1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTurki

Rival Politik Erdogan Divonis Penjara Jelang Pemilu

15 Desember 2022

Wali kota Istanbul, Ekrem Imamoglu, mendapat vonis dua tahun tujuh bulan penjara dan larangan berpolitik. Padahal, tokoh partai oposisi terbesar Turki itu diusung untuk menyaingi PM Recep Tayyip Erdogan dalam pemilu 2023

Ekrem Imamoglu
Wali kota Istanbul, Ekrem Imamoglu, saat berpidato usai pembacaan vonis pengadilan, Rabu (14/12)Foto: ONUR GUNAL/IBB/REUTERS

Putusan pengadilan terhadap Ekrem Imamoglu pada Rabu (14/12)  masih harus dikukuhkan di tingkat banding. Di hadapan ribuan pendukungnya di depan kantor Partai Rakyat Republik (CHP), dia mengatakan vonis terhadapnya "ilegal” dan "membuktikan betapa tidak adanya keadilan di Turki saat ini.”

Imamoglu mendorong masyarakat untuk merespons lewat pemilu kepresidenan dan legislatif pada  bulan Juni 2023.

Pada pilpres mendatang, PM Recep Tayyip Erdogan diyakini ingin memperpanjang masa jabatannya untuk periode ketiga. Namun runtuhnya nilai tukar Lira dan tingginya angka inflasi berpotensi menyurutkan dukungan elektroal kepada Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP).

Kelompok oposisi, yang menggabungkan diri di dalam aliansi enam partai, sejauh ini belum mampu  menyepakati calon presiden. Imamoglu termasuk bakal calon terkuat. Sebab itu, larangan berpolitik yang dijatuhkan terhadapnya menjadi pukulan telak bagi oposisi di Turki.

Putusan pengadilan Istanbul disambut pendukung oposisi berkumpul di depan kantor Partai CHP, Rabu (14/12)Foto: YASIN AKGUL/AFP

Menyusul pembacaan vonis pengadilan, Kemal Kilicdaroglu, Ketua Umum CHP, memutuskan mengakhiri kunjungannya di Jerman secara dini untuk segera pulang ke Turki. Kepada wartawan, dia mengatakan pidana terhadap Imamoglu merupakan "pelanggaran berat hukum dan keadilan.”

Jerat pasal "penghinaan”

Imamoglu didakwa karena pidatonya usai pemilu di Istanbul, Juni 2019 silam. Di sana, dia menuduh pejabat Komisi Pemilihan Umum sebagai "badut”, lantaran menganulir hasil penghitungan suara, di mana partainya menang tipis atas AKP.

Imamoglu mengaku ungkapan tersebut merupakan respons terhadap ujaran serupa oleh Menteri Dalam Negeri, Suleyman Soylu, kepadanya. 

Pembatalan hasil penghitungan suara di Istanbul disusul pencoblosan ulang. Hasilnya, CHP mengakhiri 25 tahun kekuasaan partai-partai Islam konservatif di Istanbul

Serupa di ibu kota, hasil pemilu tahun depan diprediksi akan banyak bergantung kepada kemampuan partai-partai oposisi dalam menyatukan suara. Tanpanya, Erdogan bisa dipastikan bakal melanjutkan kekuasaan yang dipegang sejak 2002. 

Putusan pengadilan Istanbul terhadap Imamoglu belum akan berlaku pada Pemilu 2023, lantaran  proses banding yang dipastikan bakal melampaui jadwal pilpres. 

Meski vonis tersebut terkesan berat sebelah, pemerintah bersikeras bahwa lembaga pengadilan bertindak independen, tanpa campur tangan istana negara.

"Putusan ini baru akan bersifat mengikat jika pengadilan yang lebih tinggi memutus apakah menerima atau menolak vonis tersebut, jadi sangat keliru untuk mengklaim berlakunya larangan berpolitik,” kata Timucin Koprulu, Guru Besar Hukum di Atilim University, Ankara, kepada Reuters.

Perkembangan di Istanbul ditanggapi kritis oleh Amerika Serikat. Dalam pernyataannya, Rabu (14/12), Kementerian Luar Negeri AS mengatakan pihaknya "merasa khawatir dan kecewa" terhadap putusan pengadilan.

Adapun pemerintah Jerman menilai vonis terhadap Imamoglu sebagai "kemunduran besar bagi Demokrasi," tulis Kemenlu di Twitter.

rzn/yf (rtr,afp)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait