ruangrupa Terpilih Sebagai Kurator documenta 15 di Jerman
26 Februari 2019
ruangrupa terpilih menjadi kurator dari Asia pertama yang didaulat untuk memimpin pagelaran seni bergengsi Jerman, documenta tahun 2022. Apa itu documenta dan apa yang akan ruangrupa hadirkan?
Iklan
Komunitas seni asal Jakarta, ruangrupa, terpilih untuk menjadi kurator di pagelaran seni rupa bergengsi, documenta. Pagelaran seni lima tahunan ini akan diselenggarakan pada 18 Juni hingga 25 September 2022 di kota Kassel, negara bagian Hessen, Jerman.
ruangrupa dipilih oleh sekelompok pakar seni yang tergabung dalam Finding Committee. Mereka bertugas untuk menyeleksi para kurator seni dari seluruh dunia yang menawarkan konsep untuk pagelaran documenta. ruangrupa mampu meyakinkan delapan pakar seni dalam komite tersebut dengan konsep mereka hingga akhirnya terpilih untuk memimpin pagelaran documenta ke 15 pada tahun 2022.
Mewakili delapan anggota Finding Committee, Elvira Dyangani Ose (direktur The Showroom, London) dan Philippe Pirotte (direktur Portikus, Frankfurt) menyatakan bahwa mereka memilih ruangrupa karena "mereka telah menunjukkan kemampuan untuk menarik berbagai komunitas, termasuk kelompok yang melampaui khalayak seni murni, dan untuk mempromosikan komitmen dan partisipasi lokal. Pendekatan kuratorial mereka didasarkan pada jaringan internasional organisasi seni berbasis komunitas lokal. Kami ingin melihat bagaimana ruangrupa akan mengembangkan proyek konkret untuk dan dari Kassel. Di saat di mana kekuatan inovatif berasal terutama dari organisasi independen yang aktif di tingkat masyarakat, tampaknya logis untuk menawarkan documenta sebagai platform.”
Seniman Indonesia Rambah Sub Sahara
Sementara seniman lain mengincar pameran di Eropa atau Amerika, perempuan Tapanuli Utara ini merambah Sub Sahara Afrika, lewat karya seni rupa dan lukisnya.
Foto: G. Siregar
Menjelajahi Afrika Lewat Seni
Beberapa tahun belakangan, Grace Siregar bermukim di Senegal, setelah sebelumnya tinggal di Inggris dan Kamerun. Hidupnya terus mengelana, namun satu yang melekat dan mengikuti terus petualangan perempuan kelahiran Tarutung, Tapanuli Utara ini kemanapun: karya seni.
Foto: G. Siregar
Tranquility Reversed
Pameran instalasi Tranquility Reversed karya Grace ini menggali dan mengingatkan keindahan serta rasa tenang di dalam kehidupan bermasyarakat terutama untuk masyarakat di negara-negara Sub-Sahara termasuk Kamerun. Pameran tunggal Tranquility ini diselenggarakan di Galeri Seni Rupa Pusat Kebudayaan Perancis (Institut Francais) Yaounde, Kamerun, 2014.
Foto: G. Siregar
Kedamaian dalam Ceret
Pameran Pameran instalasi Tranquility Reversed menggunakan material ceret plastik yang bercorak zebra. Material ini dapat dengan mudah ditemukan di setiap sudut negara Kamerun. Pelengkapnya menggunakan lampu, kayu, kabel dan listrik.
Foto: G. Siregar
Sang Seniman dari Tanah Batak
Ini karya Grace berjudul "Wild Construction". Grace Siregar berkecimpung dalam seni rupa instalasi sejak tahun 1996. Perempuan yang berasal dari Sumatera Utara ini telah menyelenggarakan pameran di berbagai negara di dunia, di antaranya: Indonesia, Australia, Timor Leste, Sri Lanka, Britania Raya, Belanda, Kamerun, Afrika Tengah dan masih banyak lagi.
Foto: G. Siregar
Perupa Pertama di Sub Sahara
Grace tengah bersama para sahabat seniman di Afrika. Sebagai perupa Indonesia yang pertama berpameran dibenua Afrika Sub-Sahara seperti Kamerun dan Senegal, ia berhasrat menjadi pembuka jalan atau pionir bagi para seniman Indonesia yang ingin mulai melebarkan sayap berkesenian ke benua Afrika yang sedang menjadi pusat perhatian seni dunia.
Foto: G. Siregar
Tak Melulu Eropa dan Amerika
Dalam tiap pamerannya, selain berdiskusi tentang seni budaya, ia pun memperkenalkan Indonesia di tatanan internasional. Grace juga sering berpameran di Eropa. Tapi menurutnya itu tidak cukup. Seniman Indonesia perlu juga berani berbelok ke Afrika. “Saya bangga sudah melakukannya,“ ujar Grace sang pionir.
Foto: G. Siregar
Losing it
"Losing It" adalah karya instalasi Grace yang dipamerkan di Kamerun Biennale tahun 2014 di halaman Galeri Nasional di Yaounde, Kamerun. Berupa ornamen-ornamen bulat berwarna-warni terbuat dari plastik, karya ini bercerita tentang bagaimana peradaban modernisasi teknologi internet misalnya di Afrika Sub-Sahara tumbuh pesat seperti jamur. Materialnya terdiri dari kabel, lampu dan listrik.
Foto: G. Siregar
Darah Seni Mengalir di Tubuhnya
"Time Machine" dari es balok ini mengingatkan pada perjalanan waktu manusia di bumi hingga mencairnya es di kutub akibat perubahan cuaca karena ulah manusia.
Grace melukis sejak usia 6 tahun. Lahir di tanah Batak, ia tumbuh dan dibesarkan dalam budaya Batak-Melayu di Bangka. Ayah-ibunya pecinta seni musik. Ia kemudian belajar seni instalasi. Usai kuliah, ia berpameran hingga ke Eropa.
Foto: G. Siregar
Memberi Ruang bagi Seniman Lain
Di Indonesia, ia juga membuka galeri seni Tondi di Medan dari tahun 2004 sampai 2009. Pada saat itu para seniman lain mendapatkan kesempatan untuk memamerkan karya-karya seninya di galeri tersebut. Ini menjadi wadah untuk menumbuhkan kreativitas di seniman Sumatera.
Foto: G. Siregar
Seni jadi Media Kampanye
Grace pun memakai bakat seninya bagi kampanye perdamaian di kawasan yang pernah dililit konflik seperti di Maluku Utara. Di sana ia bersama bocah-bocah menggambar dan memamerkannya sebagai pesan perdamaian. Sementara keprihatinannya atas pembunuhan aktuivis HAM Munir ditumpahkannya di atas kanvas.
Foto: G. Siregar
Tiap Karya Bermakna
Setiap karya seninya meninggalkan makna khusus dalam kehidupan. Mulai dari kerusakan hutan hingga perubahan iklim bumi. Sedangkan lukisan berjudul Amnesia ini mempunyai makna bagaimana perang meninggalkan jejak kehilangan ingatan dengan melakukan kekejaman.
Foto: G. Siregar
Terus Berkarya
Sementara instalasi berjudul Dépression punya makna tentang depresi yang kerap dialami manusia dalam perjalanan hidupnya, yang digambarkannya dalam tanda-tanda rambut rontok yang terbuang di saluran air. Tanpa mengenal batas ruang dan waktu Grace ingin terus berkarya, membawa nama Indonesia ke seluruh dunia.
Foto: G. Siregar
12 foto1 | 12
Menteri Pendidikan, Penelitian dan Seni negara bagian Hessen, Angela Dorn, mengatakan bahwa pihaknya bangga bisa menyediakan platform yang mempromosikan diskusi posisi budaya kontemporer dan perspektif untuk masa depan. "Saya mengucapkan selamat kepada Finding Committee yang mengusulkan kelompok seniman Indonesia sebagai pengarah artistik untuk documenta berikutnya, dan senang bahwa Dewan Pengawas mengikuti saran ini. Dengan keputusan ini, documenta secara sadar memberi ruang bagi pandangan seni non-Eropa dan membawa dunia ke negara bagian Hessen dalam cara yang benar-benar baru. Saya tak sabar lagi untuk melihat bagaimana mereka memasukkan ide ini dalam documenta 15."
Farid Rakun dan Ade Darmawan, yang mewakili ruangrupa pada konferensi pers hari Jumat (22/2) di Kassel mengatakan, "kami ingin menciptakan platform seni dan budaya yang berorientasi global, kooperatif dan interdisipliner yang akan tetap efektif di luar 100 hari pagelaran documenta 15", seperti dikutip dari situs Bayericher Rundfunk.
Sebelum ditunjuk untuk memimpin documenta 15 di Jerman, ruangrupa sudah sering hadir di berbagai pagelaran seni internasional sejak didirikan tahun 2000.
Foto: ruangrupa
Unjuk gigi di Jerman
ruangrupa, komunitas seni asal Jakarta, didaulat untuk menjadi pengarah artistik dan memimpin pagelaran seni "documenta 15" di Kassel, Jerman. Dalam situsnya, ruangrupa menyatakan bergiat mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks urban dan lingkup luas kebudayaan melalui pameran, festival, laboratorium seni rupa, lokakarya, penelitian, serta penerbitan buku, majalah dan jurnal online.
Foto: Jin Panji
Instalasi seni di Arnhem, Belanda
ruangrupa aktif berpartisipasi dalam berbagai pagelaran seni yang diselenggarakan di seluruh dunia. Pada foto tampak instalasi ruangrupa dalam pameran Sonsbeek 16: transACTION, di Arnhem, Belanda. Sonsbeek 2016 menampilkan 45 karya seni dari 22 negara.
Foto: Maurice Boyer
"Bicara tentang hal yang tidak ada"
Foto diatas menampilkan karya ruangrupa dalam keikutsertaannya di Sao Paulo Biennale ke 31 pada tahun 2014. Pagelaran seni di Brazil, yang menampilkan 200 karya dari 81 seniman dunia itu, mengangkat tema "How to Talk About Things That Don't Exist" atau Bagaimana Berbicara tentang Hal yang Tidak Ada.
Foto: ruangrupa
Seni kontemporer Asia Pasifik di Australia
ruangrupa juga hadir dalam event seni kontemporer The Asia Pacific Triennial of Contemporary Art ke 7 (APT7) tahun 2012 di Queensland, Australia. Pameran ini adalah satu-satunya di dunia yang fokus secara khusus pada seni kontemporer yang berasal dari Asia, Pasifik dan Australia.
Foto: ruangrupa
The Kuda: The Untold Story
Dalam pagelaran di Queensland, Australia, ruangrupa memperluas tema kearsipan APT7 dengan instalasi museum mini yang diisi dengan memorabilia dokumenter semu dari band rock fiksi asal Indonesia tahun 1970-an bernama The Kuda.
Foto: ruangrupa
Aichi Triennale, Jepang
Di Aichi Triennale 2016, lebih dari 100 kelompok seniman berbagai genre seni dari seluruh dunia bertemu dan memamerkan kreasi mereka untuk menghadirkan seni kontemporer mutakhir dengan tema "Homo Faber: A Rainbow Caravan." ruangrupa mewakili Indonesia dalam pagelaran seni yang berlangsung dari Agustus hingga Oktober 2016 itu. (Ed.: na/hp)
Foto: ruangrupa
6 foto1 | 6
Apa itu documenta?
Banyak pendapat mengatakan, kata documenta diambil dari kata "documentation", yang menunjukkan niat dari pagelaran seni ini untuk menjadi ajang dokumentasi karya-karya seni yang dilarang di bawah rezim Nazi.
Pada tahun 1955, pelukis dan profesor akademi asal Kassel, Arnold Bode, berusaha untuk membawa Jerman kembali untuk berdialog dengan seluruh dunia setelah akhir Perang Dunia II, dan untuk menghubungkan dunia seni internasional melalui presentasi seni abad kedua puluh.
Ia mendirikan "Gesellschaft Abendländischer Kunst des XX. Jahrhunderts e. V" atau Masyarakat Seni Barat Abad ke-20 untuk mempersembahkan seni yang dianggap oleh Nazi sebagai karya degeneratif, serta karya modernitas klasik yang belum pernah dilihat di Jerman.
Lebih dari 100 ribu pengunjung datang ke Kassel untuk melihat pagelaran seni yang diselenggarakan oleh Bode. Didorong oleh kesuksesan pagelaran seni pertama yang tak disangka-sangka, Bode kemudian menggelar pameran kedua di tahun 1959. Pagelaran terus berlanjut hingga sekarang di kota Kassel setiap lima tahun sekali (dengan pengecualian pagelaran kedua tahun 1959, ke-4 tahun 1968 dan ke-5 tahun 1972).
documenta digelar selama 100 hari. Oleh karenanya, banyak yang merujuk pagelaran ini sebagai "museum of 100 days" atau museum 100 hari.