Memotret Hubungan Manusia dengan Alam
12 Januari 2016Panorama Indonesia yang indah ternyata masih bersinergi dengan kekayaan ritual tradisional. Negara yang mayoritas warganya pemeluk Islam itu, kesehariannya tetap dipenuhi "kebiasaan" yang sudah mengakar sejak beberapa abad. Fotografer muda Rony Zakaria memotret tradisi ini dalam proyek fotonya yang berjudul "Men, Mountains and Sea". Sebuah proyek fotografi yang mendalami hubungan manusia dengan alam di Indonesia.
Tahun 2015 silam merupakan tahun sibuk bagi fotografer muda Indonesia ini. Karyanya dipamerkan di berbagai tempat di manca negara dan banyak mengundang perhatian publik. Proyek Proyek foto "Men, Mountains & the Sea", merupakan proyek pribadi yang memakan waktu cukup panjang dan menuntut kesabaran.
Proyek ini dimulai delapan tahun silam, ketika Ronny mulai berkelana di Indonesia, menyusuri gunung dan laut, mengikuti aktivitas keseharian masyarakatnya. Dalam foto-foto karyanya, Rony mengabadikan bagaimana hubungan manusia dengan alam. Bentuk ritual-ritual penghormatan pada alam atau sesuatu kekuatan pada alam yang masih eksis dari kehidupan masyarakat. Antara lain aliran animisme dan paganisme.
"Manusia memiliki kepercayaan akan hubungan pribadi dengan pegunungan dan laut," kata Zakaria. "Saya sangat tertarik pada bentuk kepercayaan, keyakinan..... orang-orang memiliki agama resmi, namun ada keyakinan atau kepercayaan yang sulit dijelaskan di pegunungan dan di lautan, yang harus dihormati.“
Ia memberi contoh, banyak orang mendaki ke puncak Gunung Merapi dengan mengharapkan berkah, "Mereka percaya bahwa ketika gunung meletus, maka sesudahnya akan menyebarkan kesuburan tanah." Berikut petikan wawancara Rony Zakaria dengan reporter DW, Ayu Purwaningsih.
DW: Dapatkah Anda ceritakan, apa yang mengilhami Anda membuat serial serial foto “Men, Mountains and the Sea”?
Men, Mountains and the Sea berawal dari sebuah perjalanan ke Yogyakarta untuk mengunjungi teman tujuh tahun lalu. Saya baru memulai karir saya sebagai fotografer dan sangat penuh keingintahuan, memotret apapun yang ada didepan mata saya.
Namun ketika saya pergi ke gunung Merapi dan pantai Parangkusumo, semua menjadi jelas apa yang sangat menarik perhatian saya. Bagaimana terdapat hubungan khusus antara penduduk dengan gunung Merapi dan laut selatan di Pantai Parangkusumo. Saya tertarik untuk melihat relasi tersebut dan mendokumentasikannya. Berawal dari trip ke Yogyakarta tersebut saya mengunjungi tempat-tempat lainnya dimana terdapat relasi yang hampir sama antara manusia dan alam, di Jepara, di Tengger, di Bali, di Nusa Tenggara.
DW: Apa saja kesulitan yang Anda hadapi saat membuat proyek ini?
Hal klise, biaya. untuk pergi ke tempat-tempat ini perlu biaya yang saya keluarkan sendiri karena tidak ada yang memberikan sponsor. Karena proyek ini dibuat dalam foto hitam-putih, hanya sedikit majalah dan media yang berminat mempublikasikannya pada awalnya. Kedua memotret di tempat-tempat ini membutuhkan stamina dan kondisi fisik yang prima, saat saya memulai proyek ini, saya masih berada di usia awal duapuluhan tahun dimana kondisi fisik masih prima. Kini seiring bertambahnya umur dan kondisi medan yang semakin berat (terutama di luar pulau Jawa), mengharuskan saya untuk menjaga kondisi fisik.
DW: Apa yang membedakan foto-foto Anda dari foto-foto panorama Indonesia lainnya?
Proyek ini buat saya bukan hanya ingin menampilkan keindahan lanskap namun lebih ke relasi manusia dengan alamnya. Indonesia dikenal sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia namun di saat yang sama ritual-ritual dan kepercayaan lokal yang lebih ke animisme dan paganisme juga tetap dilakukan bercampur secara harmonis dengan tradisi religi modern. Ada relasi dan kepercayaan yang susah dijelaskan dengan kata-kata namun saya berusaha menjelaskan dan mencari tahu dengan cara visual, ini cara saya menaruh respek terhadap kepercayaan tersebut.
Rony Zakaria , lahir tahun 1984 di Jakarta. Sejumlah penghargaan di bidang fotografi pernah diraihnya, di antaranya: NPPA Best of Photojournalism (2011), Mochtar Lubis Award Grant. (2009), dan Roberto del Carlo Award, Photolux (2015).
Tahun 2013, ia mempublikasikan buku pertamanya : Encounters yang berisi kumpulan foto pribadi sejak awal ia menggeluti dunia fotografi.