1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikThailand

Bocoran Percakapan Telepon Picu Krisis Politik di Thailand

Iryanda Mardanuz Reuters, AFP
20 Juni 2025

Thailand dilanda krisis usai percakapan telepon perdana menteri Thailand bocor dan beredar luas di internet. Skandal ini memicu kemarahan publik dan elite politik hingga ancaman penggulingan pemerintahan.

Paetongtarn Shinawatra – Pewaris politik Thailand yang sedang naik daun
Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra saat konferensi pers di Parlemen ThailandFoto: Seksan Rochanametakul/SOPA/IMAGO

Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra dijadwalkan menemui kepala staf angkatan darat yang sempat dia sebut sebagai "lawan" dalam percakapan telepon yang bocor ke publik. Kunjungan pada Jumat (20/06) itu dilakukan sebagai bagian dari upaya meredakan krisis politik yang mengancam untuk menggulingkan pemerintahannya.

Paetongtarn, 38 tahun, yang baru menjabat kurang dari satu tahun, terpaksa menyampaikan permintaan maaf secara terbuka pada Kamis (19/06), setelah percakapan teleponnya dengan mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, beredar luas di internet dan memicu kemarahan publik serta elite politik.

Krisis ini memuncak ketika Partai Bhumjaithai yang merupakan mitra koalisi utama Pheu Thai, mengumumkan penarikan diri dari pemerintahan pada Rabu (18/06). Partai konservatif tersebut menuduh Paetongtarn telah menghina negara dan militer, meninggalkan koalisi dalam kondisi rapuh.

PM Paetongtarn Shinawatra saat menghadiri debat ketidakpercayaan di gedung Parlemen ThailandFoto: Sakchai Lalit/AP/dpa/picture alliance

Namun, kabar baik bagi Paetongtarn, Partai Demokrat, mitra koalisi besar lain, menyatakan tetap mendukung pemerintah. “Partai Demokrat akan tetap berada di pemerintahan untuk membantu mengatasi tantangan yang dihadapi negara saat ini,” demikian menurut pernyataan resmi.

Dukungan juga datang dari partai kecil lain, seperti Chartthaipattana, yang menyatakan tidak akan menarik diri usai pertemuan darurat dengan Partai Demokrat dan Partai Persatuan Bangsa Thailand (UTN) pada Kamis (19/06) malam.

Meski demikian, hengkangnya Bhumjaithai membuat koalisi Pheu Thai hanya memegang mayoritas tipis di parlemen. Jika satu partai lagi menarik dukungan, pemerintahan Paetongtarn terancam ambruk dan membawa Thailand ke arah ketidakstabilan politik di tengah ekonomi yang melemah dan ancaman tarif perdagangan dari Presiden AS Donald Trump.

Upaya meredakan ketegangan

Kunjungan Paetongtarn ke Thailand bagian timur laut pada Jumat (20/06) bertujuan menjalin kembali komunikasi dengan Letnan Jenderal Boonsin Padklang, komandan pasukan di wilayah, yang merupakan area rawan konflik perbatasan. Dalam percakapan telepon yang bocor, Paetongtarn menyebut Boonsin sebagai “lawan” ketika berbicara dengan Hun Sen mengenai sengketa wilayah.

Pemerintah Thailand telah secara resmi memprotes kebocoran tersebut kepada Kamboja, menyebutnya sebagai pelanggaran protokol diplomatik yang berpotensi merusak kepercayaan bilateral.

Dalam isi percakapan yang bocor, Paetongtarn juga dikritik karena dinilai terlalu lemah dalam berbicara dengan Hun Sen, tokoh senior politik yang dikenal lihai. Namun, justru komentarnya tentang komandan militer dipandang sebagai ancaman paling serius bagi posisinya.

Militer Thailand selama ini memiliki peran besar dalam politik. Politisi sipil pada umumnya berhati-hati agar tidak berseteru dengan para jendral.

Polisi Thailand berjaga di tengah protes anti pemerintahFoto: Chalinee Thirasupa/REUTERS

Permintaan maaf publik yang disampaikan Paetongtarn pada Kamis (19/06) dilakukan di hadapan para panglima militer dan kepolisian, sebuah isyarat penting untuk menunjukkan persatuan nasional.

Di jalan-jalan ibu kota, sejumlah unjuk rasa kecil terjadi di jalan-jalan, disertai seruan agar dia mundur atau mengumumkan pemilu. Namun untuk saat ini, dukungan dari mitra koalisi dan permintaan maaf perdana menteri di depan publik berhasil membantu meredakan ketegangan.

Meski demikian, dengan hanya mengantongi mayoritas tipis di parlemen dan menghadapi koalisi yang rapuh, Paetongtarn tetap berada dalam posisi rentan.

Bayang-bayang masa lalu dan dinasti politik Shinawatra

Dia mulai menjabat pada Agustus tahun lalu, didukung oleh koalisi tak lazim antara Pheu Thai dan sejumlah partai konservatif pro-militer, kelompok yang selama dua dekade terakhir menjadi musuh politik ayahnya, Thaksin Shinawatra.

Thaksin, yang dua kali terpilih sebagai perdana menteri, digulingkan dalam kudeta militer pada 2006. Sejak itu, politik Thailand didominasi oleh pertarungan antara elit konservatif pro-monarki dan gerakan populis yang dipelopori Thaksin.

Mantan pemilik klub sepak bola Manchester City yang kini berusia 75 tahun itu masih memiliki basis dukungan kuat di pedesaan, berkat kebijakan pro-rakyat yang dijalankannya pada awal 2000-an. Namun, di mata kalangan elite, dia dianggap korup, otoriter, dan ancaman bagi stabilitas negara.

Paetongtarn Shinawatra, yang merupakan perdana menteri perempuan kedua dan pemimpin termuda dalam sejarah modern Thailand, menghadapi situasi pelik selama berbulan-bulan, dengan kelesuan ekonomi yang menghambat program partai, serta koalisi pemerintahan yang sulit dikendalikan.

Paetongtarn sebelumnya lebih dikenal sebagai pengusaha keluarga sebelum masuk ke dunia politik. Sejak kecil dia ikut merasakan dinamika politik Thailand yang bergejolak.

Dia baru berusia delapan tahun ketika sang ayah, Thaksin Shinawatra, memulai karier politiknya pada 1994 hingga akhirnya menjadi perdana menteri pada 2001, sebelum digulingkan oleh kudeta militer lima tahun kemudian.

Pada 2011, bibinya, Yingluck Shinawatra, sempat menjabat sebagai perdana menteri sebelum digulingkan lewat putusan pengadilan, yang diikuti oleh kudeta militer.

Dalam kampanye pemilu 2023, Paetongtarn berusaha menghidupkan kembali kejayaan dinasti dengan menonjolkan warisan kebijakan populis dan janji pemulihan ekonomi.

Mantan PM Thailand, Yingluck Shinawatra Foto: Larry Busacca/Getty Images

Kini, dia menghadapi situasi serupa dengan sang ayah, sebuah gejolak politik yang bisa mengakhiri tidak hanya masa jabatan singkatnya, tetapi juga masa depan dinasti politik Shinawatra di Thailand.

“Tekanan diarahkan agar perdana menteri mundur, bukan pembubaran parlemen,” ujar Olarn Thinbangtieo, dosen ilmu politik di Universitas Burapha, yang menilai parlemen bisa saja memilih Anutin Charnvirakul dari Bhumjaithai untuk menggantikan Paetongtarn.

Tindakan dan keputusan Paetongtarn dalam krisis ini diyakini akan sangat menentukan nasib dinasti politik Shinawatra ke depan.

“Ini bisa jadi akhir dari nama besar Shinawatra,” kata Thitinan Pongsudhirak dari Universitas Chulalongkorn. “Dia benar-benar merusaknya."
 

Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Iryanda Mardanuz
Editor: Rizki Nugraha

Iryanda Mardanuz Junior Correspondent, Deutsche Welle Asia Pacific Bureau / Reporter, Deutsche Welle Indonesia
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait