Pembunuhan tokoh oposisi Rusia, Nemstov di jalanan kota Moskow menyebabkan rakyat Rusia terpecah ke dalam perang saudara diam-diam. Kini ketakutan merebak di kalangan warga.
Iklan
Pembunuhan tokoh oposisi Rusia, Boris Nemstov, dikomentari dengan tajam dalam tajuk harian-harian internasional. Eksekusi dramatis di jalanan kota Moskow terhadap tokoh oposisi yang mantan wakil kepala pemerintahan Rusia itu tidak sekedar kejahatan politik berat. Aksi penembakan pengecut itu juga memecah rakyat Rusia ke dalam perang saudara secara diam-diam.
Demikian komentar harian Rusia Wedomosti yang terbit di Moskow. Lebih lanjut harian ini menulis: Dengan pembunuhan Nemtsov sebuah batasan psikologis diterobos. Terjadi transisi dari kebencian menjadi ketakutan. Aksi berdarah itu menjadi dampak langsung dari haluan yang dicanangkan penguasa Rusia untuk memobilisasi rakyat. Perang di Ukraina dan penciptaan sosok musuh lewat cara propaganda, memecah rakyat Rusia menjadi "kelompok kita" dan "kelompok musuh". Dan penguasa di Kremlin tidak bertindak sebagai wasit, melainkan memihak pada satu kelompok warga. Eskalasi dari haluan ini akan memicu isolasi politik dan ekonomi Rusia, sekaligus represi keras terhadap warga yang merasa tidak puas.
Harian Perancis Le Figaro yang terbit di Paris dalam tajuknya berkomentar: Menyalahkan rezim dan konconya adalah hal terlarang di Rusia. Nemtsov, tokoh oposisi dan mantan wakil perdana menteri di bawah pemerintahan Boris Yeltsin, dengan berani menantang Putin dan mengecam agresi Rusia di Ukraina. Bagi penguasa Rusia, hal ini merupakan kejahatan dan layak ditebus dengan tembakan empat peluru di punggung. Siapapun nanti yang dituduh bersalah sebagai pembunuh, akan sangat mencengangkan, jika pembunuhan tokoh penentang Putin lainnya akan menggoyahkan poisisinya. Lewat Propaganda dan kultus individu, Putin akan tetap berada di puncak popularitas.
Wartawan dan Kebebasan Pers
Sebuah studi mengungkap, situasi yang dihadapi wartawan masih buruk. Berikut negara-negara yang dianggap berbahaya buat awak pers.
Foto: AFP/Getty Images/P. Baz
"Setengah Bebas" di Indonesia
Di Asia Tenggara, cuma Filipina dan Indonesia saja yang mencatat perkembangan positif dan mendapat status "setengah bebas" dalam kebebasan pers. Namun begitu Indonesia tetap mendapat sorotan lantaran besarnya pengaruh politik terhadap media, serangan dan ancaman terhadap aktivis dan jurnalis di daerah, serta persekusi terhadap minoritas yang dilakukan oleh awak media sendiri.
Foto: picture-alliance/ dpa
Kebebasan Semu di Turki dan Ukraina
Pemberitaan berimbang, keamanan buat wartawan dan minimnya pengaruh negara atas media: Menurut Freedom House, tahun 2013 silam cuma satu dari enam manusia di dunia yang dapat hidup dalam situasi semacam itu. Angka tersebut adalah yang terendah sejak 1986. Di antara negara yang dianggap "tidak bebas" antara lain Turki dan Ukraina.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Serangan Terhadap Kuli Tinta
Turki mencatat serangkain serangan terhadap wartawan. Gökhan Biçici (Gambar) misalnya ditangkap saat protes di lapangan Gezi. Menurut Komiter Perlindungan Jurnalis (CPJ), awal Desember lalu Turki memenjarakan 40 wartawan - jumlah tertinggi di seluruh dunia. Ancaman terbesar buat kebebasan pers adalah pengambil-alihan media-media nasional oleh perusahaan swasta yang dekat dengan pemerintah.
Foto: AFP/Getty Images
Celaka Mengintai buat Suara Kritis
Serangan terhadap jurnalis juga terjadi di Ukraina, terutama selama aksi protes di lapangan Maidan dan okupasi militan pro Rusia di Krimea. Salah satu korban adalah Tetiana Chornovol. Jurnalis perempuan yang kerap memberitakan gaya hidup mewah bekas Presiden Viktor Yanukovich itu dipukuli ketika sedang berkendara di jalan raya. Ia meyakini, Yanukovich adalah dalang di balik serangan tersebut.
Foto: Genya Savilov/AFP/Getty Images
"Berhentilah Berbohong!"
Situasi kritis juga dijumpai di Cina dan Rusia. Kedua pemerintah berupaya mempengaruhi pemberitaan media dan meracik undang-undang buat memberangus suara kritis di dunia maya. Rusia misalnya membredel kantor berita RIA Novosti dan menjadikannya media pemerintah. Sebagian kecil penduduk Rusia pun turun ke jalan, mengusung spanduk bertuliskan, "Berhentilah Berbohong!"
Foto: picture-alliance/dpa
Mata-mata dari Washington
Buat Amerika Serikat, mereka adalah negara dengan kebebasan pers. Namun kebijakan informasi Washington belakangan mulai menuai kecaman. Selain merahasiakan informasi resmi dengan alasan keamanan nasional, pemerintah AS juga kerap memaksa jurnalis membeberkan nara sumber, tulis sebuah studi. Selain itu dinas rahasia dalam negeri AS juga kedapatan menguping pembicaraan telepon seorang jurnalis.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Terseret Kembali ke Era Mubarak
Setelah kejatuhan Presiden Mursi yang dianggap sebagai musuh kebebasan pers, situasi di Mesir pasca kudeta militer 2013 lalu terus memanas. Belasan jurnalis ditangkap, lima meninggal dunia "di tangan militer," tulis Freedom House. Media-media yang kebanyakan tunduk pada rejim militer Kairo membuat pemberitaan berimbang menjadi barang langka di Mesir.
Foto: AFP/Getty Images
Situasi di Mali Membaik
Mali mencatat perkembangan positif. Setelah pemilu kepresidenan dan operasi militer yang sukses menghalau pemberontak Islamis dari sebagian besar wilayah negara, banyak media yang tadinya dibredel kembali beroperasi. Kendati begitu perkembangan baru ini diwarnai oleh pembunuhan dua jurnalis asal Perancis, November 2913 silam.
Foto: AFP/Getty Images
Tren Positif di Kirgistan dan Nepal
Beberapa negara lain yang mengalami perbaikan dalam kebebasan pers adalah Kirgistan, di mana 2013 lalu tercatat lebih sedikit serangan terhadap jurnalis. Nepal yang juga berhasil mengurangi pengaruh politik terhadap media, tetap mencatat serangan dan ancaman terhadap awak pers. Loncatan terbesar dialami oleh Israel yang kini mendapat predikat "bebas" oleh Freedom House.
Foto: AFP/Getty Images
Terburuk di Asia Tengah
Freedom House menggelar studi di 197 negara. Setelah melalui proses penilaian, lembaga bentukan bekas ibu negara AS Eleanor Roosevelt itu memberikan status "bebas", "setengah bebas" dan "tidak bebas" buat masing-masing negara. Peringkat paling bawah didiami oleh Turkmenistan, Uzbekistan dan Belarusia. Sementara peringkat terbaik dimiliki oleh Belanda, Norwegia dan Swedia.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Harian Swiss Neue Zürcher Zeitung juga berkomentar senada. Harian yang terbit di Zürich ini dalam tajuknya menulis: Pimpinan puncak di Kremlin bisa cuci tangan dan menujukkan dirinya tidak bersalah. Putin telah memicu iklim yang meningkatkan nasionalisme yang menanamkan kecurigaan massal bahwa musuh negara dan "koloni kelima" mengancam di mana-mana. Siapapun dalang di belakang aksi berdarah itu, terlihat pesan amat jelas terhadap pihak oposisi di Rusia. Inilah aksi menakut-nakuti oposisi yang berharap rezim Vladimir Putin akan goncang akibat krisis ekonomi dan dampak sanksi internasional, yang dapat menghadapi aksi pembunuhan terarah. Kelompok anti rezim Putin harus menghadapi realita gelap. Penguasa Kremlin tidak bersedia melakukan adu kekuatan lewat basis hukum atau argumen. Sebab Kremlin hanya kenal aksi kekerasan brutal.
Harian Hongaria Nepzabadsag yang terbit di Budapest dalam tajuknya menulis komentar yang sangat tajam. Pernyataan dan buka-bukaan fakta yang dilakukan Boris Nemtsov, cukup jadi alasan untuk menemukan "relawan" yang siap membungkam tokoh oposisi ini. Untuk itu tidak perlu petunjuk langsung dari Putin. Karena sistem aparat negara yang didukung mesin agitasi dan propaganda nasional, menciptakan mayoritas warga yang percaya bahwa mereka membutuhkan dunia semacam itu. Karena sistem Putin memberikan janji keamanan dari serangan agresif Barat dan kaum liberal yang serakah. Di dalam dunia semacam ini, lawan politik yang dinilai berbahaya akan segera dilikudiasi.