1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Hukum dan PengadilanIndonesia

RUU Perampasan Aset: Senjata Antikorupsi atau Ancaman Baru?

11 September 2025

Pembahasan RUU Perampasan Aset ingin dipercepat setelah belasan tahun mandek. Dianggap ampuh memulihkan kerugian negara dan lawan korupsi, aturan ini dikhawatirkan bisa jadi bumerang jika penegak hukum belum direformasi.

Aksi protes di Jakarta, 28 Agustus
Rangkaian unjuk rasa yang terjadi pada akhir Agustus dan awal September lalu mendesakkan tuntutan 17+8 seperti pengurangan tunjangan DPR, tetapi juga pengesahan RUU Perampasan Aset yang masih mandekFoto: Willy Kurniawan/REUTERS

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa DPR telah mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Usulan ini lahir dari hasil pertemuan Presiden Prabowo dengan para pimpinan partai. Pernyataan tersebut disampaikan kepada wartawan pada Selasa (09/09) di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Dilansir dari Kompas, pemerintah kini menunggu draf terbaru RUU dari DPR. Setelah rampung, Presiden akan mengirimkan Surat Presiden (Surpres).

Sebelumnya, gelombang unjuk rasa pada akhir Agustus hingga awal September turut mendorong pengesahan RUU ini, yang kembali menggema di ruang publik.

Mahasiswa menuntut pengesahan RUU Perampasan Aset yang masih mandek sebagai bagian dari upaya memerangi korupsi. Namun kesiapan penegak hukum diragukan.Foto: Willy Kurniawan/REUTERS

Dorongan membahas RUU ini bukanlah hal baru. RUU ini pertama kali digagas pada 2009 dan rampung dirancang pada 2012. Namun, pengesahannya mandek selama belasan tahun, melewati tiga presiden yang belum menepati janji.

RUU ini dinilai penting untuk memulihkan kerugian negara akibat kejahatan ekonomi, termasuk korupsi. Karena itu, mahasiswa, buruh, dan berbagai kelompok masyarakat mendesak agar regulasi ini segera disahkan.

Meski begitu, sejumlah pakar mengingatkan potensi penyalahgunaan. Tanpa pengawasan ketat, RUU ini dikhawatirkan bisa jadi pedang bermata dua, membuka celah bagi penguasa bertindak sewenang-wenang.

Yang perlu diperhatikan dari RUU Perampasan Aset

RUU Perampasan Aset mengusung prinsip non-conviction based asset forfeiture, yaitu perampasan aset tanpa menunggu putusan pengadilan. Fokusnya bukan menghukum pelaku, melainkan memulihkan aset yang diperoleh secara ilegal. Mekanisme ini dinilai efisien karena mempercepat pemulihan kerugian negara, membatasi beredarnya duit kriminal dan mengurangi beban proses hukum.

Menurut ahli hukum pidana Chairul Huda, prinsip ini berbeda dari prosedur biasa yang mengandalkan pembuktian di pengadilan. Jika sebelumnya hukuman dijatuhkan lebih dulu, RUU ini menekankan pemulihan aset sebagai prioritas.

“Biasanya kan dibuktikan di pengadilan. Sebelum dia dinyatakan bersalah, harta kekayaannya disita dulu untuk sementara waktu. Begitu dinyatakan bersalah, penyitaan itu berubah menjadi perampasan. Nah ini memakan waktu, memakan biaya, juga belum tentu terbukti. Namun, dengan mekanisme non-conviction ini, di satu sisi negara mempunyai keuntungan karena pemulihan aset. Di sisi lain, orang juga tidak berlama-lama menempuh jalur hukum,” jelas Huda.

Regulasi ini menempatkan penyitaan, perampasan, dan pengejaran aset sebagai prioritas utama. Sebab, menurut kajian Indonesia Corruption Watch (ICW), aset hasil kejahatan yang berhasil dikembalikan ke negara masih di bawah 10 persen. Hal ini disampaikan oleh Tibiko Zabar, aktivis antikorupsi dan anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk RUU Perampasan Aset.

“Regulasi perampasan aset dilatar belakangi dengan kurang optimalnya upaya pemulihan aset dari hasil  tindak pidana kejahatan ekonomi, termasuk korupsi. Jadi, RUU ini tidak hanya bicara korupsi, tapi juga tindak pidana ekonomi secara umum,” ujar Tibiko.

Harapannya, RUU ini bisa diterapkan pada berbagai tindak pidana ekonomi seperti pencucian uang, pasar modal, perbankan, dan asuransi. Bahkan, regulasi ini juga relevan untuk kejahatan lain yang menghasilkan keuntungan ilegal, seperti narkotika dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Area abu-abu yang harus diperjelas

Saat ini, draf RUU yang beredar merupakan versi yang disusun DPR pada 2023. Menurut Huda, ada dua hal penting yang masih perlu diperjelas: definisi perampasan aset dan mekanismenya di lapangan.

“Mekanisme jadi hal terpenting. Ketika orang sudah mengaku bersalah dan menyerahkan aset yang diperoleh secara tidak sah kepada negara, apakah masih ada lagi proses hukum kepada yang bersangkutan?” kata Huda.

