Setiap akhir Bulan Ramadlan, umat Islam di seluruh dunia merayakan “hari spesial” yang bernama Idul Fitri sebagai tanda dari berakhirnya sebulan penuh ibadah puasa. Simak opini Sumanto al Qurtuby.
Iklan
Kata Idul Fitri tentu saja dari Bahasa Arab ‘id al-fitr yang berarti "kembali kepada fitrah” atau kesucian sebagaimana bayi yang baru lahir di dunia ini. Dalam konsep teologi Islam, berbeda dengan Kristen, setiap bayi manusia lahir dalam keadaan "fitrah” atau "suci dan bersih” dari dosa (kullu mauludin yuladu ala al-fitrah).
Dengan demikian, kata Idul Fitri memiliki makna simbolik bahwa dengan menjalankan sebulan penuh puasa, maka kaum Muslim ibarat seperti bayi yang baru dilahirkan ke muka bumi yang "suci-murni tak berdebu” karena ibadah puasa, seperti dijanjikan oleh Allah SWT, telah menghapus dosa-dosa mereka kepada-Nya. Karena dosa-dosanya telah dihapus, maka perlu "dirayakan” sebagai ekspresi rasa terima kasih dengan mengumandangkan kalimat-kalimat pujian dan takbir kepada-Nya serta berbagai aktivitas kemanusiaan. Dalam Islam, konon tradisi dan perintah merayakan Idul Fitri ini bermula setelah Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makah ke Madinah, seperti dikisahkan dalam sebuah Hadis yang dinarasikan oleh Anas bin Malik.
Masing-masing umat Islam memiliki cara-cara unik untuk merayakan Idul Fitri ini. Masing-masing negara dimana kaum Muslim menjadi mayoritas, termasuk Indonesia, juga mempunyai tradisi perayaan Idul Fitri yang menarik dan spesial. Di Indonesia, ritual tahunan ini disebut Hari Raya Idul Fitri atau juga populer dengan sebutan Lebaran.
Tradisi saling memaafkan
Tidak jelas dari mana asal-usul kata "Lebaran” ini. Sebagian menganggap kata Lebaran ini berasal dari Bahasa Jawa lebar” ("usai”), Bahasa Madura lober ("tuntas”), Bahasa Sunda lebar ("melimpah ruah” atau kadang juga disebut "boboran”), atau Bahasa Betawi lebar ("luas dan dalam”). Apapun asal-usulnya yang jelas kata Lebaran mengandung makna tuntas, komplit, atau usai menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh sehingga diharapkan hati dan pikiran umat Islam menjadi semakin luas, legowo, dan melimpah 'ruah' dengan pintu maaf. Inilah makna terpenting dari Lebaran. Kata Lebaran ini bukan hanya dipakai untuk Idul Fitri atau Idul Adha (Lebaran Haji) saja tetapi juga untuk "Lebaran Cina” yaitu untuk menandai tahun baru dalam sistem kalendar Tionghoa. Menariknya, kata ini tidak dipakai untuk menyebut Hari Raya Natal. Tidak ada istilah "Lebaran Natal” tetapi cukup "Natalan”.
Dalam tradisi Jawa khususnya, menurut budayawan Umar Khayam, tradisi lebaran seperti yang kini lazim dipraktikkan oleh kaum Muslim di Jawa dan lainnya ini bermula sejak abad ke-15, yakni sejak diperkenalkan oleh Sunan Bonang, salah satu anggota Wali Songo (atau wali sembilan) yang berjasa dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa khsusnya tetapi juga di kawasan lain (silakan simak studi Ahmad Sunyoto, Atlas Wali Songo).
Sunan Bonang inilah yang konon awalnya memperkenalkan tradisi Lebaran dengan meminta umat Islam untuk saling bermaaf-maafan sebagai "penyempurna” atas pengampunan atau permaafan yang diberikan oleh Tuhan. Dengan kata lain, dengan puasa, Tuhan telah mengampuni atau memaafkan dosa-dosa umat Islam yang dilakukan kepada-Nya, maka dengan saling memaafkan satu sama lain, dosa dan kesalahan kepada sesama juga menjadi termaafkan. Karena Islam bukan hanya mengurusi masalah relasi manusia dengan Tuhan (habl mi Allah) saja tetapi juga hubungan manusia dengan sesama umat manusia (habl min al-nas), maka permaafan dari kedua belah pihak juga sangat penting.
Lebaran di Sana, Lebaran di Sini
Bagaimana suasana lebaran di tempat Anda? Inilah suasana Lebaran di kota Bonn, Jerman, kota dimana kantor Deutsche Welle berada.
Foto: DW/Y. Farid
Hari Suci Nan Syahdu
Tidak seperti di Indonesia, suasana hari lebaran di Jerman hampir sama dengan hari-hari biasa. Tidak ada gegap gempita. Namun kebersamaan dan gema takbir yang dikumandangkan mampu sedikit memupus kerinduan berlebaran di tanah air.
Foto: DW/Y. Farid
Sampai ke Halaman
Tempat beribadahnya memang tak terlalu besar. Namun hal itu tetap tak mengurangi antusiasme warga. Yang tak kebagian tempat di dalam gedung, tetap khusyuk mengikuti jalannya ibadah di halaman.
Foto: DW/Y. Farid
Dari Berbagai Kota
Masyarakat muslim Indonesia di kota Bonn dan kota-kota sekitarnya, seperti Köln, Düsseldorf dan juga dari Aachen, berkumpul bersama untuk melaksanakan shalat Idul Fitri 1437 H. Anak kecil turut bergembira menyambut Lebaran.
Foto: DW/Y. Farid
Selfie Yuk…
Usai ibadah, saatnya selfie… Asyiknya berjumpa dengan kawan-kawan seperantauan. Di rantau tak jarang kawan menjadi keluarga.
Foto: DW/Y. Farid
Barbeque
Beberapa warga di antaranya mengadakan acara kumpul bersama. Salah satu kegiatannya adalah barbeque, karena kebetulan Lebaran tahun 2016 jatuh di musim panas.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Yang Penting Berjumpa
Karena tidak termasuk hari besar, beberapa warga mengambil cuti di hari raya Idul Fitri. Yang tak bisa cuti, menyusul berkumpul di acara bersama, sepulang kerja.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Lagu Apa Ya?
Namanya juga orang Indonesia, jadi lagu Indonesia pun tak ketinggalan untuk dinyanyikan bersama. Lagu yang tak bosan dinyanyikan para perantau ini: Kemesraan. Kemesraan ini janganlah cepat berlalu…
Foto: DW/A. Purwaningsih
Main Bola
Anak-anak kecil ikut bersuka ria bersama di hari raya. Mereka bermain apa saja, di antaranya bermain bola.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Mengumpulkan Murbei
Tentu saja, selain bersenda gurau, kegiatan lainnya bisa macam-macam, di antaranya: Mengumpulkan murbei dari pepohonan di sekitar rumah. Kegiatan ini dilakukan orang dewasa dan juga anak-anak.
Foto: DW/A. Purwaningsih
Ikutan Coba?
Ada tiga warna murbei yang mereka kumpulkan. Merah, hitam dan putih. Yang putih yang paling manis. Murbei ini bisa dipakai untuk membuat sorbet ataupun kue. Setelah dikumpulkan, buah-buahan ini dibagi-bagi dan dibawa pulang.
Foto: DW/A. Purwaningsih
10 foto1 | 10
Tradisi Lebaran yang juga unik di kalangan masyarakat Islam Jawa adalah "sungkeman” dan "kupatan”. Sungkeman adalah tradisi meminta maaf, doa, dan berkah kepada orang tua, kakek-nenek, atau tokoh dan orang-orang yang dituakan (sesepuh) dengan cara jongkok bersimpuh di hadapan mereka sambil memegang dan mencium tangan mereka. Banyak yang sampai menangis waktu mempraktikkan tradisi sungkeman ini karena merasa terharu atau merasa bersalah selama ini. Tradisi sungkeman ini juga menunjukkan atau sebagai simbol dedikasi dan penghormatan dari yang muda terhadap yang tua.
Selanjutnya, tradisi kupatan ini juga memiliki makna simbolik. Kupat atau ketupat, yang konon awalnya diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, berasal dari kata "ngaku lepat” dalam Bahasa Jawa yang berarti "mengakui kesalahan”. Nasi putih adalah simbol "kesucian” semenetara janur yang menyilang-nyilang yang dipakai untuk membungkus ketupat tadi adalah simbol "dosa dan kesalahan”. Maka, pada waktu Lebaran, janur-janur itu (baca, "dosa dan kesalahan”) harus dibuka dan dilepas agar nasi putih (baca, kesucian) bisa terbebas, tidak lagi terbelenggu. Dengan memakan ketupat, diharapkan umat Islam bisa membuang segala hal yang batil, dosa, dan khilaf, untuk kemudian menjadi "manusia baru” yang bersih dari dosa, kesalahan, dan keangkaramurkaan.
Idul Fitri Warga Indonesia di Bonn
Bagi warga asing Muslim di Jerman, juga bagi warga Indonesia, hari raya Idul Fitri merupakan satu kesempatan untuk bertemu dengan warga senegara, dan juga untuk mencicipi masakanan tanah air.
Foto: DW/A.Budiman
Tradisi dari Kampung Halaman
Di Indonesia ini bukan hal yang luar biasa, melihat sandal dan sepatu berjejer di depan pintu saat berlangsung satu acara. Tapi di Jerman ini merupakan satu pemandangan 'ganjil'.
Foto: DW/A.Budiman
Persiapan
Jamuan bagi tamu - semuanya harus disiapkan, sebelum acara dimulai.
Foto: DW/A.Budiman
Bebenah
Sampai di ruang acara langsung menggelar tikar, karpet atau sajadah untuk bersiap melakukan salat Id.
Foto: DW/A.Budiman
Menunggu
Takbir dikumandangkan, sambil menunggu jamaah lain dan dimulainya solat Id.
Foto: DW/A.Budiman
Pesan Idul Fitri
Ustad Bram Omar, yang bermukim di kota Köln, menyampaikan khutbah Id - membahas pentingnya zakta fitrah.
Foto: DW/A.Budiman
Berjamaah
Salat Id dipimpin ustad Bram Omar - satu kesempatan untuk bersama bersujud di depan Allah.
Foto: DW/A.Budiman
Untuk Kenangan
Satu kali dalam setahun - satu momen yang patut diabadikan.
Foto: DW/A.Budiman
Antri
Prasmanan dibuka, mengantri untuk mencicipi hidangan Idul Fitri, berbagai masakan khas Indonesia.
Foto: DW/A.Budiman
Bermain
Menunggu orangtua mengambil makanan, satu kesempatan untuk bermain dengan teman-teman, yang kerap baru dikenal hari itu.
Foto: DW/A.Budiman
Sampai di Meja
Setelah menunggu 20 - 30 menit, akhirnya tiba kesempatan untuk memilih masakan yang dirindukan.
Foto: DW/A.Budiman
Makan Bersama
Duduk berkumpul di atas tikar atau karpet yang digelar, menyantap masakan Indonesia - satu suasana seperti di negeri sendiri.
Foto: DW/A.Budiman
Penutup
Cemilan penutup hidangan utama yang di Jerman tidak setiap saat dapat dinikmati.
Foto: DW/A.Budiman
Hidangan Utama
Berbagai masakan khas Indonsia disajikan pada acara Idul Fitri warga Indonesia di negara bagian Nordrhein-Westfalen. Memang tidak ada ketupat untuk teman opor ayam, tapi lontong pun jadi. Dan kegembiraan Idul Fitri juga tidak berkurang walalupun berada jauh dari kampung halaman.
