Dalam wawancara dengan DW, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menilai kebocoran data Facebook bukan masalah terbesar, melainkan potensinya menjadi platform kebencian yang saat ini bisa disimak di Myanmar.
Iklan
Sosok Rudiantara menjadi momok buat Facebook. Pasalnya menteri komunikasi dan informatika itu baru-baru ini melayangkan ancaman akan "menutup" Facebook jika ketahuan melanggar aturan. Raksasa media sosial asal California itu pun terancam kehilangan lebih dari 100 juta pengguna yang setiap bulan aktif menggunakan Facebook di Indonesia.
Kepada Deutsche Welle, Rudiantara menjelaskan kenapa kebocoran data milik lebih dari 1 juta pengguna di Indonesia dalam skandal Cambridge Analytica bukan masalah terbesar, melainkan penggunaan Facebook di Myanmar buat menyulut sentimen kebencian terhadap Rohingya. "Saya ingin melindungi Indonesia," tegasnya.
Simak wawancara lengkapnya berikut ini:
DW: Anda mengatakan telah menghubungi Facebook untuk menanyakan data milik lebih dari satu juta pengguna Indonesia yang hilang dan meminta Kepolisian menyelidiki dugaan pelanggaran. Bagaimana perkembangannya?
Rudiantara: Saya menghubungi perwakilan Facebook di Indonesia secara personal dan saya peringatkan mereka perihal Peraturan Menteri No. 20/2016 bahwa semua platform harus melindungi data penggunanya, terutama di Indonesia, dan ada sangsi jika mereka tidak menaati dekrit tersebut, yakni peringatan verbal, lalu peringatan tertulis yang sudah kami keluarkan tanggal 5 April kemarin. Dan kami meminta Facebook menjelaskan bagaimana mereka menggunakan data milik sekitar satu juta pengguna dan meminta mereka menutup semua aplikasi yang serupa dengan Cambridge Analytica, yakni kuis yang merupakan survey psikologis.
Saat yang bersamaan saya berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian RI. Karena selain sangsi administratif yang bisa dikenakan oleh Kemkominfo, ada juga sangsi kriminal sebesar maksimal 12 tahun penjara yang mungkin harus dihadapi Facebook.
DW: Lebih dari seratus juta orang di Indonesia menggunakan Facebook setiap bulan. Bagaimana anda menanggapi pendapat yang menilai Facebook terlalu penting buat Indonesia sehingga tidak seharusnya ditutup?
Sebenarnya buat saya isu menutup Facebook atau tidak bukan berkaitan dengan kebocoran data pengguna kepada Cambridge Analytica. Ada isu lain yang membuat saya khawatir, yakni bahwa Facebook digunakan untuk menyebar kebencian terhadap minoritas Rohingya di Myanmar. Saya ingin melindungi Indonesia dan saya tidak ingin penggunaan Facebook di Indonesia menjadi seperti di Myanmar. Jadi bukan cuma soal kebocoran data. Lalu ada isu lain yang juga harus saya pertimbangkan. Biasanya Facebook selama ini digunakan dalam ranah sosial, seperti untuk mencari teman atau berkomunikasi, tapi di Indonesia orang juga menggunakan Facebook buat berjualan dan berbisnis. Jadi fenomena ini juga harus dimasukkan dalam rumusan yang baru. Inilah alasan kenapa saat ini kami belum bisa membuat keputusan untuk menutup atau tidak Facebook. Tapi saya tidak punya keraguan, jika saya harus menutup Facebook, saya akan menutupnya. Negara ini punya pengalaman menutup entitas bisnis lain tahun lalu.
DW: Apakah menurut anda negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia atau Myanmar rentan terhadap manipulasi dan apakah media sosial seperti Facebook perlahan berubah menjadi ancaman?
Saya baru-baru ini bertemu dengan seorang menteri senior negara tetangga dan kami berdiskusi tentang isu ini. Menurut saya yang rentan terhadap manipulasi bukan cuma Indonesia, tetapi semua negara yang menghadapi peristiwa penting politik seperti pemilihan umum.
DW: Apakah pemerintah memiliki bukti bahwa data pribadi pengguna di Indonesia disalahgunakan untuk kepentingan politik?
Perusahaan Yang Tinggalkan Facebook Setelah Skandal Data Pribadi
Beberapa perusahaan besar menyatakan mereka meninggalkan Facebook atau untuk sementara berhenti menggunakan media sosial ini. Tapi Facebook mengatakan, tidak banyak perusahaan yang ikut aksi #deletefacebook.
Foto: Getty Images/J. Kempin
Playboy Enterprises
Playboy Enterprises mengatakan telah menutup laman Facebook-nya saat skandal seputar media sosial itu berkembang. Playboy mengatakan, skandal privasi ini adalah insiden terakhir setelah lama mengalami kesulitan memposting ke situs tersebut karena aturan ketat Facebook. Sekitar 25 juta orang sebelumnya berinteraksi dengan halaman Facebook Playboy.
Foto: Getty Images/J. Kempin
SpaceX dan Tesla
Elon Musk, miliarder di belakang produsen mobil listrik Tesla dan program roket SpaceX, menulis di Twitter bahwa dia akan menghapus akun Facebook kedua perusahaannya. Keputusan itu tampaknya spontan setelah Musk menulis dia "tidak menyadari" bahwa SpaceX punya akun Facebook. Akun kedua perusahaan masing-masing memiliki sekitar 2,6 juta pengikut sebelum dihapus.
Foto: Reuters/T. Baur
Mozilla
Perusahaan di balik browser populer Firefox mengatakan dalam sebuah pernyataan, perusahaan itu "mengusahakan jeda" iklan Facebook-nya. Namun dikatakan, mereka tidak akan menghapus akun Facebook-nya, tetapi berhenti memposting pembaruan rutin pada akun. "Jika Facebook mengambil tindakan yang lebih tegas dalam cara berbagi data pelanggan... kami akan mempertimbangkan (langkah itu) kembali," katanya.
Foto: LEON NEAL/AFP/Getty Images
Sonos
Perusahaan AS yang khusus membuat sound system ini mengatakan, mereka menarik iklan-iklannya dari Facebook dan platform media sosial lainnya termasuk Instagram. Sonos mengatakan, apa yang terjadi akhir-akhir ini "membangkitkan tanda tanya", apakah Facebook serius ingin menjaga kerahasiaan data-data pribadi. Tapi Sonos tidak menghapus akun Facebooknya.
Foto: picture-alliance/AP Photo/Sonos
Commerzbank
Salah satu bank terbesar Jerman, Commerzbank, menyatakan akan memberhentikan untuk sementara iklan di Facebook. Direktur Utama Commerzbank mengatakan kepada harian ekonomi Jerman Handelsblatt: Kami jeda dulu dari iklan di Facebook. Perlindungan data dan mempertahankan citra perusahaan sangat penting bagi kami." Commerzbank akan menanti perkembangan lebih jauh untuk menentukan langklah selanjutnya.
Foto: Daniel Roland/AFP/Getty Images
Dr. Oetker
Perusahaan makanan Jerman Dr. Oetker menyerahkan keputusan kepada pengikutnya di Twitter. "Kami akan menghapus halaman Facebook kami jika didukung 1.000 retweet," tulis perusahaan itu si Twitter, 21 Maret lalu. Hari itu juga akun Facebooknya di-nonaktif-kan. Namun hari berikutnya akun Facebook Dr. Oetker aktif lagi. Di Twitter mereka menulis, "tidak mungkin" melakukan promosi tanpa Facebook.
Foto: Dr. Oetker
Tanggapan dari Facebook
Mengenai mundurnya beberapa perusahaan dari Facebook, perusahaan media sosial itu mengatakan: "Sebagian besar perusahaan yang kami ajak bicara minggu ini senang dengan langkah-langkah yang telah kami canangkan untuk lebih melindungi data pribadi, dan mereka percaya bahwa kami akan menanggapi tantangan ini dengan baik dan menjadi mitra yang lebih baik." (Alexander Pearson/hp/yf)
Foto: picture-alliance/AP Photo/T. Camus
7 foto1 | 7
Saya belum memiliki bukti kuat bahwa data pengguna dikumpulkan secara ilegal untuk kepentingan politik. Tapi kita sedang menghadapi gelombang konten negatif yang bermuatan politik karena kita akan menggelar pilkada tahun ini dan pemilu kepresidenan tahun depan. Kami harus melakukan langkah-langkah pencegahan sesegera mungkin. Karena buat saya kita harus menggunakan semua teknologi untuk keperluan yang baik, bukan untuk kejahatan. Kita memiliki legislasi berupa UU ITE, di mana kita melarang setiap bentuk tindakan atau pelanggaran seperti kebocoran data atau muatan negatif di platform tersebut.
DW: masih banyak pengguna di Indonesia yang bersikap santai dan bahkan cendrung acuh terhadap penggunaan data pribadi mereka oleh pihak ketiga. Apa pesan anda untuk pengguna media sosial di Indonesia?
Begini, ada plus minusnya soal pengumpulan data. Saya sangat percaya tidak ada makan siang yang gratis. Jadi pasti ada tujuannya, meski tidak berbayar. Memang secara tingkat literasi masyarakat Indonesia belum setinggi seperti masyarakat Eropa atau Amerika Serikat yangs adar tentang data pribadi. jadi saya sarankan kepada teman-teman agar hati-hati ketika menyerahkan data pribadi. Memang literasi ini harus kita tingkatkan. Contohnya sederhana, kalau di sisi keamanan saja, banyak orang Indonesia pakai Gmail atau Yahoo yang ketika saya tanya kapan ganti kata kunci, mungkin ada yang sejak tiga tahun tidak pernah ganti. Padahal di Indonesia kalau kita transaksi menggunakan ATM, setiap kali itu ditanya mau ganti PIN atau tidak. Ya orang Indonesia mungkin tidak terlalu peduli, jadi akhirnya tidak ganti PIN. Jadi literasi tentang kehati-hatian ketika menyampaikan data pribadi ini perlu ditingkatkan di Indonesia.
