Kesempitan berpikir akan mendapat senjata baru melalui RUU Permusikan. Mengapa pembatasan berekspresi, bahkan dengan ancaman pidana bisa diusulkan lagi? Bagaimana pandangan penulis dan pemerhati musik, Zaky Yamani?
Iklan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan yang kabarnya didorong oleh para pelaku musik, menunjukkan satu hal: semua yang terlibat di dalamnya ingin membatasi inspirasi, interpretasi, dan apresiasi rakyat terhadap karya seni. Dan itu adalah salah satu peringatan bagi semua orang: fasisme dan semangat kediktatoran masih bergentayangan di antara kita.
Sekitar lima tahun lalu, ketika saya menulis novel kedua saya "Pusaran Amuk”, saya mendapatkan pasokan energi dan inspirasi dari beberapa lagu. Yang paling membantu adalah tiga lagu karya kawan saya, Mukti-Mukti, seorang penyanyi dan pencipta lagu balada. Tiga lagu itu adalah "Revolution Is (Menitip Mati)”, "Maesaroh”, dan "Aku Hanya Ingin”. Melalui tiga lagu itu saya berutang pada Mukti-Mukti atas lahirnya salah satu tokoh di novel itu.
Saya kutip lirik dari "Revolution Is (Menitip Mati):
Memahami mata yang kau pejamkan/ Adalah pulau yang jauh/ Di ufuk timur/ Matahari//
Kita yang masih bertani/ Berdiri menatap matahari/Menitip mati/Melumat sepi/esok pagi/ revolusi//
Bagi saya, lirik lagu itu menghadirkan sebuah semangat dalam kepasrahan. Keikhlasan dalam berjuang, untuk tetap berdiri dan tidak bungkam, walau tahu mungkin akan mati hari ini, demi esok yang lebih baik. Bagi saya musik dan lirik lagu itu jadi energi untuk membuat karya dalam bentuk sebuah novel, tentunya dengan didasari kemerdekaan saya untuk menginterpretasi lagu itu.
Tapi saya menduga, lirik yang sama bisa diinterpretasikan secara berlebihan oleh oleh berjiwa fasis: memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok dan perlawanan terhadap kekuasaan.
Lalu apa persoalannya jika sebuah karya melahirkan multi-interpretasi di benak pendengar/penonton/pembacanya?
Seharusnya tidak ada persoalan sama sekali, karena interpretasi adalah hak semua orang, dan dari interpretasi yang berbeda-beda bisa lahir diskusi-diskusi yang kaya dengan pandangan-pandangan baru. Dengan cara seperti itulah kita bisa naik ke tahapan baru dalam memahami dunia.
Cara-cara beradab itu akan menemukan penghalang terbesarnya pada pikiran sempit yang ingin menang sendiri, pada jiwa-jiwa yang melihat segala hal harus seragam. Keberagaman pemikiran selalu mendapat penentangan keras dari orang-orang yang ingin hanya ada satu kebenaran di dunia ini. Di Indonesia sendiri setidaknya ada dua momen di mana penguasa ingin membatasi selera warganya: pemenjaraan Koes bersaudara di zaman Soekarno, dan pelarangan "lagu cengeng” di zaman Soeharto. Dan yang terkini, kesempitan berpikir itu akan mendapat senjata baru melalui RUU Permusikan.
Inspiratif, Musisi Cilik Indonesia di Ajang Grammy
Untuk pertama kalinya musisi Indonesia masuk ajang penghargaan bergengsi musik dunia, Grammy Awards 2016. Dan dia baru berusia 12 tahun.
Foto: Getty Images/AFP/P. Pavani
2 Nominasi Grammy
Pianis cilik asal Bali, Joey Alexander, masuk dalam dua nominasi Grammy, dalam kategori Best Improvised Jazz Solo untuk lagu Giant Step dan Best Jazz Insturmental Album untuk album My Favourite Things. Ia pun menjadi musisi termuda yang masuk dalam nominasi itu.
Foto: picture-alliance/AP Photo/Invision/M. Von Holden
Unjuk Kepiawaian di Grammy
Tak hanya itu, di usianya yang baru 12 tahun, putra kebanggaan Indonesia ini tampil dalam ajang Grammy dan menunjukkan kepiawaiannya bermain piano di dunia internasional. Karena kepiawaiannya bermain piano, banyak media internasional menyebut Joey Alexander sebagai anak ajaib.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Berlatih Sejak Kecil
Joey mengenal music sejak usia 6 tahun dan belajar bermusik secara otodidak. Dalam kompetisi musik jazz Master Jam Fest di Odessa, Ukraina, ia memenangkan Grand Prix Award. Sementara konser perdananya berlangsung Desember 2011.
Foto: Getty Images/T. Wargo
Menyedot Perhatian Media Internasional
Setelah kepiawaian bermain pianonya dilirik banyak musisi jazz kondang, Joey banyak diundang tampil di berbagai ajang bergengsi, termasuk Montreal Intenational Jazz Festival. Kepiawaian bocah bernama lengkap Joey Alexander Sila ini telah diulas di berbagai media Amerika Serikat seperti The New York Times, Daily Telegraph, CNN, WCBS, NBC, majalah musik Down Beat, dan lain-lain.
Foto: Getty Images/AFP/P. Pavani
Mengepakkan Sayap di AS
Joey Alexander mulai menulis komposisi nada sejak usia masih 10 tahun, untuk lagunya yang berjudul "Ma Blues", yang terdapat dalam album perdananya "My Favorite Things". Mengembangkan karier bermusiknya, kini Joey tinggal di New York, Amerika Serikat. Joey kerap tampil di berbagai ajang festival dan konser musik jazz bergengsi, seperti Rochester Jazz Festival dan Newport Jazz Festival.
Foto: Getty Images/AFP/P. Pavani
5 foto1 | 5
Lalu kenapa pembatasan berekspresi itu—bahkan dengan ancaman pidana—bisa diusulkan lagi?
Itu pertanyaan mendasar yang saya pikir terpinggirkan dari hingar-bingar perdebatan tentang RUU Permusikan.
Sejauh yang bisa saya akses, RUU Permusikan itu setidaknya sudah muncul sebagai ide dan dorongan sejak 2017. Seperti terekam dalam catatan berjudul "Laporan Singkat Audiensi Badan Legislasi DPR RI dengan Kami Musik Indonesia” tertanggal 7 Juni 2017. Dalam audiensi itu, yang muncul sebagai pokok-pokok pembahasan terbatas hanya pada bagaimana negara bisa menghargai para musisi, bagaimana mengatur tata kelola industri permusikan agar para musisi bisa hidup sejahtera.
Pokok-pokok pembahasan itu saya pikir masih wajar, karena yang didorong hanyalah masalah apresiasi dan ekonomi saja. Namun lain ceritanya, ketika usulan itu mewujud jadi RUU Permusikan yang dibuka dengan aturan yang membatasi proses kreatif, seperti tercantum di dalam pasal 5 di RUU tersebut.
Pasal 5—dan pasal-pasal lainnya yang mengatur standarisasi pemusik dan penyelenggara acara musik—diberi senjata untuk dipaksakan melalui pasal 50, berupa ancama pidana bagi para pelanggarnya. Saya tidak tahu, apakah kelompok musisi yang mengusulkan RUU Permusikan, menyadari bahaya dari pasal 5 dan pasal 50 bagi kebebasan berekspresi semua orang? Saya khawatir semangat mereka dalam mengusulkan aturan tata kelola industri musik sudah disusupi oleh orang-orang fasis di lingkaran kekuasaan.
Saat Perempuan Iran Masih Boleh Mengamen
Perempuan Persia dalam sejarah dinasti Qajar mendapat kebebasan dalam mengembangkan seni musik dan tari, dan mempertunjukannya di muka publik. Fenomena yang kini jarang ditemui.
Foto: Gemeinfrei
Artis dari Shiraz
Seni musik dan tari berkembang pesat di Iran pada masa kekuasaan dinasti Naser al-Din Shah Qajar (1848- 1896). Perempuan juga memainkan peran mereka dalam bidang tersebut. Perempuan asal kota Shiraz ini tak hanya piawai memainkan alat dawai petik tradisional Iran yang disebut “tar“ atau sejenis sitar, namun juga pandai menari.
Foto: Gemeinfrei
Memetik 'tar'
Alat musik Iran yang disebut “tar“ ini bentuknya seperti biola dengan tangkai panjang. Alat musik ini menggunakan dawai simpatetik dan dawai biasa, serta memiliki ruang resonansi yang bisa menghasilkan suara unik. “Tar“ atau sitar merupakan alat musik yang sering digunakan dalam seni musik klasik Hindustan sejak abad pertengahan. Instrumen ini juga mengalami banyak perubahan.
Foto: Gemeinfrei
Perempuan ini Khusus Menari untuk Pangeran
Selain alat musik, seni tari juga berkembang di era Qajar. Negar Khanoom adalah salah satu perempuan pada era Qajar yang khusus mempersembahkan pertunjukannya di hadapan pangeran Mohammad Hassan Mirza.
Foto: Gemeinfrei
Penari top dari Era Qajar
Penari yang satu ini sangat terkenal di era Qajar. namanya Fathi Zangi. Sejak Revolusi Iran tahun 1979, banyak kelas-kelas di akademi musik ditutup, terutama bagi perempuan
Foto: Gemeinfrei
Berpindah tempat
Para perempuan kelompok penari jalanan ini, sebagaimana kelompok pemusik dan penari lainnya, juga mengadakan pertunjukan dengan berpindah tempat. Mereka berasal dari distrik Salmas.
Foto: Gemeinfrei
Memainkan bermacam instrumen musik
Sementara para perempuan yang tergabung dalam kelompok seni ini memainkan berbagai jenis instrumen musik sambil menari.
Foto: womenofmusic.ir
Laki-laki dan perempuan
Kalau kelompok yang satu ini terdiri dari jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Di masa lalu, mereka saling berbaur dalam mengembangkan seni musik dan tari bersama-sama.
Foto: Gemeinfrei
Tar jadi favorit
“Tar“ boleh dibilang merupakan jenis instrumen musik paling digemari pada era Qajar. Tak cuma laki-laki, perempuan juga berkesempatan untuk memainkannya.
Foto: Gemeinfrei
Memainkan tabuh
Selain alat musik petik, perempuan-perempuan Persia juga bisa memainkan alat musik perkusi.
Foto: Gemeinfrei
Kelompok seni menjamur
Jumlah kelompok-kelompok seni yang tumbuh di era Qajar pun sangat banyak.
Foto: Gemeinfrei
Perbedaan zaman
Semua pemainnya perempuan. Pada era tersebut, perempuan boleh bermain musik dan menari dengan bebas di muka publik. Hal ini jarang ditemui pada masa sekarang. Di masa sekarang ini, jika perempuan bermain musik atau menari jalanan, maka polisi akan datang dan menyuruh pergi.
Foto: honardastan
Kebebasan dan larangan
Jika dulu perempuan Iran mempunyai kebebasan mutlak untuk berkesenian di muka publik, pada masa sekarang ini biasanya mereka hanya boleh bermain musik di konser atau tempat tertutup, itupun terbatas.. Pertunjukan solo perempuan juga dilarang.
Foto: Gemeinfrei
Barat dan tradisional
Ada yang mengenakan pakaian tradisional, ada pula yang mengenakan pakaian barat. Yang jelas mereka menikmati kebebasan mereka dalam berkesenian.
Foto: Gemeinfrei
Kini langka
Tak hanya di jalan-jalan, pada masa sekarang ini jarang perempuan tampil di televisi. Pemain musik pun harus mengikuti kaidah Islam yang berlaku jika tampil di layar kaca. Menurut hukum pidana Iran 1983, seorang yang mengenakan hijab yang buruk dihukum dengan 74 kali dera. Hukuman ini lalu diturunkan pada 1996 dengan penjara atau membayar denda dengan jumlah tertentu.
Foto: womenofmusic.ir
Mereka pun berpindah-pindah
Mereka adalah kelompok musik dari etnis Kurdi. Mereka tergolong piawai dalam berkesenian. Dengan busana unik perpaduan tradisional dan barat, warga Kurdi ini mempertunjukan bakat seni mereka dari satu tempat ke tempat lainnya.
Foto: Antoin Sevruguin
15 foto1 | 15
Kebebasan dari seni
Proses kreatif dalam membuat karya seni berada di dalam wilayah personal para musisi yang tidak bisa dicampuri oleh negara. Pun demikian, interpretasi atas karya para musisi ada di wilayah personal pendengarnya. Karena kalau negara ingin mengatur bagaimana para musisi harus berkarya dan bagaimana para penikmat musik harus menginterpretasi karya-karya itu, artinya negara ingin memenjarakan isi kepala rakyatnya—yang adalah tindakan yang sia-sia.
RUU Permusikan juga mendasarkan argumennya pada sebuah naskah akademik yang tidak layak. Banyak yang menyoroti berbagai aspek di dalam naskah akademik itu, tapi satu hal yang saya soroti, yaitu hal pemidanaan. Tim pembuat naskah akademik tidak merujuk pada referensi apa pun tentang kenapa harus ada pemidanaan, dan memberikan anjuran berdasar pada sebuah asumsi "...Ketentuan ini untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari pengaruh negatif karya musik.” Juga tidak ada penjelasan ilmiah apa pun tentang pengaruh negatif karya musik, dan bagaimana pemidanaan akan melindungi masyarakat.
