Rolling Stones, Juga Bergulir di Jerman Timur
12 Juli 2012The Rolling Stones termasuk band yang paling lama hidup dan salah satu yang secara komersial paling sukses dalam sejarah musik Rock. Seperti band-band ternama lainnya, The Rolling Stones juga beberapa kali mengalami pergantian anggota. Tetapi pendirinya, Mick Jagger (vokal) dan Keith Richards (gitar) tidak pernah meninggalkan band tersebut. Saat ini, The Rolling Stones dilengkapi pemain gitar Ron Wood, yang bergabung sejak 1975 dan pemain drum Charlie Watts, sejak 1963.
Mendambakan Musik Barat
Ketenaran The Rolling Stones rupanya tidak dapat ditahan tembok batas negara. Musik mereka berhasil menjangkau penggemar musik muda. Di Jerman Timur (DDR) yang dulu dikuasai pemerintahan komunis kelompok ini juga tenar, seperti tampak dalam roman "Am kürzeren Ende der Sonnenallee“ karya Thomas Brussig. Roman yang diterbitkan tahun 1999 ini menceritakan hidup sehari-hari sekelompok remaja di Jerman Timur di akhir tahun 1970an. Musik dari Barat secara resmi dilarang, sehingga piringan hitamnya hanya dapat dibeli di pasar gelap dan harganya sangat mahal. Oleh sebab itu musik The Rolling Stones tambah digemari.
Musik "Beat" secara resmi dinyatakan subversif. Pemerintah DDR ketika itu khawatir akan dampak musik Rock 'n' Roll yang katanya menyebabkan kekacauan. Walter Ulbricht, kepala komite sentral DDR dari tahun 1950 hingga 1971, dan dengan demikian politisi paling berkuasa ketika itu menggambarkannya demikian, "Apakah memang begitu, bahwa kita harus meniru setiap kotoran yang datang dari Barat?"
Rolling Stones Hanya Lewat Radio Barat
Moderator radio Günther Schneidewind, lahir tahun 1953, kenal musik Rock 'n' Roll sejak kecil. Ia dulu menjadi moderator dalam radio remaja Jerman Timur "DT64", yang kadang diijinkan memutar musik Barat, walaupun dibatasi. Hingga 1982 The Rolling Stones resmi termasuk daftar musik yang boleh diputar. Di luar itu, musik kelompok itu hanya dapat diikuti dengan mendengar radio Jerman Barat secara diam-diam.
"Anggota Rolling Stones rambutnya panjang, memainkan musik dengan keras dan karena itu mendapat uang banyak. Jelas mereka jadi idola kaum muda," dijelaskan Schneidewind. Ketika itu, yang bisa menjadi idola remaja DDR hanya kelompok musik yang berdasar pada moral dan etika sosialis, dan fotonya di gantung di setiap ruang kelas. "Itu sangat bertentangan dengan The Rolling Stones. Jadi kelompok itu dianggap berbahaya, dan akan menyebabkan remaja memberontak."
Memang seperti itulah dampak yang disebabkan musik band asal Inggris itu di DDR. The Rolling Stones menggerakkan kaum muda, dan menjadi sesuatu yang baru di jaman setelah Perang Dunia II. Tahun 1968, tahun pergolakan mahasiswa di AS dan Eropa Barat, teks lagu kelompok itu semakin politis. Misalnya lagu berjudul "Street fighting man", di mana kelompok itu menolak kekerasan dan mengatakan, "Apa yang dapat dilakukan orang yang miskin, selain bernyanyi di sebuah band Rock n' Roll?" Itu juga dikecam penguasa DDR, tukas Schneidewind seraya menambahkan, "Di DDR pelaksanaan revolusi dunia dimaksudkan sebagai perjuangan dengan senjata! Oleh sebab itu The Rolling Stones atau The Beatles dimaki penyebar pasifisme." Akhirnya musik-musik mereka dianggap musuh ideologi.
Desas-Desus Yang Membara
1969 sebuah berita menyebar ibaratnya api di Barlin Timur. The Rolling Stones katanya akan manggung di atap gedung percetakan Springer di Berlin Barat, yang dapat terlihat dari tembok yang memisahkan Berlin Barat dan Timur. Konser itu dikabarkan akan diadakan tanggal 7 Oktober 1969, untuk memperingati 20 tahun ulang tahun DDR. Desas-desus itu bisa dipercaya, karena beberapa bulan sebelumnya, The Beatles mengadakan konser di atap sebuah gedung di London. Oleh sebab itu itu Tanggal 7 Oktober 1969, ratusan penggemar The Rolling Stones berdatangan ke tembok Berlin. Polisi DDR berusaha mengantisipasi gerakan massa. Sejak siang daerah sekitar tembok perbatasan telah ditutup. Satu-satunya yang aneh, The Rolling Stones sendiri tidak tahu-menahu tentang konser ini. Konser itu memang hanya desas-desus yang merupakan ide seorang editor pada radio Berlin Barat, RIAS. Itu hanya lelucon, yang menimbulkan dinamika tersendiri di bagian Timur Berlin.
Tetapi isyaratnya jelas. Di DDR ada banyak penggemar Rock n' Roll-Fans, dan mereka tidak bersedia bersembunyi. Tahun-tahun berikutnya, pemerintah DDR memperlunak peraturan menyangkut musik Barat. 13 Agustus 1990, segera setelah perubahan haluan di Jerman Timur, yang juga menjadi hari bersejarah pendirian Tembok Berlin, The Rolling Stones memainkan konser pertama dan satu-satunya di DDR.
"Itu tentu juga menjadi isyarat jelas. Sekarang perkembangan politik tidak dapat dihalangi lagi." Jika The Rolling Stones saja telah berhasil memasuki wilayah DDR, roda sejarah akan terus bergulir. Demikian Schneidewind menggambarkan situasi waktu itu.
Musik Rock Jadi Motor Pembaruan
Bagi banyak warga DDR, dambaan akan musik Barat juga mendorong keinginan untuk bebas. "Orang terpesona dan meneliti teks-teks lagu yang ditulis Jagger dari perspektif kesusastraan. Kemudian orang bertanya-tanya, apa yang ingin dikatakan Jagger. Orang mencari filsafat ideal di balik musik The Rolling Stones, yang tidak datang dari filsafat Engels dan Marx," dijelaskan Schneidewind. Apakah The Rolling Stones dan band-band Barat lainnya ikut dalam upaya meruntuhkan tembok pemisah? Günter Schneidewind yakin, kesenian dapat menyebabkan perubahan di masyarakat.
Wuschel, tokoh muda dalam roman karya Thoma Brussig, "Am kürzeren Ende der Sonnenallee“, berhasil memperoleh piringan hitam musik Barat. Tetapi ketika ia berusaha menyeberangi tembok Berlin, ia ditembaki tentara penjaga perbatasan. Wuschel tidak cedera. Piringan hitam yang ia sembunyikan di jaketnya rusak, karena menahan peluru, dan menyelamatkan nyawa penggemar The Roling Stones itu.
Friedel Taube / Marjory Linardy
Editor: Agus Setiawan