1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ruang Bagi TNI Dalam Menindak Terorisme

17 Juli 2017

Dalam mengatasi terorisme, masih ada sedikit waktu untuk rumuskan peran TNI secara lebih elegan, tanpa ada satu pihak pun, baik TNI atau Polri, yang merasa dinomorduakan. Simak opini Aris Santoso.

Indonesien Anti-Terror-Einheit
Foto: picture-alliance/dpa

Salah satu isu krusial dalam revisi UU Antiterorisme, adalah bagaimana mengatur posisi TNI dalam perang melawan teror. Bersamaan dengan hangatnya tentang RUU Antiterorisme, serangkaian aksi teror terus terjadi, termasuk konflik berlarut di Marawi (Filipina Selatan), yang secara geografis relatif dekat dengan wilayah perbatasan Tanah Air.

Mungkinkah ini semacam sinyal? Walau bagaimanapun selalu ada ruang bagi TNI dalam menanggulangi segala bentuk aksi teror, khususnya bila eskalasi sangat tinggi, dengan perkiraan dapat menggoyahkan kedaulatan negara. Bagi para anggota parlemen di Senayan, masih ada sedikit waktu untuk merumuskan peran TNI secara lebih elegan, tanpa ada satu pihak pun, baik TNI atau Polri, yang merasa dinomorduakan.

Sekadar catatan tambahan, sebagaimana halnya dengan Densus (Detasemen Khusus) 88 Polri yang memiliki rekam jejak dan pemetaan jaringan teroris. Lembaga intelijen TNI (seperti Bais) juga melakukan hal yang sama, jadi sebenarnya yang dibutuhkan adalah sinergi antarlembaga. Bahkan aparat intelijen TNI sudah melakukan aktivitas hingga ke Turki, untuk memonitor (termasuk memotong) jaringan ISIS.

Penulis; Aris Santoso Foto: privat

Regulasi dan Konteks Waktu

Setiap regulasi yang lahir, tidak dapat dipisahkan dari konteks waktu, termasuk Undang-Undang Antiterorisme (versi 2003) yang kini sedang  dibicarakan, tidak dapat dipisahkan dari peristiwa Bom Bali I (Oktober 2002). Dalam undang-undang (versi 2003) tersebut, konsep seperti deradikalisasi belum diatur secara detail, begitu juga dengan pembagian peran antara TNI dan Polri. Artinya setiap regulasi bisa direvisi, sesuai dengan aktualitas yang bisa saja berganti  dari waktu ke waktu.

UU TNI yang terbit tahun 2004, memang sudah mengatur soal peran TNI dalam mengatasi terorisme, yang biasa disebut sebagai OMSP (operasi militer selain perang). Meski diktumnya tegas, namun regulasi itu masih terasa sumir,  karena tidak menjawab soal yang lebih luas, yaitu soal pembagian peran antara TNI dan Polri.

Konflik laten

Demikian rumitnya pengaturan koordinasi itu, sampai Presiden Jokowi  meluangkan waktu untuk turun tangan, yang menghimbau ada peran bagi satuan antiteror TNI. Perhatian khusus Presiden Jokowi dalam kasus ini, tentu dilatari pertimbangan yang lebih strategis, agar regulasi ini tidak memicu konflik baru antara militer dan polisi, mengingat kenyataan empirik di lapangan, konflik antara anggota dua institusi tersebut bersifat laten.

Bila kalangan CSO (civil society organization), utamanya dari komunitas intelektual dan pembela HAM,  cenderung lebih memprioritaskan peran polisi, kemungkinan disebabkan masih adanya trauma tersendiri terhadap militer, yang di masa lalu sempat mencederai demokrasi. Rasa cemas dari CSO belum bisa dipulihkan, meskipun dengan diberlakukannya UU TNI (2004), Panglima TNI (saat itu) Jenderal Endriartono Sutarto (Akmil 1971) menyatakan, TNI tunduk sepenuhnya pada otoritas sipil, sebagai prasyarat negara demokratis.

Figur Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang dikenal aspiratif juga ikut menentukan. Dengan kapasitas intelektualnya yang mumpuni, Tito memberi akses seluas-luasnya bagi CSO dalam memberi masukan. Sementara pada bagian ini, pihak TNI sedikit abai, jadi masalahnya hanya soal komunikasi.

Narasi Jenderal Tarub

Saat menjadi Komandan Kopassus periode 1992-1993, Brigjen Tarub (Akmil 1965) pernah berucap: "Sekarang adalah kondisi ketidakpastian, yang membuat kita harus lebih siap lagi.”

Konteks pernyataan Tarub tersebut terkait keberadaan satuan antiteror Kopassus, yang diasumsikan selalu aktual. Dari pernyataan Tarub di atas, bisa ditafsirkan, bahwa (setidaknya) sejak awal 1990-an, hingga hari ini negeri kita selalu didera ketidakpastian. Terus terang saya sulit untuk mengingat kembali, peristiwa (buruk) politik apa yang terjadi pada tahun 1992-1993  yang menjadi dasar Tarub mengeluarkan pernyataan adanya "ketidakpastian” tersebut. Sebab apa yang terlihat di permukaan, semuanya tampak landai. Sebagai gambaran, peristiwa politik besar sekelas "27 Juli 1996” belum lagi terlihat tanda-tandanya.

Tarub sendiri kebetulan pernah mengalami apa yang dianggap "ketidakpastian” di tingkat mikro, saat menjabat Komandan Brigade Infanteri 3 Kostrad (Makassar), tahun 1986. Tarub mampu meredam rasa frustrasi seluruh anggota brigade tersebut, yang baru saja mengalami peristiswa  cukup pahit, yaitu "terpaksa” berganti baret, dari Baret Merah (Kopassus)  ke Baret Hijau (Kostrad), yang bagi prajurit infanteri artinya "turun kelas”. Bisa dibayangkan bagaimana efek (negatifnya), bila rasa kecewa sekian ratus prajurit dengan naluri tempur, tidak dikelola dengan baik.

Kembali pada statement Tarub, sebagai komandan pasukan elite tentu Tarub mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di lingkaran pusat kekuasaan. Pada saat itu dukungan terhadap Soeharto tidak sesolid sebelumnya, salah satu fenomena yang paling menonjol adalah konfliknya dengan Jenderal Benny Moerdani. Artinya, sumber ketidakpastian justru terjadi di tatanan elite.

Situasi kompleks sekarang ini

Bandingkan dengan situasi sekarang, yang jauh lebih kompleks, dan pada gilirannya sumber ketidakpastian menjadi tersebar pada banyak titik. Seperti tekanan terhadap pemerintahan Presiden Jokowi hampir berlangsung tiap hari. Begitu tinggi frekuensinya, hingga pada sebagian besar peristiwa, sudah tidak mampu lagi dicerna publik

Pada isu primordial misalnya, yang di masa lalu tidak pernah menjadi masalah, kini bisa dipelintir untuk mendorong konflik horizontal berkepanjangan di masyarakat. Bahkan termasuk perkara yang sangat privat, seperti orientasi seksual seseorang, bisa dikemas untuk menciptakan kegaduhan yang sebenarnya tidak perlu. Semua kasus ini bila terakumulasi akan menjadi ancaman teror yang luar biasa.

Pada titik ini, narasi Tarub pada awal 1990-an menemukan momentumnya, bahwa satuan antiteror TNI, baik dari Kopassus maupun  matra lain, yang sudah sangat berpengalaman dan terlatih, diberi kesempatan memberikan kontribusi terbaiknya bagi terciptanya rasa aman di masyarakat, serta kedaulatan negara.

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis