1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kriminalitas

Rudiantara: Apa Susahnya Puasa Facebook?

9 April 2018

Dalam wawancara dengan DW, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menilai kebocoran data Facebook bukan masalah terbesar, melainkan potensinya menjadi platform kebencian yang saat ini bisa disimak di Myanmar.

Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara
Menteri Komunikasi dan Informatika, RudiantaraFoto: Imago/Xinhua

Sosok Rudiantara menjadi momok buat Facebook. Pasalnya menteri komunikasi dan informatika itu baru-baru ini melayangkan ancaman akan "menutup" Facebook jika ketahuan melanggar aturan. Raksasa media sosial asal California itu pun terancam kehilangan lebih dari 100 juta pengguna yang setiap bulan aktif menggunakan Facebook di Indonesia.

Kepada Deutsche Welle, Rudiantara menjelaskan kenapa kebocoran data milik lebih dari 1 juta pengguna di Indonesia dalam skandal Cambridge Analytica bukan masalah terbesar, melainkan penggunaan Facebook di Myanmar buat menyulut sentimen kebencian terhadap Rohingya. "Saya ingin melindungi Indonesia," tegasnya.

Simak wawancara lengkapnya berikut ini:

DW: Anda mengatakan telah menghubungi Facebook untuk menanyakan data milik lebih dari satu juta pengguna Indonesia yang hilang dan meminta Kepolisian menyelidiki dugaan pelanggaran. Bagaimana perkembangannya?

Rudiantara: Saya menghubungi perwakilan Facebook di Indonesia secara personal dan saya peringatkan mereka perihal Peraturan Menteri No. 20/2016 bahwa semua platform harus melindungi data penggunanya, terutama di Indonesia, dan ada sangsi jika mereka tidak menaati dekrit tersebut, yakni peringatan verbal, lalu peringatan tertulis yang sudah kami keluarkan tanggal 5 April kemarin. Dan kami meminta Facebook menjelaskan bagaimana mereka menggunakan data milik sekitar satu juta pengguna dan meminta mereka menutup semua aplikasi yang serupa dengan Cambridge Analytica, yakni kuis yang merupakan survey psikologis.

Saat yang bersamaan saya berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian RI. Karena selain sangsi administratif yang bisa dikenakan oleh Kemkominfo, ada juga sangsi kriminal sebesar maksimal 12 tahun penjara yang mungkin harus dihadapi Facebook.

DW: Lebih dari seratus juta orang di Indonesia menggunakan Facebook setiap bulan. Bagaimana anda menanggapi pendapat yang menilai Facebook terlalu penting buat Indonesia sehingga tidak seharusnya ditutup?

Sepuluh negara dengan jumlah pengguna Facebook terbesar

Sebenarnya buat saya  isu menutup Facebook atau tidak bukan berkaitan dengan kebocoran data pengguna kepada Cambridge Analytica. Ada isu lain yang membuat saya khawatir, yakni bahwa Facebook digunakan untuk menyebar kebencian terhadap minoritas Rohingya di Myanmar. Saya ingin melindungi Indonesia dan saya tidak ingin penggunaan Facebook di Indonesia menjadi seperti di Myanmar. Jadi bukan cuma soal kebocoran data. Lalu ada isu lain yang juga harus saya pertimbangkan. Biasanya Facebook selama ini digunakan dalam ranah sosial, seperti untuk mencari teman atau berkomunikasi, tapi di Indonesia orang juga menggunakan Facebook buat berjualan dan berbisnis. Jadi fenomena ini juga harus dimasukkan dalam rumusan yang baru. Inilah alasan kenapa saat ini kami belum bisa membuat keputusan untuk menutup atau tidak Facebook. Tapi saya tidak punya keraguan, jika saya harus menutup Facebook, saya akan menutupnya. Negara ini punya pengalaman menutup entitas bisnis lain tahun lalu.

DW: Apakah menurut anda negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia atau Myanmar rentan terhadap manipulasi dan apakah media sosial seperti Facebook perlahan berubah menjadi ancaman?

Saya baru-baru ini bertemu dengan seorang menteri senior negara tetangga dan kami berdiskusi tentang isu ini. Menurut saya yang rentan terhadap manipulasi bukan cuma Indonesia, tetapi semua negara yang menghadapi peristiwa penting politik seperti pemilihan umum.

DW: Apakah pemerintah memiliki bukti bahwa data pribadi pengguna di Indonesia disalahgunakan untuk kepentingan politik?

Saya belum memiliki bukti kuat bahwa data pengguna dikumpulkan secara ilegal untuk kepentingan politik. Tapi kita sedang menghadapi gelombang konten negatif yang bermuatan politik karena kita akan menggelar pilkada tahun ini dan pemilu kepresidenan tahun depan. Kami harus melakukan langkah-langkah pencegahan sesegera mungkin. Karena buat saya kita harus menggunakan semua teknologi untuk keperluan yang baik, bukan untuk kejahatan. Kita memiliki legislasi berupa UU ITE, di mana kita melarang setiap bentuk tindakan atau pelanggaran seperti kebocoran data atau muatan negatif di platform tersebut.

DW: masih banyak pengguna di Indonesia yang bersikap santai dan bahkan cendrung acuh terhadap penggunaan data pribadi mereka oleh pihak ketiga. Apa pesan anda untuk pengguna media sosial di Indonesia?

Begini, ada plus minusnya soal pengumpulan data. Saya sangat percaya tidak ada makan siang yang gratis. Jadi pasti ada tujuannya, meski tidak berbayar. Memang secara tingkat literasi masyarakat Indonesia belum setinggi seperti masyarakat Eropa atau Amerika Serikat yangs adar tentang data pribadi. jadi saya sarankan kepada teman-teman agar hati-hati ketika menyerahkan data pribadi. Memang literasi ini harus kita tingkatkan. Contohnya sederhana, kalau di sisi keamanan saja, banyak orang Indonesia pakai Gmail atau Yahoo yang ketika saya tanya kapan ganti kata kunci, mungkin ada yang sejak tiga tahun tidak pernah ganti. Padahal di Indonesia kalau kita transaksi menggunakan ATM, setiap kali itu ditanya mau ganti PIN atau tidak. Ya orang Indonesia mungkin tidak terlalu peduli, jadi akhirnya tidak ganti PIN. Jadi literasi tentang kehati-hatian ketika menyampaikan data pribadi ini perlu ditingkatkan di Indonesia.

Nah berkaitan dengan Facebook saya himbau kepada teman-teman, kalau memang tidak terlalu penting sekali, tidak usah pakai Facebook, ya apa lah susahnya sekali-kali puasa Facebook. Kalau memang terpaksa harus pakai Facebook, sekali lagi hati-hati, karena ada konsekuensinya. Kalau datanya dikirim begitu saja, tanpa jelas, nanti bisa terjadi seperti skandal Cambridge Analytica.

Yang ketiga mari kita gunakan aplikasi buatan nasional. Ada Sebangsa atau Catfiz dan lain sebagainya. Saya sendiri pakai layanan pesan pendek buatan nasional. Memang kalau dilihat dari segi kemudahan bagi pengguna, aplikasi kita belum semudah Whatsapp. Tapi keberpihakan kita terhadap produk buatan nasional harus terus kita dorong. Agar anak-anak muda Indonesia yang mengembangkan aplikasi ini mengerti bahwa masih ada tempat dan kesempatan buat mereka.

Wawancara: Rizki Nugraha/Wesley Rahn (yf)