1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Rupiah Anjlok ke Rp 16.000, Akankah Seperti Krisis 1998?

20 Maret 2020

Ekonomi dunia dibuat babak belur oleh merebaknya pandemi virus corona. Bahkan dolar AS terhadap rupiah sudah di level Rp 16.040 dan disebut terlemah dalam 22 tahun terakhir. Apakah kondisi ini sama dengan krisis 1998?

Indonesien Wirtschaft Banknoten Geldscheine
Foto: Reuters

Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) hari ini sudah menembus ke angka Rp 16.040, melemah 0,79 persen dibandingkan penutupan kemarin (19/3) pada 15.913. Posisi ini merupakan yang terlemah dalam 22 tahun terakhir. Penguatan dolar AS dipicu kepanikan pasar akibat penyebaran virus corona di berbagai negara. Angka ini hampir mendekati dolar AS saat krisis pada 1998 yang berada di kisaran Rp 16.800.

Lalu, apa bedanya dengan krisis 1998?

Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim menjelaskan dolar AS memang sama-sama berada di level Rp 16.000-an, namun ini berbeda dengan kondisi saat krisis 1998.

"Kondisi ini beda, waktu 1998 itu krisis ekonomi, karena fundamentalnya belum kuat. Saat ini, meski mengalami pelemahan tapi fundamental ekonomi kita kuat," ucapnya.

Ibrahim mengungkapkan penyebaran virus corona yang semakin mengkhawatirkan akibat kepanikan pasar membuat Bank Indonesia (BI) memutuskan menurunkan suku bunga BI sebesar 25 basis poin menjadi 4,5%.

"Apa yang dilakukan oleh Bank Indonesia sudah mengikuti sesuai dengan anjuran Bank Sentral global namun BI belum bisa menjaga stabilitas mata uang rupiah akibat pasar yang panik karena dinamika dinamika penyebaran virus corona sangat cepat," jelas dia.

Sementara itu, Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan pada tahun 1998 dolar berada di kisaran Rp 2.000. Kemudian, dolar melesat sampai Rp 16.000 atau naik berkali lipat. Berbeda dengan kondisi saat ini, dolar tembus Rp 16.000 dari semula di kisaran RP 13.000 hingga Rp 14.000. Secara fundamental pun kondisinya jauh berbeda, saat krisis 1998 surat utang pemerintah belum mendapat predikat layak investasi (invesment grade).

"Kalau saat ini utang luar negeri swasta cenderung bahkan melambat dan komposisi utang jangka pendek lebih kecil, pengelolaan utang pun jauh lebih baik," terangnya. Memang, ekonomi Indonesia cenderung melambat karena virus corona. Namun, Josua menuturkan, hal itu juga dialami oleh negara-negara lain.

Presiden minta BI jaga stabilitas rupiah

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta BI terus melakukan upaya untuk mengembalikan stabilitas rupiah, salah satunya memberlakukan penggunaan rekening rupiah di dalam negeri.

"Saya minta BI fokus terus jaga stabilitas rupiah, menjaga inflasi agar terkendali, dan mempercepat berlakunya ketentuan penggunaan rekening rupiah di dalam negeri," tuturnya saat membuka ratas melalui video conference dikutip dari akun Sekretariat Negara, Jumat (20/3/2020).

Jokowi juga meminta pemerintah, BI, OJK, dan LPS mempererat sinergi untuk memastikan ketersediaan likuiditas di dalam negeri. Lalu juga memantau sistem keuangan dan melakukan mitigasi risiko secara komprehensif.

Untuk di bidang perbankan, Jokowi meminta OJK untuk fokus pada kebijakan stimulus ekonomi yang memberikan kemudahan dan keringanan bagi kelompok-kelompok terdampak khususnya UMKM dan sektor informal. Dengan begitu aktivitas produksi tetap bisa berjalan sehingga menghindari PHK.

"Saya dapat laporan OJK sudah keluarkan stimulus ekonomi, bagi debitur, termasuk debitur UMKM yang terkena dampak Covid-19. Saya kira kebijakan restrukturisasi kredit maupun pembiayaan sangat bagus. Saya minta kebijakan stimulus ini dievaluasi secara periiodik untuk lihat kebutuhan-kebutuhan yang ada di lapangan," ucapnya. (ha/pkp)

Baca selengkapnya: detiknews

Dolar AS Tembus Rp 16.000, Krisis 1998 Terulang?

Dolar AS Tembus Rp 16.000, Ini Bedanya dengan Krisis 1998

Dolar AS Tembus Rp 16.000, Mau Apa Nih Pak Jokowi?