DPR RI yang serampangan membuat RUU Permusikan, dengan mengedepankan pelarangan-pelarangan berekspresi di dalamnya, membuat saya khawatir, RUU Permusikan adalah potret jiwa fasisme yang masih kuat dan wujud keterbelakangan intelektual para pembuat kebijakan negara ini. Lebih berbahaya lagi, mereka berada di lingkaran kekuasaan dan bisa memaksakan aturan walau argumennya lemah.
Sebelum ramai tentang RUU Permusikan, belakangan ini kita melihat, langkah-langkah memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat juga mulai gencar lagi dilakukan oleh tentara, misalnya melalui razia buku-buku yang menyentuh tema komunis dan komunisme. Juga kita bisa melihat ada semangat fasisme yang sama beberapa tahun lalu ketika muncul usulan untuk pembentukan badan sensor buku.
Dengan munculnya RUU Permusikan dan razia buku, sudah sewajarnya semua orang waspada pada upaya pihak-pihak di lingkaran kekuasaan yang ingin lagi membungkam sikap kritis dan tradisi intelektual untuk berbicara, berpikir, dan berekspresi secara merdeka. Sayangnya ada saja orang-orang yang terlalu naif, yang tidak melihat pembungkaman sebagai ancaman bagi demokrasi, seperti para musisi dan para politisi yang tetap mendukung RUU Permusikan digolkan secepatnya.
Namun, di tengah segala kekhawatiran itu, saya bersyukur masih banyak musisi dan nonmusisi yang memiliki kesadaran untuk menolak RUU Permusikan. Aksi mereka mewujud dalam berbagai diskusi di berbagai kota, bahkan sebagian telah menyampaikan keberatannya secara resmi di DPR RI. Bolehlah kita berharap, pikiran-pikiran sempit akan selalu dihadang oleh pikiran-pikiran merdeka.
Zaky Yamani
Jurnalis dan novelis
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.
Festival Musik Rumah Dari Hamburg
Festival Musik Rumah menampilkan lebih 40 kelompok musik di puluhan kota dan lokasi. Partisipan dari Jerman adalah TOFFI Hamburg, yang manggung hari Minggu, 19 Agustus 2018.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Membangun kebersamaan dengan musik
Gagasan Festival Musik Rumah 2018 muncul di Jakarta dengan motto: merayakan kebhinekaan, merawat kebersamaan. Gagasan ini segera bersambut di Hamburg, Jerman. Grup TOFFI Hamburg menggelar konser rumah pada hari Minggu, 19 Agustus 2018.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Priskila Wowor
Acara dibuka dengan penampilan musisi muda yang lahir tahun 1990 di Bandung dan sekarang tinggal di Jerman. Dia menulis dan menyanyikan lagu-lagunya sendiri dan sedang menyiapkan rekaman perdananya.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Berangkat dari gitar klasik
Priskila menulis lagu dalam berbagai bahasa (Indonesia, Inggris, Jerman). Dia belajar gitar klasik sejak usia 10 tahun. Pindah ke Jerman, dia melanjutkan karir sebagai penyanyi dan penulis lagu dengan genre pop/akustik.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Lagu-lagu daerah Nusantara
TOFFI Hamburg menyajikan lagu-lagu daerah dari berbagai kawasan di Indonesia, dari Aceh sampai Maluku. Yang menarik, ada kelompok pemusik asal Suriah yang bergabung dan ikut memainkan melodi Indonesia.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Dengan sitar dan rebana
Para pemusik asal Suriah ternyata senang mengiringi lagu-lagu Indonesia dengan penuh semangat.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Berbagai bangsa
Anggota TOFFI Hamburg berasal dari berbagai daerah dan bangsa, termasuk orang Jerman seperti Gabriela, yang menyediakan rumah dan tamannya menjadi lokasi Konser Rumah
Foto: DW/H. Pasuhuk
Sajian khusus
Tidak ketinggalan, putra tuan rumah, Andre, juga menyumbangkan lagu yang memukau dengan iringan gitar.
Foto: DW/H. Pasuhuk
Menikmati musik pada hari cerah
Sebagian penonton Konser Rumah TOFFI Hamburg menikmati lagu-lagu Indonesia dari halaman belakang sambil menikmati udara cerah. (hp/rzn)