1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Rudal Patriot, Sehebat Apa Alutsista Buatan AS Ini?

William Noah Glucroft
23 Desember 2022

Amerika Serikat siap mengirim sistem pertahanan udara Patriot untuk perang Ukraina. Sehebat apa alutsista ini? Apa keunggulan dan kelemahannya? Mengapa negara anggota NATO urun biaya untuk memilikinya?

Sistem pertahanan udara Patriot milik militer Jerman Bundeswehr
Sistem pertahanan udara anti rudal Patriot milik militer Jerman BundeswehrFoto: Bernd Wüstneck/dpa/picture alliance

Sistem pertahanan udara Patriot punya sejarah panjang dan digunakan dalam berbagai aksi militer Amerika Serikat. Singkatan dari "Phased Array Tracking Radar to Intercepct of Target”, sistem misil darat ke udara ini dikembangkan oleh konglomerat antariksa dan pertahanan AS, Raytheon, sejak tahun 1960-an.

Mulanya sistem ini dikembangkan untuk menangkis pesawat tempur yang terbang tinggi. Namun, pada tahun 1980-an dimodifikasi untuk menangkal ancaman baru di era itu, yakni misil balistik taktikal. Raytheon menegaskan, akan terus memperbaiki dan mengembangkan sistemnya agar tetap aktual, paling tidak hingga tahun 2048.

Baterai sistem pertahanan rudal darat ke udara ini, terdiri dari pusat komando, sebuah stasiun radar untuk melacak ancaman dan pelontar rudal. Patriot disebut handal dan memberikan proteksi terhadap serangan pesawat tempur, peluru kendali, drone besar, dan misil balistik berdaya jelajah pendek. Namun, tidak efektif menangkal drone bunuh diri berukuran kecil dan rudal yang terbang rendah.

Keunggulan dan kelemahan Patriot

Pengerahan rudal Patriot paling terkenal adalah saat pembebasan Kuwait dari  invasi Irak pada tahun 1991 silam. Media memberitakan dengan gencar kehandalan sistem pertahanan darat ke udara buatan Amerika Serikat ini, melawan invasi militer Saddam Hussein.

Center for Strategic and International Studies (CSIS) melaporkan sistem pertahanan udara Patriot mencakup area penangkalan sekitar 68 kilometer. Radarnya dapat melacak hingga 50 target dan dapat mengunci lima target sekaligus. Daya jelajah rudalnya termasuk pendek, antara 15 hingga 22 kilometer. Patriot dapat melacak target hingga ketinggian dua kilometer.

Selain keunggulannya, juga terdapat laporan mengenai kelemahan rudal Patriot ini. Misalnya, untuk menghancurkan satu rudal saja, diperlukan beberapa roket penangkal. Karena itu sistemnya dinilai sangat rumit. Selain itu, rudal patriot belum mampu menangkal serangan drone kecil atau rudal yang terbang redah dekat tanah. Dan untuk mengoperasikan satu unit sistem pertahanan ini diperlukan 90 serdadu, lapor CSIS.

Salah satu kegagalan Patriot yang sangat spektakuler adalah saat gagal menangkis serangan rudal SCUD yang ditembakkan tentara Irak ke barak militer tentara AS di Dhahran Arab Saudi pada perang Teluk pertama tahun 1991. Akibatnya 28 serdadu AS tewas dan 100 lainnya cedera. Penyebab kegagalan Patriot disebut-sebut adalah kesalahan softwarenya.

Rudal Patriot di atas langit Arab Saudi saat Perang Teluk Pertama 1991Foto: APImages

Biaya pembelian dan pengoperasian sangat mahal

Para pengamat militer terkemuka menyebutkan, tantangan terbesar dari sistem pertahanan darat ke udara Patriot bukannya teknik militer negara lawan. Melainkan biayanya yang sangat mahal. Polandia misalnya harus mengeluarkan anggaran sebesar 4,6 miliar euro untuk pembelian satu unit pertama Patriot. Ini setara dengan sekitar 25% dari seluruh anggaran Kementerian Pertahanan Polandia tahun 2023 mendatang.

Selain itu, biaya pengoperasian Patriot juga mahal. Kelompok riset persenjataan AS-RAND melaporkan, satu kali uji coba menangkal serangan udara saja, bisa memakan biaya sampai 100 juta dolar AS. Sementara ancaman yang masih susah payah ditangkal oleh Patriot, semisal drone bunuh diri kecil harganya ibarat remah-remah, dibanding biaya operasi Patriot.

Karena biayanya sangat mahal, sejumlah negara NATO sepakat membeli unit sistem pertahanan udara Patriot berikutnya secara urunan untuk menutupi biaya pembelian.

Negara-negara yang sejauh ini sudah memiliki Patriot selain Polandia adalah, Belanda, Jerman, Yunani, Spanyol, Rumania, Swedia, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Israel, Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Qatar.

(as/ha)