Foto: DW/A.Budiman
13 foto1 | 13
Spirit Lebaran yang bermakna
Jadi jelaslah bahwa baik Idul Fitri maupun Lebaran beserta simbol-simbol tradisi dan budayanya memiliki atau mengandung makna filosofi yang sangat dalam. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dewasa ini, mengimplementasikan makna Idul Fitri dan Lebaran dalam kehidupan sehari-hari menjadi sangat mendesak, penting dan fundamental. Apalagi belakangan ini, masyarakat Indonesia seperti tersegregasi atau terpecah-belah karena ulah sejumlah tokoh rasis-sektarian (baik tokoh politik, tokoh agama, maupun tokoh ekonomi dan bisnis) yang demi mewujudkan kepentingan individu dan kelompoknya, rela mengorbankan kepentingan masyarakat publik yang lebih luas.
Nafsu kekuasaan, syahwat politik, kerakusan berdagang, serta gairah yang menggebu-gebu untuk menyeragamkan pemikiran dan praktik keagamaan orang lain telah mengakibatkan mereka menjadi gelap mata melakukan apa saja, termasuk merusak moralitas publik-masyarakat, asal ambisinya tercapai, nafsunya terpenuhi, syahwatnya terlampiaskan, dan kerakusannya terwujud.
Ini belum termasuk ulah para pengguna medsos yang tidak bertanggung jawab yang demi mewujudkan cita-cita dan kepentingannya, rela meritualkan hajatan hujatan dan makian antarsesama umat manusia. Mereka bahkan rela memusuhi keluarga dan sudaranya sendiri hanya karena perbedaan pendapat dan pemikiran serta afiliasi politik dan organisasi keagamaan. Akibatnya, Islam yang menggarisbawahi tentang pentingnya silaturahmi, persaudaraan, dan persahabatan antarmanusia ini seolah menjadi sirna berganti menjadi permusuhan, kebencian, dan pertengkaran bukan hanya dengan "umat lain” saja bahkan dengan sesama pemeluk agama itu sendiri.
Di sinilah spirit Lebaran dan Idul Fitri ini menjadi sangat penting dan bermakna, khususnya bagi umat Islam, untuk mengubah pemikiran, gagasan, pandangan, dan perspektif yang tadinya dipenuhi rasa benci, curiga, dan antipati menjadi rasa cinta, percaya, dan empati kepada orang dan umat lain apapun agama dan etnis mereka. Maaf adalah "kata magis” yang bisa meluluhlantakkan ego dan superioritas. Saya berharap spirit Lebaran dan Idul Fitri ini menjadi momentum nasional untuk membudayakan maaf kepada siapa saja yang telah melakukan kesalahan dan kekhilafan demi Indonesia dan umat manusia yang rukun, damai, dan sentosa. Wallahu a'lam bi shawwab.
Penulis:
Sumanto Al Qurtuby (ap/yf)
Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.
Muslim Dunia Rayakan Idul Fitri
Idul Fitri merupakan hari perayaan kemenangan warga Muslim setelah berperang melawan nafsu dalam ibadah puasa sepanjang bulan Ramadhan. Inilah berbagai tradisi Idul Fitri di sejumlah negara.
Foto: Stan Honda/AFP/Getty Images
Mengintip Hilal
Awal penanggalan Islam ditentukan berdasarkan posisi bulan. Berakhirnya ibadah puasa Ramadhan bisa dihitung secara Astronomi atau Rukyah. Namun untuk meyakinkan bulan baru sudah muncul, para ahli biasanya mengintip bulan atau Hilal. Jika dipastikan bulan baru sudah terlihat di ufuk warga Muslim merayakan Idul Fitri.
Foto: imago/imagebroker
Pesta dengan Beragam Nama
Di Indonesia, Idul Fitri kerap disebut Lebaran. Sementara di Jerman, pesta terbesar umat Islam ini dikenal dengan nama "Bayram", satu kata Bahasa Turki yang berarti "Pesta Manis". Secara internasional, hari kemenangan ini disebut Idul Fitri atau juga Ied-ul Fitr, diambil dari Bahasa Arab. Shalat berjamaah di mesjid atau lapangan terbuka merupakan bagian dari perayaan ini.
Foto: MUSTAFA OZER/AFP/Getty Images
Persiapan Panjang
Umat Islam lazimnya sudah mempersiapakan Idul Fitri sejak dimulainya bulan Ramadhan. Selain barang keperluan ibadah, banyak orang juga sudah membeli pakaian, perhiasan atau sepatu. Di banyak negara, permen dan penganan manis merupakan hidangan yang populer untuk menjamu tamu. Di Afghanistan (foto) misalnya, menjelang lebaran, merupakan hari-hari yang menguntungkan bagi para pedagang.
Foto: DW/I. Spezalai
Malam Pergantian Bulan
Di Pakistan dan India, perayaan Idul Fitri sudah dimulai di malam berakhirnya Ramadhan. Banyak perempuan menghias diri dengan henna untuk upacara di hari berikutnya. Di wilayah ini, malam terakhir Ramadhan disebut "Chaand Raat" atau Malam Bulan.
Foto: DW/Zohre Najwa
Kekacauan Angkutan Umum
Bagi warga Muslim, Idul Fitri merupakan kesempatan untuk bertemu dengan keluarga dan kerabat. Warga Muslim di banyak negara berusaha untuk merayakan Idul Fitri di kampung halaman. Seperti juga Muslim Indonesia. Di hari-hari menjelang dan sesudah Idul Fitri, biasanya kemacetan terjadi di mana-mana. Sistem angkutan umum seringkali tidak dapat mendukung arus penumpang yang membludak.
Foto: Getty Images
Shalat Berjamaah
Hari pertama Idhul Fitri diawali dengan shalat sunnat berjamaah di mesjid-mesid atau lapangan terbuka, seperti juga di Jerman (foto). Biasanya orang-orang pergi ke mesjid bersama keluarganya. Setelah sholat Idhul Fitri, warga Muslim saling mengunjungi keluarga, kerabat atau teman dan juga berziarah ke makam keluarga.
Foto: Barbara Sax/AFP/Getty Images
Makanan Manis untuk Sarapan
Di banyak negara, seperti di Palestina, warga menyantap makanan manis untuk sarapan di hari Idul Fitri. Makanan ini juga dibagikan antar tetangga. Anak-anak kecil mendapatkan hadiah atau uang, yang disebut „Idi“. Dan di banyak negara, pada hari Idul Fitri warga Muslim mengenakan pakaian baru atau pakaian terbaik mereka.
Foto: Said Khatib/AFP/Getty Images
Musik dan Tari
Di Burkina Faso, Afrika Barat seperti juga di banyak negara lainnya, Idul Fitri dirayakan secara meriah. Para remaja berpawai dengan memainkan musik sambil menari. Masa liburan Idul Fitri dimanfaatkan warga Muislim untuk mengunjungi keluarga, kerabat dan teman.
Foto: Ahmed Ouoba/AFP/Getty Images
Penjaja Makanan Panen
Biasanya di hari raya Idul Fitri, jalanan dan tempat-tempat umum juga diramaikan para pedagang, seperti di jalanan kota Dhaka, Bangladesh. Setelah sebulan lamanya mereka hanya bisa berjualan mulai sore hari, kini mereka dapat kembali menawarkan dagangan sepanjang hari.
Foto: dapd
Dihiasi Cahaya
Hari pertama Idul Fitri biasanya dirayakan sampai tengah malam. Jalan-jalan dan bangunan semarak dihiasi lampu-lampu. Gedung Empire State Building di New York juga turut merayakan Idul Fitri dengan menghias diri dengan lampu berwarna hijau.