Pakar juga mengingatkan potensi tumpang tindih dengan regulasi lain, terutama RKUHAP yang masih dalam pembahasan. 

“Jangan sampai ini jadi redundant dengan undang-undang yang ada. Ini tidak dimaksudkan untuk membuktikan orang bersalah di pengadilan, tetapi jadi suatu penyelesaian di luar pengadilan terhadap dugaan-dugaan tindak pidana tertentu, jadi semacam restorative justice,“ tambahnya.

Kepada DW Indonesia, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Muhammad Nur Ramadhan juga memaparkan lebih lanjut tentang catatan yang perlu diperhatikan DPR.

“Terkait hukum acara, mulai dari proses awal penyanggahan, proses pembekuan transaksi di rekening, penyitaan dan perampasan, itu semuanya perlu diurai lebih lanjut,” jelasnya.

Menurut pernyataan ICW yang dirilis Rabu (10/09), meski RUU Perampasan Aset tidak berfokus pada pemidanaan pelaku, tindakan seperti pemblokiran dan penyitaan aset tetap merupakan bentuk upaya paksa yang membatasi hak individu. Karena itu, mekanisme dalam RUU ini harus dijalankan dengan prinsip kehati-hatian.

Idealnya, menurut Huda, perlu ada judicial scrutiny (pengawasan ketat dari pengadilan) untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia. Selain itu, harus dipastikan bahwa aset yang dirampas benar-benar milik sah tersangka atau terdakwa.

Sementara Nur Ramadhan juga mengingatkan pentingnya kejelasan soal kewenangan antarinstansi, agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan regulasi.

Perlu ada mekanisme dan uraian lebih lanjut dalam RUU Perampasan Aset terkait kewenangan instansi penegak hukumFoto: Detik/Rengga Sancaya

“Penting juga untuk menegaskan siapa yang berwenang terkait RUU Perampasan Aset ini. Apakah kewenangannya hanya tunggal di kejaksaan, atau ada instansi lain yang juga mendukung nantinya,” tambah Nur.

Saat ini, kewenangan kejaksaan sebagai lembaga pengelola aset masih menjadi perdebatan. Sebab, kejaksaan memiliki ruang gerak yang sangat luas mulai dari penyimpanan, pengamanan, hingga pemanfaatan dan pengembalian aset.

“Sejauh ini, Indonesia menyatakan bahwa penegak hukum tindak korupsi ada tiga, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Siapa yang mengatur pembagian kewenangan di antara mereka? Kan tidak ada. Jadi memang harus ada sebuah lembaga yang bisa menguji apakah benar aset ini hasil tindakan korupsi,” jelas Huda.

Tanpa reformasi penegak hukum, UU berpotensi disalahgunakan

Pakar menilai, tanpa adanya reformasi penegak hukum, undang-undang sulit berjalan secara efektif.

“Ketika undang-undangnya berkualitas dan dihadapkan dengan aparat yang belum dirombak atau direformasi, memang akan sia-sia. Yang perlu dilakukan sekarang, memang harus secara selaras dilakukan perubahan terhadap proses penegakan hukum, baik aparatnya, hukum acaranya, undang-undang serta aturannya,” ungkap Nur.

Masalahnya, jika DPR tidak segera membahas RUU ini secara transparan kepada publik, dikhawatirkan akan ada multitafsir dan celah hukum yang dapat disalahgunakan.

“Ini bahaya sekali, kalau semisal penegak hukum tidak suka dengan seseorang, lalu bisa jadi dikatakan hasil korupsi, padahal mungkin ia memperoleh harta tersebut secara sah,” kata Huda.

RUU ini berpotensi merugikan masyarakat sipil jika diterapkan secara sewenang-wenang tanpa pengawasan dan akuntabilitas hukum yang memadai, tambahnya.

Meski ada kekhawatiran, publik tetap menaruh harapan besar pada RUU ini sebagai angin segar dalam upaya memberantas korupsi yang masih merajalela di Indonesia.

“Bagi masyarakat, RUU ini jadi titik terang. Kita melihat banyak sekali orang yang melakukan tindak pidana, tapi kemudian masih memanfaatkan aset-asetnya untuk kepentingan lain. Itulah yang disasar regulasi ini demi melindungi semuanya, khususnya kepentingan masyarakat banyak,“ jelas Nur.

Jika RUU Perampasan Aset dapat segera disahkan dan dijalankan secara ideal, regulasi ini berpotensi menjadi titik balik dalam pemberantasan korupsi sekaligus membuka babak baru bagi Indonesia dalam melawan kejahatan ekonomi.

“UU ini tidak disukai oleh siapa pun yang memegang kekuasaan di pemerintahan, baik legislatif ataupun yudikatif. Sekali lagi, undang-undang ini justru ditakuti oleh pejabat pemerintahan dan parlemen, tapi juga ditunggu para aparat penegak hukum karena mereka bisa main mata di situ,“ ungkap Huda.  

Editor: Hani Anggraini dan Rizki Nugraha

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait