Lebih dari satu juta pengidap HIV terdaftar di Rusia. Tapi hanya separuh pasien yang mendapat perawatan. Seiring dengan meningkatnya jumlah infeksi AIDS, obat antiretrovial malah kian langka. Kenapa?
Iklan
Pada 22 November lalu, pasien Pusat AIDS di Moskow mengumumkan habisnya stok obat Dolutegravir di semua apotek.
Obat antiretrovial buatan Inggris tersebut selama ini melengkapi kombinasi terapi obat-obatan untuk pasien HIV. Repotnya, Dolutegravir bukan satu-satunya obat HIV yang kini sulit didapat di Rusia. Negara yang tengah berperang itu sedang mengalami kelangkaan obat-obatan.
Menurut data resmi, terdapat sekitar 1,13 juta pengidap virus HIV di Rusia. Diyakini, jumlah kasus yang tidak dilaporkan jauh lebih tinggi, menurut Ekaterina Stepanova, seorang dokter di sebuah klinik swasta di Rusia.
"Ada lebih dari 40 wilayah di Rusia yang secara umum sudah berada dalam situasi epidemi HIV. Artinya, lebih dari satu persen dari seluruh perempuan hamil positif terjangkit HIV. Hal ini sangat buruk karena menunjukkan betapa luasnya infeksi HIV di Rusia,” kata dia.
Saat ini, hanya 52 persen semua pasien HIV yang mendapat obat-obatan gratis secara rutin. Sisanya mengkhawatirkan stigma atau diskriminasi jika mendaftarkan diri. "Sebab itu, sangat sulit untuk mengakses kelompok ini.”
Iklan
Rusia hadapi kelangkaan obat-obatan
Sebagian pasien memilih berobat di klinik swasta yang relatif mahal. Menurut Stepanova, biaya membeli obat-obatan antiretrovial di klinik swasta bisa mencapai 90 Euro atau sekitar Rp1,5 juta per bulan.
"Pasien saya biasanya membeli obat HIV sendiri. Mereka yang menerima obat secara gratis atau dengan membeli biasanya membawanya ke sini untuk kemudian kami distribusikan kepada pasien yang tidak memiliki obat,” ujarnya. "Di sini, kami berusaha untuk saling membantu.”
Rumah Aman untuk Penyintas HIV/AIDS dari Transpuan di Yogya
Yayasan Kebaya di Yogyakarta membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapa saja termasuk penyintas, relawan yang ingin merawat penyintas HIV/AIDS, maupun mahasiswa yang ingin meneliti HIV/AIDS.
Foto: A. K. Ulung/DW
Stigma bagi ODHA masih tinggi
Yayasan Kebaya didirikan 2006 dan punya 5 kamar, tiap kamar diisi satu atau dua penyintas. Saat ini yayasan merawat 6 pengidap HIV/AIDS, empat di antaranya adalah waria. Selama tinggal di sini, mereka tidak membayar uang sepeser pun. Kebanyakan mereka ditolak oleh keluarga dan masyarakat. Stigma masyarakat menyebabkan tingginya perlakuan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Foto: A. K. Ulung/DW
Diusir dari kampung halaman
Widi Hartono, 34, tinggal di Kebaya sejak September 2020 setelah diusir oleh warga kampung halamannya di Klaten, Jawa Tengah. Mereka berpikir, HIV/AIDS adalah penyakit kotor dan menakutkan. Keluarga Widi tidak berani membelanya, sedangkan kedua orang tuanya telah meninggal. Setelah diusir warga, ia sempat tinggal di tempat pembuangan sampah selama 5 bulan atas instruksi kepala desa pada saat itu.
Foto: A. K. Ulung/DW
Antiretroviral (ARV), obat wajib bagi ODHA
Obat antiretroviral (ARV) wajib diminum penyintas HIV/AIDS setiap hari. ARV memang tidak bisa menyembuhkan infeksi virus HIV, tetapi terapi obat ini bisa memperlambat perkembangan virus di dalam tubuh sehingga penyintas bisa menjalani hidup lebih lama. Saat ini, perjuangan mereka lebih berat karena pandemi menyebabkan persediaan ARV menjadi langka.
Foto: A. K. Ulung/DW
Dipantau relawan dokter
Yayasan Kebaya memiliki relawan dokter yang secara rutin memberikan konsultasi medis kepada penyintas HIV/AIDS. Mereka dikirim oleh Dinas Sosial, tetapi di luar jam kerjanya, sering mengunjungi yayasan untuk merawat penyintas secara sukarela. Relawan dokter ini memastikan penyintas disiplin meminum obat antiretroviral (ARV) dan menjalani pola makan dan pola hidup sehat.
Foto: A. K. Ulung/DW
Berbaur bersama warga sekitar
Penyintas dan warga sedang asyik mengobrol di Yayasan Kebaya. Masyarakat di sekitar yayasan menerima baik keberadaan penyintas HIV/AIDS yang dirawat di sini. Mereka berbaur dan saling menolong. Di masa pandemi ini, yayasan mendapatkan bantuan sembako dari warga, dan sebaliknya yayasan juga memberikan bantuan sembako kepada mereka ketika memperoleh bantuan dana dari lembaga donor.
Foto: A. K. Ulung/DW
Pejuang ODHA terlantar
Akrab disapa Mami Vin, Vinolia Wakijo, pendiri dan direktur Yayasan Kebaya, merupakan mantan pekerja seks yang kini berjuang menghapus stigma terhadap penyintas HIV/AIDS (ODHA). Setelah melihat kawan-kawan sesama pekerja seks meninggal akibat virus HIV, ia mendirikan Yayasan Kebaya pada 2006 untuk menolong dan merawat ODHA yang ditelantarkan oleh keluarganya dan masyarakat.
Foto: A. K. Ulung/DW
Ruang kerja Vinolia Wakijo
Di ruang ini, Vinolia Wakijo, Direktur Yayasan Kebaya, menyusun proposal permohonan bantuan dan mengirimnya ke berbagai lembaga di dalam dan luar negeri untuk merawat penyintas HIV/AIDS yang terlantar. Baru-baru ini, ia mendapat bantuan dana senilai Rp340 juta dari ViiV Healthcare yang digunakan untuk berbagai hal, termasuk menebus obat-obat infeksi oportunistik yang diderita ODHA. (ae)
Foto: A. K. Ulung/DW
7 foto1 | 7
Bisa dipastikan, kelangkaan obat HIV di Rusia bukan disebabkan embargo internasional, yang tetap mengizinkan perdagangan perlengkapan medis dan obat-obatan. Sejumlah perusahaan farmasi di dalam negeri juga menawarkan obat generik. Namun jumlahnya tetap tidak mencukupi.
Hal tersebut disebabkan anggaran pembelian obat di Kementerian Kesehatan yang stagnan dan sejak beberapa tahun terakhir mengabaikan lonjakan jumlah pasien. Untuk memasok kebutuhan obat tahun 2021 saja, pemerintah harus menggunakan anggaran yang sudah disiapkan untuk tahun 2022 dan 2023.
Kondisi itu dilaporkan Koalisi Kesiagaan Perawatan Internasional (ITPC) yang mengadvokasi pengobatan gratis bagi pengidap HIV di seluruh dunia.
Fakta bahwa sejumlah besar kas negara saat ini digunakan untuk invasi di Ukraina semakin menyulitkan respons yang mumpuni.
Selain itu, jumlah penduduk yang bertambah juga berarti peningkatan jumlah penderita HIV. Ketika Rusia secara ilegal mencaplok Kherson, Donetsk, Luhansk, dan Zaporizhia di Ukraina timur, seketika jumlah populasi negara bertambah 11 juta orang.
Buntutnya, Rusia mengumumkan tambahan 60.000 kasus baru infeksi HIV AIDS pada akhir 2023 ini.
rzn/hp
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif yang kami pilih setiap Rabu untuk kamu. Daftarkan e-mail kamu untuk berlangganan Newsletter mingguan Wednesday Bite.