Tentara Pembebasan Rohingya (ARSA) dituding membantai puluhan warga Hindu di negara bagian Rakhine. Temuan ini sekaligus mengungkap praktik pelanggaran HAM oleh kelompok separatis tersebut.
Iklan
Sekelompok orang bersenjata dari etnis Rohingya dikabarkan membantai belasan warga Hindu di Myanmar pada 2017. Laporan tersebut disampaikan organisasi HAM, Amnesty International, Rabu (23/5), setelah menganalisa data forensik, citra satelit dan keterangan saksi mata.
Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) bertanggungjawab atas pembunuhan terhadap 53 warga Hindu, termasuk perempuan dan anak-anak, di desa Ah Nauk Kha Maung di barat Rakhine, 25 Agustus 2017. Amensty mengklaim saksi mata juga membantai 46 warga Hindu di desa Ye Bauk Kyar dan enam warga Hindu di desa Myo Thu Gyi pada 26 Agustus 2017.
"Investigasi terakhir di lapangan mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM oleh ARSA," kata Tirana Hassan, Direktur Tanggapan Krisis di Amnesty. Pemerintah Myanmar adalah pihak pertama yang menuding ARSA membantai warga Hindu di Ah Nauk Kha Maung pada hari yang sama kelompok tersebut menyerang pos polisi di negara bagian Rakhine.
Pemberontak Rohingya Myanmar - Apa yang Perlu Diketahui?
Siapakah Arakan Rohingya Salvation Army, kelompok militan Rohingya yang menyerang pos polisi pada bulan Agustus 2017 dan memicu eksodus massal Muslim Rohingya?
Foto: Reuters
Siapakah anggota Arakan Rohingya Salvation Army?
Pemerintah Myanmar menyebut mereka teroris dan menuduh mereka berhubungan dengan kelompok teror di Timur Tengah. Mereka gunakan taktik perang gerilya untuk tingkatkan serangan terhadap pasukan keamanan. Gerilyawan itu diduga dipimpin oleh Ata Ullah kelahiran Pakistan (Abu Ammar). Mereka beroperasi di Rakhine di Myanmar barat, tempat tinggal mayoritas Muslim Rohingya.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Htusan
Bagaimana kelompok itu terbentuk?
Kelompok yang awalnya bernama Harakah al-Yaqin ( "Gerakan Iman"), dibentuk setelah kekerasan komunal di tahun 2012. Mereka menjadi terkenal pada Oktober 2016, ketika anggotanya menyerang pos-pos penjaga perbatasan, yang menewaskan sembilan polisi. Para ahli mengatakan bahwa kelompok tersebut menjadi radikal akibat dari penganiayaan bertahun-tahun terhadap orang-orang Rohingya di Rakhine.
Foto: Imago/ZumaPress
Apa yang membuat banyak anak muda bergabung pada kelompok ini?
Rohingya ditolak hak kewarganegaraannya dan dipandang oleh pemerintah setempat sebagai imigran gelap dari Bangladesh. Mayoritas Myanmar dituding lakukan diskriminasi dan kekerasan terhadap mereka. Ata Ullah mengatakan pada kantor berita Reuters bahwa kebencian atas perlakuan itu dorong ratusan pemuda Rohingya bergabung dengannya saat ia kembali ke Rakhine setelah beberapa tahun di Arab Saudi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/T. Zaw
Apakah mereka dilengkapi dengan senjata dan dana?
Militannya gunakan bom rakitan, pisau dan tongkat untuk lakukan serangan. Mereka juga dikenal menggunakan senjata primitif seperti pedang dan tombak. ICG mengatakan kelompok itu tampaknya terima dana dari ekspatriat Rohingya dan donatur di Arab Saudi dan Timur Tengah. ICG yakin mereka tak hadapi kesulitan keuangan di masa depan, setelah tetapkan legitimasi dan kemampuan untuk lakukan serangan.
Foto: Reuters/S. Zeya Tun
Siapakah Ata Ullah - yang diduga komandan kelompok ini?
Menurut laporan ICG, ia lahir di Karachi di Pakistan dan dibesarkan di Arab Saudi. Dia fasih berbahasa Arab dan Bengali dalam dialek Rakhine. ICG mengatakan kemungkinan besar dia pergi ke Pakistan untuk dilatih setelah menghilang dari Arab Saudi pada tahun 2012. Ata Ullah memimpin operasi di lapangan, bersama dengan segelintir orang Rohingya lainnya yang terlatih dalam taktik gerilya modern.
Foto: Reuters
5 foto1 | 5
Namun tudingan pemerintah dibayangi oleh operasi militer terhadap ARSA yang memicu kecaman dunia. Sepak terjang militer Myanmar sejak Agustus 2017 memaksa 700.000 warga Rohingya mengungsi. Sebagian besar mencari perlindungan di Bangladesh. Sementara sejumlah kecil warga Rohingnya saat ini ditampung di Indonesia dan Malaysia.
Sejak September silam Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah menyebut operasi militer di Rakhine sebagai "pembersihan etnis." Indonesia dan berbagai negara sempat menyuarakan penghentian tindak kekerasan dan mengirim bantuan kemanusiaan ke Rakhine. Namun hingga kini situasi keamanan di selatan Myanmar masih belum kondusif.
Menurut Amnesty, ARSA mengancam para penyintas agar tidak membeberkan peristiwa pembantaian. Para saksi mata yang kembali dari pengungsian pada Oktober 2017 "meyakini tanpa keraguan bahwa Rohingnya, atau ARSA, bertanggungjawab." ARSA sendiri sejauh ini menutup mulut atas tudingan Amnesty International.
Bocah Rohingya: Diperkosa, Diculik dan Ditelantarkan
Pelarian Rohingya adalah kisah penderitaan panjang anak-anak. Lebih dari 60% pengungsi etnis minoritas itu berusia di bawah umur. Sebagian besar mengalami trauma berkepanjangan setelah menyaksikan orangtuanya dibantai.
Foto: DW/J. Owens
Ditembak dan Ditusuk
Sejak Agustus silam lebih dari 600.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. "Pada hari ketika tentara datang, mereka membakar desa dan menembak ibu saya ketika dia berusaha melarikan diri. Ayah saya lumpuh, jadi mereka menusuknya. Saya melihatnya dengan mata sendiri," kata Muhammad Bilal, bocah berusia 10 tahun yang kini hidup di kamp pengungsi di Bangladesh.
Foto: DW/J. Owens
Dihantui Trauma
Saudara perempuan Muhammad, Nur, juga menjadi saksi kebiadaban tersebut. Sejak hidup di kamp pengungsi, keduanya bisa kembali bermain dan mendapat makanan secara berkala. Saat mengungsi dari Myanmar keduanya kerap kelaparan. Namun Nur mengaku masih dihantui trauma yang ia alami. "Saya kangen orangtua, rumah dan negara saya," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Konflik Panjang
Konflik yang telah berlangsung sejak 70 tahun ini bermula setelah Perang Dunia II. Sejak operasi militer Myanmar 2016 silam, lebih dari 2.000 orang meregang nyawa, termasuk ibu bocah berusia 12 tahun, Rahman. "Mereka membakar rumah kami dan ibu saya terlalu sakit untuk melarikan diri," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Pelarian Bocah Yatim
Dilu-Aara, 5, datang ke kamp bersama saudara perempuannya, Rojina, setelah menyaksikan kedua orangtuanya dibunuh tentara. "Saya menangis tanpa henti dan peluru berdesing di atas kepala kami. Entah bagaimana saya melarikan diri." Organisasi Save the Children membantu bocah yatim yang ditampung di kamp Kutupalong. Anak-anak mewakili 60% pengungsi Rohingya di Bangladesh.
Foto: DW/J. Owens
Diburu Seperti Binatang
Jaded Alam termasuk ratusan bocah yatim yang ditampung di Kutupalong. Beruntung bibinya mengurus Jaded dengan baik. Ia besar di desa Mandi Para dan gemar bermain bola. Kehidupannya berubah setelah serangan militer. "Mereka memaksa kami meninggalkan rumah. Ketika saya melarikan diri dengan kedua orangtua saya, tentara menembak mereka. Mereka meninggal di tempat," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Penculikan Anak
Rahman Ali mengitari kamp pengungsi buat mencari anaknya, Zifad, yang berusia 10 tahun dan menghilang tiba-tiba. Sejak beberapa tahun penghuni kamp mencurigai adanya kelompok penculik anak yang berkeliaran di Kutupalong. Rahman mengkhawatirkan puteranya jatuh ke tangan pedagang manusia. "Saya tidak makan, saya tidak bisa tidur. Saya sangat kecewa. Seakan-akan saya jadi gila."
Foto: DW/J. Owens
"Pikiran saya tidak normal"
Ketika tentara tiba, Sokina Khatun berbuat segalanya untuk melindungi bayinya. Tapi ia gagal menyelamatkan Yasmie, 15, dan Jamalita, 20, yang saat itu berada di desa tetangga. "Leher mereka dipotong di hadapan kakek-neneknya," ujar Sokina. "Saya tidak bisa lagi merasakan sakit. Saat ini pikiran saya tidak normal," ujarnya.
Foto: DW/J. Owens
Dibunuh dan Diperkosa
Yasmine berusia 15 tahun, meski terlihat lebih muda, Di desanya ia terbiasa bermain di antara perkebunan dan sawah. Kini kenangannya akan kampung halaman sama sekali berubah. Tentara Myanmar menyiksa dan membunuh ayah dan saudara laki-lakinya. Dia sendiri diperkosa oleh sekelompok serdadu. "Saya merasakan sakit di sekujur tubuh saya," ujarnya. (Foto: John Owens/rzn/yf)