Nah berkaitan dengan Facebook saya himbau kepada teman-teman, kalau memang tidak terlalu penting sekali, tidak usah pakai Facebook, ya apa lah susahnya sekali-kali puasa Facebook. Kalau memang terpaksa harus pakai Facebook, sekali lagi hati-hati, karena ada konsekuensinya. Kalau datanya dikirim begitu saja, tanpa jelas, nanti bisa terjadi seperti skandal Cambridge Analytica.
Yang ketiga mari kita gunakan aplikasi buatan nasional. Ada Sebangsa atau Catfiz dan lain sebagainya. Saya sendiri pakai layanan pesan pendek buatan nasional. Memang kalau dilihat dari segi kemudahan bagi pengguna, aplikasi kita belum semudah Whatsapp. Tapi keberpihakan kita terhadap produk buatan nasional harus terus kita dorong. Agar anak-anak muda Indonesia yang mengembangkan aplikasi ini mengerti bahwa masih ada tempat dan kesempatan buat mereka.
Bagaimana Media Sosial Ubah Otak Anda
Pernah merasa tidak bisa menyetop diri menggunakan media sosial? Media sosial memang asik dan disukai masyarakat luas. Tapi apa itu sehat buat otak Anda?
Foto: picture-alliance/dpa/S. Kahnert
Tidak Bisa Mengontrol Diri?
Menurut data yang dikumpulkan lembaga pendidikan TED (Technology, Entertainment, Desain) sepertiga penduduk dunia menggunakan media sosial. Lima sampai 10 persen pengguna internet menyatakan sulit mengontrol waktu saat menggunakan media sosial. Menurut hasil pemindaian otak, ada bagian otak yang alami gangguan, dan itu bagian yang sama seperti pada pengguna narkoba.
Foto: Imago/All Canada Photos
Menyebabkan Kecanduan
Bagian otak yang terganggu terutama yang mengontrol emosi, perhatian dan pengambilan keputusan. Orang merasa senang pada media sosial, karena segera memberikan "imbalan" tanpa perlu upaya besar. Oleh sebabnya itu otak ingin mendapat stimulasi makin banyak, dan akhirnya menyebabkan ketagihan. Seperti halnya ketagihan obat terlarang.
Foto: picture-alliance/dpa/O. Berg
Tampak Seperti Multi-Tasking
Orang tampaknya mampu melaksanakan multi-tasking antara pekerjaan dan berkomunikasi dengan teman atau membaca berita terakhir dari teman lewat media sosial. Itu tampaknya saja. Semakin banyak menggunakan media sosial menyebabkan semakin kurangnya kemampuan otak untuk menyaring "gangguan" dan menyebabkan otak tidak mampu menempatkan informasi dalam ingatan.
Foto: picture-alliance/dpa/C. Klose
Bergetar Atau Tidak?
Sejalan dengan penggunaan medsos lewat ponsel pintar, muncul fenomena baru "phantom vibration syndrome". Orang merasa ponsel bergetar, tapi sebenarnya tidak. Menurut sebuat studi, 89% dari pengikut riset rasakan ini, sedikitnya sekali dalam dua minggu. Tampaknya: otak menerima rasa gatal dan mengubahnya menjadi getaran yang dirasakan tubuh. Sepertinya teknologi mulai mengatur ulang sistem syaraf.
Foto: Getty Images/AFP/W. Zhao
Makin Terfokus pada Diri Sendiri
Media sosial juga menyebabkan otak makin banyak melepas Dopamin, yang sebabkan tubuh merasa senang. Menurut ilmuwan, pusat pemberian imbalan pada otak menunjukkan aktivitas lebih tinggi, jika orang bicarakan pandangan mereka, daripada jika mendengarkan pendapat orang. Itu tidak mengherankan. Tapi dalam interaksi langsung, hanya 30-40% isinya mengenai diri sendiri. Sementara dalam media sosial 80%.
Foto: imago/Westend61
Imbalan untuk Bicara Tentang Diri Sendiri
Semua bagian otak yang berkaitan dengan orgasme, motivasi, cinta terstimulasi hanya dengan menggunakan media sosial. Dan itu lebih besar lagi dampaknya, jika Anda menyadari bahwa Anda punya "penonton". Misalnya jumlah "likes" di Facebook atau jumlah "followers" di Twitter tinggi. Jadi tubuh memberikan imbalan sendiri kepada kita, hanya karena membicarakan tentang diri sendiri lewat internet.
Sebaliknya dampak positif juga ada. Menurut studi hubungan pacaran terhadap sejumlah pasangan, sebagian besar cenderung lebih saling suka, jika awalnya berkenalan lewat jalur maya. Dibanding jika kenal lewat interaksi langsung. Kemungkinan ini disebabkan karena orang lebih bisa anonim di dunia virtual, dan lebih punya kesempatan mengemukakan tujuan yang ingin dicapai dalam hidup.