Kasus infeksi Covid-19 di Italia meningkat secara dramatis. Pada 3 Maret dikonfirmasi 77 kematian dan ribuan kasus infeksi corona. Pada 8 Maret, pemerintah Italia memerintahkan “lockdown“ seluruh kawasan Lombardy yang berpenghuni 16 juta orang. Italia pada 5 April masih memegang rekor jumlah infeksi dan kematian terbanyak di Eropa, dengan lebih 128.000 kasus dan lebih 15.000 kematian.
Foto: Reuters/R. Casilli
Ekonomi Terjun Bebas
Pasar saham Eropa dan AS anjlok pada 6 Maret, menjadi minggu terburuk sejak krisis keuangan 2008. Efek pandemi pada bisnis global sangat signifikan. Banyak perusahaan melaporkan kerugian. Sektor industri pariwisata dan maskapai penerbangan terpukul. 10 Maret, Uni Eropa menjanjikan dana investasi sebesar € 7,5 miliar ($ 8,4 miliar) untuk mencoba menghentikan zona euro merosot ke situasi resesi.
Foto: picture-alliance/Jiji Press/M. Taguchi
WHO Deklarasikan Pandemi
Ketika kasus terinfeksi di seluruh dunia mencapai 127.000 orang dan 4.700 korban meninggal, Organisasi Kesehatan Dunia pada 11 Maret menyatakan wabah global ini sebagai "pandemi". Presiden AS Trump mengumumkan pembatasan perjalanan bagi wisatawan yang datang dari Zona Schengen di Eropa. Kanselir Jerman Angela Merkel juga mengumumkan bahwa 70% populasi di Jerman dapat terinfeksi virus corona.
Foto: picture-alliance/Photoshot
Kehidupan Publik Berhenti di Eropa
Pada 14 Maret, Spanyol mengikuti langkah Italia melakukan lockdown secara nasional untuk 46 juta warganya, dengan tujuan untuk mencegah penyebaran virus corona. Spanyol berada di peringkat kedua kasus di Eropa, dengan 131.000 terinfeksi dan lebih 12.000 meninggal. Di Prancis, kafe, restoran, dan toko-toko tutup pada 15 Maret.
Foto: picture-alliance/dpa/AAB. Akbulut
AS Terpukul Telak
Pada 27 Maret, Jumlah terinfeksi di AS melampaui Cina. Ini terjadi ketika Presiden Donald Trump mengklaim bahwa negara akan kembali pulih "dengan cukup cepat." AS mencatat lebih 337.000 kasus infeksi dan hampir 10.000 meninggal (6/4). New York terdampak yang paling parah, dengan 63.000 kasus Covid-19 dan lebih 3000 meninggal. Kapal rumah sakit dikerahkan untuk membantu tenaga medis.
Foto: picture-alliance/Photoshot/J. Fischer
Lebih 1 Juta Orang Terinfeksi Covid-19
Universitas Johns Hopkins mengumumkan, Senin (6/4), lebih 1.2 juta kasus virus corona yang dikonfirmasi di seluruh dunia. Sekitar 70.000 orang meninggal akibat Covid-19. AS mencatat rekor infeksi dengan jumlah tiga kali lipat dari Cina, tempat virus itu muncul pada Desember 2019. Kemungkinan kondisi pandemi akan semakin buruk dengan jumlah yang terinfeksi dan meninggal terus naik. (fs/as)
Foto: Reuters/J. Redmond
9 foto1 | 9
Antoine Flahault, direktur Institut Kesehatan Global di Universitas Jenewa, mengatakan kepada AFP bahwa setiap infeksi baru meningkatkan kemungkinan virus akan bermutasi.
Risiko mutasi baru meningkat
"Fakta bahwa 1,4 miliar orang tiba-tiba terekspos pada virus SARS-CoV-2, jelas menciptakan kondisi yang rawan munculnya varian baru,” kata Flahault merujuk pada virus penyebab penyakit COVID-19.
Bruno Lina, seorang profesor virologi di Universitas Lyon Prancis, kepada surat kabar La Croix pada pekan ini mengatakan, Cina dapat menjadi "tempat berkembang biak yang potensial bagi virus varian baru".
Soumya Swaminathan, yang menjabat sebagai ilmuwan kepala Organisasi Kesehatan Dunia -WHO hingga November lalu, mengatakan sebagian besar penduduk Cina rentan terhadap infeksi, sebagian karena banyak orang lanjut usia belum divaksinasi atau mendapat vaksinasi booster.
"Kita perlu terus mencermati setiap varian yang muncul," katanya kepada situs web surat kabar Indian Express. pkp/as (AFP)