Rumah sakit pemerintah di Ahmedabad di India menempatkan pasien Muslim dan Hindu di bangsal terpisah dan dituduh termakan kabar palsu seputar warga Muslim menularkan virus corona. Tudingan itu kini dibantah pemerintah.
Iklan
Rumah sakit milik pemerintah di Ahmedabad, kota utama di negara bagian Gujarat, India barat, dituding telah memisahkan pasien coronavirus berdasarkan agama mereka, mengklaim bahwa perintah itu datang dari pemerintah. Dikutip dari The Indian Express terdapat 1200 tempat tidur yang disiapkan untuk pasien COVID-19.
"Secara umum, ada bangsal terpisah bagi pasien pria dan wanita. Tapi di sini, kami telah membuat bangsal terpisah untuk pasien Hindu dan Muslim. Ini adalah keputusan pemerintah dan Anda dapat bertanya kepada mereka," ujar Dr Gunvant H Rathod, pengawas medis dari Rumah Sakit Sipil Ahmedabad, kepada surat kabar The Indian Express dalam laporannya pada hari Rabu (15/04).
Negara Gujarat diperintah oleh golongan nasionalis Hindu, Partai Bharatiya Janata (BJP), yang juga memerintah negara itu. Narendra Modi adalah menteri utama negara bagian itu selama hampir 13 tahun berturut-turut sejak tahun 2001 sebelum ia menjabat sebagai menjadi perdana menteri India pada 2014, demikian dikutip dari Al Jazeera.
Bantahan pemerintah
Menteri Kesehatan dan Wakil Menteri Gujarat, Nitin Patel membantah tuduhan tersebut, demikian dilansir dari The Indian Express.
Sementara itu dikutip dari Al Jazeera, departemen kesehatan negara bagian itu juga mengeluarkan pernyataan resmi, menyebut laporan bangsal terpisah untuk Muslim dan Hindu "tidak berdasar".
"Pasien ditempatkan di bangsal yang berbeda berdasarkan kondisi medis mereka, keparahan gejala dan usia, murni berdasarkan saran dari dokter yang merawat. Oleh karena itu, laporan yang muncul di media tertentu sama sekali tidak berdasar dan menyesatkan," kata Wakil Menteri Gujarat Nitin Patel kepada Al Jazeera.
Namun, dalam laporan The Indian Express, seorang pasien mengatakan, "Pada hari Minggu malam, nama 28 pria yang dirawat di bangsal pertama (A-4) dipanggil. Kami kemudian dipindahkan ke bangsal lain (C-4)."
"Meskipun kami tidak diberitahu mengapa kami digeser, semua nama yang dipanggil merupakan satu komunitas. Kami berbicara dengan satu anggota staf di tempat kami dan dia mengatakan ini telah dilakukan untuk 'kenyamanan kedua komunitas'."
Menurut seorang dokter yang dikutip dalam laporan lain oleh surat kabar The Hindu, "Pasien-pasien tertentu dari komunitas mayoritas tidak nyaman berada di bangsal yang sama dengan pasien-pasien dari komunitas minoritas."
"Setelah beberapa pasien mengeluh, diputuskan untuk memisahkan mereka secara sementara," kata dokter itu kepada surat kabar itu dengan syarat namanya tidak disebut.
Islamofobia di tengah wabah
Ketika seorang sosiolog Ahmedabad, Ghanashyam Shah ditanya oleh Al Jazeera apakah rumah sakit yang memisahkan pasien menurut agama mereka, ia menjawab, "Tentu saja."
"Karena kenal kawasan Gujarat, saya tidak terkejut hal itu terjadi," katanya."Ini adalah hal yang sangat jelas. Propaganda berita palsu seputar Muslim yang menyebarkan virus ini mungkin merajalela di India. Tetapi saya bisa melihatnya di Gujarat."
Shah merujuk pada islamofobia yang tersebar luas yang dipicu oleh pandemi corona, terutama setelah Jamaah Tabligh, sebuah kelompok misionaris muslim, mengorganisasi pertemuan di New Delhi pada bulan Maret.
Tablig itu kemudian dikaitkan dengan ratusan kasus positif COVID-19 di seluruh negeri, yang memicu perburuan nasional untuk melacak siapa saja yang hadir dalam pertemuan itu.
Awal bulan ini, Organisasi Kesehatan Dunia WHO telah memperingatkan pemerintah di seluruh dunia: "Mengidap COVID-19 bukanlah kesalahan siapa pun. Setiap kasus adalah korban. Sangat penting bahwa kita tidak memprofilkan kasus berdasarkan ras, agama dan etnis," kata direktur program darurat WHO Mike Ryan sebagaimana dikutip dari Al Jazeera.
Menurut laporan media, lebih dari setengah dari hampir 500 kasus corona di Ahmedabad berasal dari lingkungan muslim. Kota ini telah lama menjadi sarang perpecahan komunal, dengan daerah-daerah terpisah yang ditandai untuk umat Hindu dan Muslim.
2019: Aksi Demonstrasi di Seluruh Dunia
Jutaan orang turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi karena diskriminasi etnis, korupsi, kurangnya demokrasi, hingga perubahan iklim. Dari Cina ke Chili, Sudan ke Prancis, orang-orang menuntut perubahan.
Foto: Reuters/T. Siu
Stabilitas Hong Kong terguncang
Aksi protes terjadi di seluruh Hong Kong pada bulan Juni akibat Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi yang diajukan pemerintah daerah Hong Kong kepada Cina. Meskipun RUU itu ditarik pada bulan September, unjuk rasa terus berlangsung dan menuntut demokrasi penuh dan penyelidikan terhadap aksi kekerasan yang dilakukan polisi.
Foto: Reuters/T. Peter
Lebih satu juta orang turun ke jalan
Besarnya gerakan protes warga telah menempatkan para pemimpin Hong Kong dan Beijing dalam krisis politik, di tengah tuduhan bahwa Cina merusak status khusus wilayah itu di bawah perjanjian "satu negara, dua sistem". Terkadang, lebih dari satu juta orang turun ke jalan. Di tengah gejolak, pemilu Hong Kong berlangsung. Kubu pro-demokrasi memperoleh kemenangan besar untuk pertama kalinya.
Foto: Reuters/T. Siu
Greta berang, dunia mendengarkan
Beberapa bulan setelah Greta Thunberg melakukan protes seorang diri di depan parlemen Swedia, sejumlah aksi juga terjadi di seluruh dunia, diikuti hingga jutaan orang. Demonstrasi meluas dan dikenal dengan nama Fridays for Future (Jumat untuk Masa Depan), menyebabkan 4.500 aksi mogok di lebih dari 150 negara. Pendekatan langsung Thunberg memaksa pemerintah untuk mengumumkan krisis iklim.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Kappeler
Menentang diskriminasi agama di India
Parlemen India meloloskan rancangan undang-undang (RUU) yang menawarkan amnesti kepada imigran gelap non-Muslim dari tiga negara yakni Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan. Langkah ini memicu protes nasional karena adanya diskriminasi berdasarkan agama di dalam RUU tersebut. PM India Narendra Modi bersikeras RUU itu menawarkan perlindungan bagi orang-orang yang melarikan diri dari penganiayaan.
Foto: Reuters/D. Sissiqui
Warga Irak merasa "hidup lebih buruk" setelah era Saddam Hussein
Pada Oktober, rakyat Irak turun ke jalan untuk memprotes korupsi, pengangguran, dan pengaruh Iran terhadap pemerintahan negara itu. Demonstrasi berlangsung memburuk, mengakibatkan 460 orang tewas dan 25.000 lainnya terluka. PM Irak Adil Abdul-Mahdi mengundurkan diri, yang kemudian kembali memicu kemarahan lebih lanjut.
Foto: Reuters/A. Jadallah
Tinju solidaritas di Beirut
Pengunjuk rasa di berbagai penjuru Lebanon mengecam pemerintah yang dianggap gagal mengatasi krisis ekonomi. Meskipun PM Lebanon, Saad Hariri mengundurkan diri, para pemimpin protes menolak untuk bertemu dengan pengganti sementaranya dan menuntut pencabutan rencana kenaikan pajak bensin, tembakau, dan panggilan telepon Whatsapp.
Foto: Reuters/A. M. Casares
Protes kenaikan BBM Iran meluas di 21 kota
Pada bulan November, kerusuhan di Iran dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 50 persen. Lebih dari 200 ribu orang turun ke jalan hingga aksi demonstrasi ini meluas di 21 kota. Departemen Luar Negeri AS mengatakan lebih dari seribu orang terbunuh, menjadikan tragedi ini periode paling berdarah di Iran sejak Revolusi Islam 1979.
Foto: Getty Images/AFP
Revolusi Sudan
Pengunjuk rasa di Sudan meminta pemerintahan darurat yang dipimpin militer untuk segera melakukan pembongkaran dan pengadilan penuh terhadap kroni-kroni rezim presiden yang baru saja dimakzulkan, Omar Al Bashir. Konflik berdarah ini menewaskan sedikitnya 113 orang. Pada Agustus lalu, perwakilan rakyat dan pihak militer menandatangani deklarasi konstitusi untuk membentuk pemerintahan transisi.
Foto: picture-alliance/dpa/AP
Amerika Latin mengutuk kebijakan penghematan pemerintah
Ribuan orang protes di pusat ibu kota Chili, Santiago dan sejumlah kota besar lainnya. Mereka menuntut perbaikan sistem kesehatan, pensiun dan pendidikan. Tidak hanya Chili, beberapa negara Amerika Latin terjadi protes serupa pada tahun 2019, termasuk Bolivia, Honduras dan Venezuela, di mana upaya untuk menyingkirkan Presiden Venezuela Nicolas Maduro memuncak pada bulan Mei.
Foto: Reuters/I. Alvarado
Prancis goyah
Akhir 2018, massa gerakan rompi kuning melakukan aksi unjuk rasa. Mereka berasal dari daerah pedesaan yang mengeluhkan wacana kenaikan pajak bahan bakar. Sejak itu gerakan rompi kuning telah meluas ke semua kelompok. Pada bulan Desember, serikat pekerja Prancis melakukan aksi mogok di jalan, menentang reformasi sistem pensiun.
Foto: Reuters/P. Wojazer
Pertarungan kemerdekaan Catalonia
Setelah sembilan pemimpin separatis Catalonia dipenjara oleh Mahkamah Agung Spanyol, gelombang kemarahan baru meletus hingga melumpuhkan kota Barcelona. Lebih dari setengah juta orang terlibat dalam demonstrasi ini. Aksi mogok dan kerusuhan di berbagai daerah melumpuhkan arus transportasi publik hingga memaksa penundaan pertandingan sepakbola Barcelona vs Real Madrid. (Teks: Leah Carter/ha/hp)
Foto: REUTERS/J. Nazca
11 foto1 | 11
Dilansir dari Al Jazeera, pada tahun 2002, Ahmedabad adalah salah satu wilayah utama kekerasan agama di negara itu, di mana hampir 2.000 Muslim terbunuh, puluhan perempuan diperkosa, dan ribuan lainnya mengungsi.
ap /rzn (Al Jazeera, The Indian Express)