Romo Magnis: Pendidikan Budaya Dihabisi Formalisme Agama
6 Oktober 2017
Franz Magnis-Suseno, juga dikenal sebagai Romo Magnis, adalah salah satu pemikir garda depan Indonesia. Editor DW Hendra Pasuhuk berkesempatan mewawancarainya di Hamburg.
Iklan
Melemahnya wawasan kebudayaan dan menguatnya formalisme agama sulit melahirkan manusia-manusia berkualitas seperti era 1950-an. Itulah salah satu kesimpulan dari perbincangan antara DW dan Romo Magnis di sela-sela acara Pasar Hamburg awal September lalu. Perbincangannya seputar perkembangan demokrasi, kondisi partai-partai politik dan apa saja pencapaian Indonesia menjelang 20 tahun reformasi. Berikut wawancaranya:
DW: Indonesia sering dipuji di kancah internasional sebagai negara Islami yang menerapkan demokrasi. Tapi partai-partai politiknya belum punya agenda dan programatik yang untuk memperkokoh demokrasi. Yang sering terjadi hanyalah pertarungan berebut jabatan dan kekuasaan. Ada masalah apa dengan partai politik di Indonesia, yang sebenarnya menikmati kebebasan besar setelah Suharto mundur?
Magnis Suseno: Itu yang sekarang banyak dipertanyakan di Indonesia. Partai-partai politik saat ini sebetulnya tidak lebih dari sebuah perkumpulan kepentingan, seringnya hanya berpusat di sekitar satu orang. Jadi parpol tidak menunjukkan satu identitas ideologis seperti di Jerman. Di sini, misalnya partai SPD dan CDU, meskipun sekarang mereka berkoalisi, tetapi masing-masing ada sosok ideologisnya. Di Indonesia tidak seperti itu.
Mengabadikan Kekuatan Supranatural
Men, Mountains and Sea merupakan proyek foto hitam putih Rony Zakaria yang mengabadikan hubungan antara manusia dengan alam. Ia memotret panorama Indonesia dengan ritual berbagai kepercayaan dan penghormatan kepada alam.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur, 2009
Kawah Tengger, Gunung Bromo, Gunung Batok dan Semeru di malam hari, sebelum puncak perayaan Hindu Yadnya Kasada, dimana orang-orang Tengger memohon berkah dari Hyang Widi Wasa, dengan melemparkan sesajen berupa makanan dan hasil panen mereka ke kawah Gunung Bromo.
Foto: Rony Zakaria
Merapi, Jawa Tengah, 2008
Seorang pria berjalan di puncak gunung. Puncak Gunung Merapi, dengan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing sebagai latar belakangnya. Gunung Merapi merupakan salah satu dari lebih 100 gunung berapi aktif di Indonesia.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur, 2012
Para peziarah tengah beristirahat di pinggiran kawah Gunung Bromo. Masyarakat setempat sangat menghormati gunung di pulau Jawa yang dianggap sakral ini.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur 2009
Para pemuka adat Tengger mengumpulkan air suci di air terjun Madakaripura sebagai bagian dari ritual perayaan Yadnya Kasada. Selama festival berlangsung, para warga memohon berkat dari Hyang Widi Wasa dengan memberikan sesajen.
Foto: Rony Zakaria
Yogyakarta, 2009
Para wisatawan di pantai Parangtritis menikmati matahari terbenam. Di pantai ini diyakini sebagai wilayah kekuasaan Nyai Roro Kidul, penguasa pantai selatan. Para pengunjung biasanya tidak disarankan memakai pakaian berwarna hijau, karena ada kepercayaan bahwa mereka yanag berpakaian hijau akan diambil oleh Ratu Pantai Selatan.
Foto: Rony Zakaria
Yogyakarta, 2009
Warga Yogyakarta bersembahyang di Pantai Parangkusumo, dalam upacara Labuhan Alit. Mereka memohon jalan keluar dari masalah-masalah kehidupan yang dihadapi. Mulai dari masalah keuangan, karir, keluarga, percintaan dan lain-lain.
Foto: Rony Zakaria
Bali, 2008
Seorang pria di pantai Batubolong Bali sedang mencuci topeng tradisional di laut untuk upacara penyucian. Emas dan mutiara hiasan topeng ini dicuri beberapa waktu sebelumnya. Jadi warga lokal ingin membuang sisa-sisa kejahatan itu dengan melarungkannya di laut.
Foto: Rony Zakaria
Jepara, 2012
Parade perahu nelayan di pantai Jepara dalam ritual “Sedekah Laut“, merupakan tradisi rutin memberikan sesajen kepada penguasa laut. Ritual dipercaya dapat memberikan berkah bagi musim mencari ikan berikutnya.
Foto: Rony Zakaria
8 foto1 | 8
Barangkali, ini karena di Indonesia masih ada kecenderungan kuat mengikuti orang, sistem patron-client masih sangat kuat. Sebetulnya, satu partai bisa saja mendapatkan sosok (ideologis), kalau si pemimpin berhasil mewujudkannya. Tapi sampai sekarang kita tidak melihat itu.
Mungkin satu-satunya partai yang punya semacam sosok (ideologis) adalah malah Golkar. (Anggota) Golkar itu macam-macam, tapi sosok partainya lebih jelas. Tetapi partai yang lain-lain, bahkan misalnya PDIP, sebetulnya hanya menjadi partainya Megawati. Mereka belum berhasil mengaktualisasikan situasi dan kondisi masyarakat sebagai suatu sosok ideologis.
Walaupun sekarang banyak mantan aktivis pro demokrasi yang terjun dan menjadi tokoh-tokoh partai politik. Apa mereka lalu terseret arus dan menjadi tidak ideologis?
Saya tidak tahu pasti. Tapi saya sering bertemu dengan mereka, seperti Budiman Sudjatmiko, yang sekarang menjadi tokoh di PDIP. Menurut saya, memang penting dia ada di sana. Walaupun saya tidak tahu, sekarang dia sudah jadi tokoh mereka, tetapi seberapa besar pengaruh dia dalam politik partai. Di Gerindra juga ada mantan aktivis dan di partai-partai lain juga.
Memang ada juga kemungkinan mereka kemudian terseret dalam kebiasaan partai. Banyak yang terbawa arus, ketika mereka tidak muda lagi seperti dulu. Jadi tidak ada pembaruan. Itu memang tidak mudah.
Mentawai: Dalam Hening Memburu Kebebasan
Di lepas pantai barat Sumatera, warga mentawai berlindung dari hiruk pikuk kota besar. Suku kuno ini pandai meramu, berburu dan piawai dalam menato tubuh. Berpuluh tahun lamanya mereka tertekan beragam pemaksaan.
Foto: Getty Images/AFP/S. Wibowo
Hidup tenang di pedalaman
Generasi tua Mentawai hidup secara tradisional jauh di dalam hutan di pulau terpencil Siberut. Sesuai tradisi seluruh tubuh dihiasi tato. Selama beberapa dekade menolak kebijakan pemerintah Indonesia yang mendesak pribumi di pedalaman meninggalkan kebiasaan lama, menerima agama yang diakui pemerintah dan pindah ke desa-desa pemerintah.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/G. Charles
Terisolasi dari dunia luar
Suku asli Mentawai, memiliki budaya langka yang tidak dipengaruhi agama Hindu, Budha atau Islam selama dua milenium terakhir. Tradisi dan keyakinan mereka sangat mirip dengan pemukim Austronesia yang datang ke kawasan ini sekitar 4.000 tahun silam. Sejak bermukim di Pulau Siberut dua ribu tahun lalu, warga Mentawai hidup terisolir dari dunia luar.
Foto: picture-alliance/dpa/Zulkifli
Menghadapi paksaan
Ketika Indonesia merdeka 1945, para pemimpin negara berusaha mengubah mereka menjadi bangsa dengan bahasa dan budaya yang sama. Semua warga Indonesia harus menerima salah satu agama di Indonesia yang diakui secara resmi: Islam, Kristen, Katolik, Hindu atau Budha. Tapi Mentawai, seperti banyak suku-suku asli animisme Indonesia lainnya, tidak mau mengadopsi agama yang diakui oleh negara.
Foto: picture-alliance/dpa/Zulkifli
Diultimatum pemerintah
Tahun 1954, polisi Indonesia dan pejabat negara lainnya tiba di Siberut untuk memberikan ultimatum: Orang Mentawai memiliki waktu 3 bulan untuk memilih Kristen atau Islam sebagai agama mereka dan berhenti mempraktikkan ritus tradisional mereka, yang dianggap kafir. Kebanyakan warga Mentawai memilih Kristen. Mereka pun sempat dilarang bertato dan meruncingkan gigi yang merupakan bagian dari adat
Foto: Getty Images/AFP/S. Wibowo
Ritual asli dihabisi
Selama beberapa dekade berikutnya, polisi Indonesia bekerja sama dengan pejabat negara dan tokoh agama rutin mengunjungi desa-desa Mentawai untuk membakar hiasan tradisional dan simbol yang biasa dipakai untuk ritual keagamaan. Kaumtua melarikan diri lebih dalam ke hutan untuk menghindari tekanan aparat negara.
Foto: picture-alliance/maxppp/D. Pissondes
Rentan ideologi komunisme?
Reimar Schefold, antropolog Belanda yang tinggal di Mentawai pada akhir 1960-an, menceritakan Kepada New York Times, bagimana warisan kuno dihancurkan: "Ketika mereka gelar ritual, polisi datang, membakar peralatan tradisional mereka –yang dianggap berhala,” Pemerintahan di era Soeharto juga khawatir bahwa mereka yang tidak memeluk agama yang ditetapkan negara- rentan terhadap pengaruh komunis.
Foto: Imago/ZUMA Press
Hidupkan kembali tradisi
Sekarang hanya sekitar 2.000 warga Mentawai yang masih laksanakan ritual tradisional mereka. Demikian antropolog Juniator Tulius, Upaya hidupkan kembali tradisi Mentawa dimulai, namun masih terseok. Saat Indonesia menuju demokrasi pada tahun 1998, budaya Mentawai ditambahkan ke kurikulum sekolah dasar lokal. Warga Mentawai juga bisa beribadah dan berpakaian sebagaimana yang mereka inginkan.
Foto: picture-alliance/Godong
Melestarikan adat istiadat
Ini Aman Lau lau, ia disebut Sikerei atau dukun. Dapat dikatakan, ia adalah perantara yang bertugas menjaga kelancaran arus komunikasi antara manusia dengan alam atau roh. Dia punya perean sosial sebagai penyembuh atau menari, menghibur dan menyemarakkan pesta-pesta rakyat Mentawai. Editor: ap/as(nytimes/berbagai sumber)
Foto: imago/ZUMA Press
8 foto1 | 8
Sedangkan di Indonesia sekarang banyak universitas yang punya jurusan ilmu politik. Sampai di mana peran dunia ilmiah dalam memberi kontribusi bagi pengembangan demokrasi dan sistem bernegara?
Itu tentu juga masih sangat lemah, ya. Kita kadang-kadang membaca tulisan di koran, terutama harian Kompas, lalu Suara Pembaruan dan Republika, tetapi memang harus diakui bahwa antara dunia ilmiah dan dunia politik itu adalah dua dunia yang lain, jadi ada celahnya. Di Jerman juga begitu.
Pameran Indonesia di Liege (Lüttich), Belgia
"Kerajaan-Kerajaan Laut" (Kingdoms of the Sea") judul pameran hasil kolaborasi antara 4 negara ini: Indonesia, Belanda, Belgia dan Perancis. Menggambarkan sejarah wilayah Nusantara dan hubungannya dengan dunia luar.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Sejarah dari jaman purbakala
Pameran ini ingin menggambarkan sejarah panjang wilayah Nusantara sebagai kawasan yang kaya dengan rempah, emas, kayu-kayu berharga. Wilayah yang sejak dulu jadi persilangan berbagai bangsa dan budaya.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Persinggahan berbagai bangsa dan budaya
Sejarah nusantara adalah kisah hubungan dagang dan manusia yang bersaing dengan dunia maritim lainnya. Lautan ternyata lebih mempertemukan daripada memisahkan. Angin monsum membuat wilayah nusantara menjadi wilayah persinggahan banyak orang.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Kapal Padewakang dari Sulawesi Selatan
Khusus untuk pameran ini, pembuat kapal asal Makassar didatangkan untuk membangun kapal tradisional sesuai dengan metode leluhur mereka. Kapal ini dibuat di Sulawesi Selatan, lalu dibongkar lagi untuk pengiriman dan kemudian dibangun kembali di lokasi pameran.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Nekara dari Nusa Tenggara
Nekara digunakan dalam kegiatan upacara untuk genderang waktu perang, waktu upacara pemakamam, upacara minta hujan dan sebagai benda pusaka (benda keramat). Nekara perunggu banyak ditemukan di daerah Nusantara. Di pulau Bima dan Sumbawa, nekara memakai pola hiasan berupa orang-orang yang sedang menari dan hiasan perahu.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Pancuran Samudramanthana dari Blitar, Jawa Timur
Pancuran berbentuk relief cerita Samudramanthana, yaitu pencarian air keabadian (amerta) di laut Ksira. Terlihat kura-kura Akupa, Gunung Mandara, naga Basuki, para dewa dan asura. Pancuran koleksi Museum Nasional ini berasal dari Sirah Kencong, Wlingi, Blitar. Dibuat antara abad 13 – 14 Masehi.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Penggambaran tiga dewa
Patung Trimurti. Patung tiga dewa utama dalam hinduisme: Dari kiri ke kanan: Brahma, Vishnu dan Shiva. Patung-patung ini berasal dari abad ke 14 dan 15.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Patung dari era Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya) berpusat di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara. Kekuasaannya pada masa-masa jaya membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa Barat dan kemungkinan Jawa Tengah.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Mahkota dari Lombok
Mahkota dari Lombok ini dibuat dari bahan katun, beludru dan emas.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Kuda Nogowarno
Patung perempuan penunggang kuda ini berasal dari Cirebon. Menggambarkan Nyi Rara Kidul, sang Ratu Laut Selatan, yang punya peran penting dalam mitologi masyarakat Jawa. Kuda bersayap menggambarkan Bouraq, yang dikenal dalam tradisi Islam sebagai kuda yang ditunggangi Nabi Muhammad.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Berbagai corak batik
Batik adalah salah satu komoditi penting dalam sejarah perdagangan Indonesia. Tapi corak-corak batik juga memiliki nilai budaya yang tinggi dan aturan seremonial yang ketat pada masyarakat tradisional.
Foto: DW/H. Pasuhuk
10 foto1 | 10
Tahun 2018 kita akan memperingati 20 tahun reformasi. Kalau Anda membuat kilasan, kira-kira apa yang sudah dicapai Indonesia selama 20 tahun reformasi ini?
Kalau menurut saya, yang jelas-jelas berhasil dicapai ada dua hal.
Yang pertama, amandemen-amandemen terhadap UUD 45. Amandemen itu menghasilkan perubahan. Yaitu memasukkan unsur-unsur demokrasi ke dalam UUD. Salah satu yang penting misalnya pembatasan masa jabatan presiden. Tetapi yang mungkin lebih penting lagi´adalah, bahwa Hak Asasi Manusia dimasukkan ke dalam UUD. Amandemen-amandemen itu juga menegaskan lagi peran kunci Islam mainstream di Indonesia. Islam mainstream itulah yang menjamin bahwa dalam situasi yang begitu gawat pun, sesudah jatuhnya Suharto, tidak terbentuk negara Islam. Jadi, tokoh-tokoh Islami lah, seperti Habibie, Gus Dur, Amien Rais dan cukup banyak tokoh lain, yang berperan besar. Dan mereka mendukung suatu demokrasi Pancasila.
Hasil yang kedua, kalau kita melihat jalannya reformasi, adalah bahwa dengan segala macam kekalutan politik, kelemahan dan keragu-raguan, Indonesia pada dasarnya berhasil menjadi negara yang stabil, yang damai. Jumlah orang miskin memang masih terlalu tinggi, dan dulu juga masih ada krisis ekonomi. Namun bagaimanapun juga, perkembangan Indonesia itu masih mantap. Kita masih bisa berkembang dalam damai dari Sabang sampai Merauke. Dan semua itu dengan administrasi yang berjalan agak lambat dan sedikit buruk. Tapi yang penting, pada dasarnya Indonesia berhasil membangun sebuah sistem negara modern yang berfungsi. Itu harus diakui.
Inilah Provinsi Sarang Kemiskinan di Indonesia
Hampir separuh penduduk miskin Indonesia hidup di pulau Jawa. Data jumlah penduduk miskin yang dirilis Badan Pusat Statistik tidak cuma mengungkap ketimpangan demografi, tapi juga masalah pengagguran yang berakar.
Foto: DW/R. Nugraha
1. Jawa Timur
Dengan sekitar 4.775.000 kaum berpenghasian rendah, provinsi Jawa Timur berada di urutan teratas daerah yang memiiki penduduk miskin terbanyak di Indonesia. Lebih dari 3,2 juta di antaranya berada di perdesaan. Sementara 1,5 juta tersebar di kota-kota besar. Batas penghasilan bulanan untuk sebuah keluarga miskin di Jawa Timur berkisar di angka 318.000 Rupiah.
Foto: Getty Images/AFP/J. Kriswanto
2. Jawa Tengah
Meski lebih dari 20 ribu penduduk terangkat dari garis kemiskinan sejak awal tahun, Jawa Tengah tetap memiliki jumlah penduduk miskin terbesar kedua di Indonesia, yakni 4.505.780 juta. Batas pendapatan untuk kategori miskin di provinsi ini berkisar 310 ribu Rupiah per bulan.
Foto: picture-alliance/Nur Photo/P. Utana
3. Jawa Barat
Tidak berbeda jauh dengan Jawa Tengah, Jawa Barat mencatat 4,48 juta penduduk miskin tahun 2016. Namun tidak seperti provinsi lain di pulau Jawa, kebanyakan kaum miskin Jawa Barat hidup di perkotaan, jumlahnya mencapai 2,7 juta penduduk. Untuk dikategorikan miskin, seseorang harus berpenghasilan maksimal 319 ribu per bulan.
Foto: Imago/Xinhua
4. Sumatera Utara
Data jumlah penduduk miskin yang dilansir Badan Pusat Statistik mengungkap ketimpangan demografi antara pulau Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia. Sumatera Utara yang berada di peringkat empat dalam daftar provinsi berpenduduk miskin terbanyak, mencatat 1,5 juta penduduk yang berpenghasilan maksimal 352 ribu per bulan.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
5. Sumatera Selatan
Sebagian besar kaum miskin di Sumatera Selatan hidup di wilayah perdesaan. BPS mencatat, terdapat sekitar 1,12 juta penduduk yang cuma berpenghasilan 380 ribu Rupiah per bulan.
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
6. Lampung
Sekitar 80% penduduk miskin Lampung yang berjumlah 1,1 juta hidup di wilayah perdesaan. Mereka dikategorikan miskin karena cuma berpenghasian maksimal 380 ribu per bulan. Bandingkan dengan Upah Minimum Regional sebesar 1,7 juta yang ditetapkan pemerintah provinsi.
Foto: Robertus Pudyanto/Getty Images
7. Nusa Tenggara Timur
Sebanyak 1,16 juta penduduk di Nusa Tenggara Timur saat ini digolongkan sebagai kaum miskin. Mereka yang hampir seluruhnya berada di perdesaan cuma berpenghasilan 290 ribu Rupiah per bulan. Masalah terbesar NTT adalah angka pengangguran yang tinggi, sebagaimana lazimnya provinsi di timur Indonesia. UMR untuk NTT dipatok di kisaran 1,6 juta Rupiah/bulan.
Foto: Imago/Zuma Press
8. Papua
Papua adalah provinsi terluas di Indonesia dengan jumlah penduduk tidak lebih banyak ketimbang Surabaya. Namun dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 898 ribu orang, hampir sepertiga penduduk Papua hidup dengan pendapatan di bawah 390 ribu Rupiah per bulan. Padahal pemerintah provinsi telah menetapkan UMR sebesar 2,4 juta Rupiah
Foto: Getty Images/U. Ifansasti
9. Sulawesi Selatan
Sebanyak lebih dari 864 ribu penduduk Sulawesi Selatan hidup di bawah garis kemiskinan, dengan upah bulanan yang tidak mencapai 254 ribu Rupiah. Ironisnya wilayah di timur itu tercatat sebagai salah satu provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia.
Foto: DW/H. Pasuhuk
10. Aceh
Aceh sering dianggap provinsi berprestasi rendah, kendati bermandikan Rupiah berupa dana otonomi khusus dan pendapatan asli daerah yang nyaris mencapai 2 trilun Rupiah, provinsi paling barat Indonesia ini masih mencatat 859 ribu penduduk miskin. Selain itu Aceh juga tercantum sebagai provinsi ketujuh paling miskin di Indonesia versi Badan Pusat Statistik.
Foto: picture-alliance/dpa/H. Simanjuntak
10 foto1 | 10
Sekarang tentang aspek politik pendidikan dan kebudayaan secara umum. Kalau kita lihat debat-debat politik tahun 1950an, kelihatannya ketika itu ada kematangan politik pada para politisi, sehingga mereka bisa berdebat dengan ulet, tanpa kehilangan rasa saling menghormati. Mengapa sekarang terasa ada kemunduran yang begitu jauh, kalau dibandingkan dengan debat-debat politik saat ini?
Karena pada waktu itu, memang orang-orangnya sangat bermutu. Misalnya, orang-orang yang dulu mendukung terbentuknya Negara Islam dulu itu bukan orang-orang yang fanatik. Mereka bisa berbicara dengan semua pihak, seperti Mohammad Natsir. Sekarang, hal itu hampir tidak terjadi.
Toraja: Yang Mati dan Tidak Pernah Pergi
Buat suku Toraja kematian bukan penghabisan. Mereka yang telah tutup usia tidak benar-benar meninggalkan keluarga dan ikut menemani kehidupan sehari-hari mereka. Simak ritual kematian unik lewat galeri foto berikut:
Foto: Reuters/S. Whiteside
Bertukar Pakaian di Alam Baka
Kematian menemani kehidupan. Begitulah anggapan suku Toraja yang kaya dengan ritual kematian. Di sana jenzah keluarga yang telah dimakamkan, diangkat kembali untuk ditukar pakaiannya. Tradisi bernama Ma'nene itu digelar untuk menghormati leluhur yang telah tutup usia.
Foto: Reuters/S. Whiteside
Berduka Dengan Waktu
Suku Toraja tidak mengusir kematian, melainkan menganggapnya bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Kelompok adat yang hidup di jantung Sulawesi itu meyakini kematian tidak memutus ikatan keintiman. Maka tidak heran jika sebuah keluarga menyimpan jenazah selama berpekan-pekan di rumah sendiri dan diperlakukan layaknya seseorang yang masih hidup.
Foto: Reuters/S. Whiteside
Rambu Solo yang Mahal
Adalah upacara pemakaman Rambu Solo' yang membuat Toraja dikenal dunia. Ritual yang penting dan berbiaya mahal tersebut bisa berlangsung selama berhari-hari. Karena ongkosnya yang tidak murah, Rambu Solo kadang baru bisa digelar setelah berminggu-minggu atau bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan.
Foto: Reuters/S. Whiteside
Menunggu Penutupan
Selama itu pula keluarga harus bisa mengumpulkan biaya pemakaman agar bisa menguburkan anggota keluarga yang meninggal dunia. Jika belum dikebumikan, jenazah biasanya dibalut kain dan di simpan di bawah rumah adat alias Tongkonan. Arwah yang meninggal dunia diyakini belum pergi selama upacara pemakaman belum dirampungkan.
Foto: Reuters/S. Whiteside
Kemewahan di Balik Kematian
Kemegahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh jumlah kerbau yang dikorbankan. Setiap elemen upacara pemakaman dibuat secara hirarkis untuk menegaskan status sosial keluarga yang ditinggalkan. Tidak jarang Rambu Solo berlangsung selama berhari-hari sebelum jenazah dibawa ke tempat peristirahatan terakhir.
Foto: Reuters/S. Whiteside
Buat Kaum Kaya
Tapi uang pula yang membebani tradisi kuno ini. Seringkali keluarga harus berutang agar bisa membiayai Rambu Solo'. Tidak heran jika sejak awal upacara mewah ini hanya boleh dilakukan oleh kaum bangsawan yang menduduki kasta tertinggi dalam struktur sosial suku Toraja.
Foto: Reuters/S. Whiteside
Sejarah Panjang Tradisi Toraja
Tidak ada yang tahu pasti kapan ritual kematian di Toraja mulai dipraktikkan. Namun penanggalan radiokarbon terhadap sebuah potongan peti mati yang dilakukan arkeolog Indonesia dan Malaysia mengindikasikan praktik pemakaman unik ini telah berlangsung sejak 800 SM. Suku Toraja mulai dikenal dunia setelah disambangi oleh penjelajah Belanda pada abad 19.
Foto: Reuters/S. Whiteside
7 foto1 | 7
Mengapa terjadi kemunduran besar seperti itu? Apakah karena pendidikan dan pemahaman budaya mengalami kemunduran?
Kalau ditanyakan mengenai pendidikan budaya, saat ini pendidikan budaya itu sangat lemah. Dimakan habis oleh isu agama, yaitu agama yang formalistik. Jadi wacana budaya terdesak oleh pengaruh pemikiran sempit agama yang sangat formalistik. Dan di sana tidak ada unsur budaya lagi. Pemikiran formalistik juga tidak mengajarkan agama dengan baik. Hanya formalisme saja. Jadi pendidikan budaya memang masih sangat lemah.
Misalnya, mengapa tidak secara intensif dilakukan kegiatan baca sastra Indonesia? Indonesia kaya sekali dengan karya sastra, banyak sekali sastrawan muda. Tulisan-tulisan mereka, seperti Okky Madasari, diterjemahkan misalnya ke dalam bahasa Inggris dan Jerman. Tetapi di Indonesia, mereka justru tidak dibaca, tidak diajarkan. Padahal, dengan membaca buku, budaya, hati dan wawasan bisa diperluas.
Sebenarnya, kalau ada orang bertanya Indonesia itu apa, baca saja sastranya. Di situ ada semua aspek kehidupan. Jadi, apa yang disebut kepekaan budaya, itu yang tidak ada dalam pendidikan budaya di indonesia.
Romo Magnis, terimakasih atas wawancara Ini.
#PustakaBergerak Tebar Buku Hingga ke Pelosok Terpencil
Di tengah maraknya pemberangusan buku, Pustaka Bergerak tak kenal lelah bangkitkan minat baca dengan perahu, motor, becak bendi,dll. hingga ke pedalaman. Di Mandar, Nusa Pustaka dibangun sekaligus jadi museum maritim.
Foto: Maman Suherman
Perpustakaan di Mandar
Nusa Pustaka adalah perpustakaan milik Muhammad Ridwan Alimuddin di Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi barat yang diresmikan Maret 2016.
Foto: Maman Suherman
Armada pustaka
Mengandalkan Armada Pustaka untuk membuka ruang baca ke masyarakat Sulawesi Barat, Muhammad Ridwan Alimuddin mendirikan ativitas literasi lewat Nusa Pustaka di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Ridwan, pejuang literasi
Muhammad Ridwan Alimuddin dulunya merupakan mantan wartawan. Ia punya kepedulian luar biasa terhadap buku dan usaha membangkitkan minat baca hingga ke pelosok.
Foto: M. Ridwan
Dengan perahu
Dengan perahu atau sampan, Ridwan berkelana membawa buku ke pulau-pulau kecil, agar bisa sampai kepada anak-anak di pelosok terpencil yang haus buku bacaan .
Foto: M. Ridwan
Museum maritim
Perpustakaan ini sekaligus merupakan museum maritim Mandar. Saat ini Perpustakaan Museum Nusa Pustaka mengoleksi lebih dari 6000 buku dan beberapa artefak kebaharian. Misalnya tiga unit sandeq, replika perahu, beberapa alat bantu kerja nelayan dan artefak bangkai perahu Mandar.
Foto: Maman Suherman
#TebarVirusLiterasi
Tujuan utama dibangunnya Nusa Pustaka adalah agar buku-buku dapat dimanfaatkan secara maksimal, mudah diakses masyarakat yang ingin membaca dan meminjam buku setiap saat.
Foto: Maman Suherman
Bisa membaca dimana saja
Nusa Pustaka itu menampung sedikitnya 6.000 buku bacaan, baik buku sastra, komik, budaya, maritim, maupun buku ilmu pengetahuan umum. Anak-anak bisa membaca di mana saja dengan santai, bahkan di luar perpustakaan.
Foto: Maman Suherman
Dukungan sahabat
Motivator dan penulis Maman Suherman setia menemani perjuangan Ridwan. Ketika Maman ikut berlayar bersama perahu pustaka, perahu terbalik di lautan pada 13 Maret 2016, tepat pada hari peresmian Nusa Pustaka. Hampir semua warga di pantai bergegas berupaya menyelamatkan mereka dan buku-buku yang karam ke laut.
Foto: DW/M. Ridwan
Minat besar
Masyarakat setempat khususnya anak-anak amat antusias menyambut Nusa Pustaka. Bahkan ketika masih persiapan pembangunannya pun beberapa pelajar setiap hari sudah mampir ke Nusa Pustaka untuk bisa membaca buku.
Foto: Maman Suherman
Dukungan dari manca negara
David Van Reybrouck, sejarawan dari Belgia memberikan dukungan bagi inisiatif ini. Penulis karya sastra non-fiksi, novel, puisi dan drama ini berkunjung ke Nusa Pustaka dan berdiskusi dengan masyarakat setempat.
Foto: Maman Suherman
Andalkan berbagai armada demi ilmu pengetahuan
Armada Pustaka selain memiliki Perahu Pustaka, juga menyebar buku lewat Motor Pustaka, Sepeda Pustaka, Bendi Pustaka dan Becak Pustaka, yang menjadi tonggak gerakan literasi bersama.
Foto: Maman Suherman
Bendi pustaka
Delman atau bendi lazimnya juga disulap oleh para pegiat literasi ini menjadi perpustakaan keliling di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Sang sais Bendi Pustaka
Rahmat Muchtar, keua dari kiri, adalah sais Bendi Pustaka. Ia berfoto bersama Maman dan Ridwan.