Kisah cinta berbalut mistis tentang pemuda miskin, Setio yang jatuh cinta dengan puteri bangsawan jawa, Asih. Restu yang tak kunjung didapat membuat Setio nekad membuat perjanjian dengan Setan.
Iklan
Dalam pameran bertajuk Listening to the World yang diadakan Humboldt Forum di Berlin, Jerman, pada Sabtu malam (22/09), sutradara kawakan Indonesia Garin Nugroho diundang untuk mementaskan film bisu garapannya yang berjudul ‘Setan Jawa'.
Berlatar di era kolonial Indonesia, kisah cinta ini menceritakan perjuangan seorang warga desa miskin bernama Setio yang diperankan Heru Purwanto dalam merebut hati Asmara Abigail yang memerankan Asih, seorang puteri jawa yang cantik. Untuk memenangkan cintanya, dia membuat perjanjian dengan Setan. Namun setan memberikan persyaratan yang tak dinyana oleh pasangan tersebut dan menyebabkan akhir yang tragis.
Kisah ini terinspirasi oleh film horor bisu asal Jerman ‘Nosferatu‘ (1922) karya Friedrich Wilhelm Murnau. Selain itu Garin juga mengombinasikan pementasan musik gamelan untuk mengiringi film yang diputar di layar.
Uniknya dalam pementasan tersebut gamelan turut diiringi musik orkestra dari Rundfunk-Sinfonieorchester Berlin yang dikonduktori oleh komponis Australia Iain Grandage.
"Pertunjukannya sangat bagus, sangat mengesankan. Yang sangat saya sukai adalah ada orkestra kecil, itu adalah sebuah film yang bagus dan orkestranya luar biasa,” kata salah satu penonton bernama Chiara. "Sempurna, Benar-benar sempurna. Sungguh harus ditonton dan semuanya benar-benar bagus,” ungkapnya menambahkan saat reporter DW Indonesia menanyakan kesan Chiara tentang perpaduan orkestra dan gamelan.
Setan Jawa Hadir di Berlin
01:36
Sang Sutradara Film mengungkapkan bahwa perpaduan budaya penting bagi seorang seniman film. "Kita selalu ingin menciptakan sinkritisme-sinkritisme baru dalam berbagai bentuk. Dalam musik, tari dan teater contohnya. Setiap kita melakukan pertemuan kebudayaan pasti menghasilkan petualangan baru," ujar Garin Nugroho.
Untuk itu Garin berharap insan perfilman Indonesia banyak melakukan percobaan dalam menghasilkan karya. "Karena dengan percobaan itulah personalitas dapat tumbuh dan berdialog dengan dunia,” tutupnya.
Artis serba bisa: bintang film, sutradara, penulis skenario dan komponis. Dilahirkan pada 16 April 1889, ia tetap tidak terlupakan.
Foto: AP
Lelucon dan Kemurungan
Kumis hitam dan topi bowler, tongkat dan cara melangkah yang khas dengan sepatu berukuran sangat besar. Itulah ciri khas Charlie Chaplin, dan masih dikenal orang sampai sekarang. Seperti dalam filmnya yang paling sukses, "The Kid" (1921), tokoh yang diperankannya dalam film "The Tramp" menampilkan lelucon dan keputusasaan serta kemurungan.
Foto: AP
Miskin sebelum Jadi Bintang
Ia lahir 1889 di dekat London, meninggal 1977 di Swiss. Hidupnya penuh dengan kesuksesan di bidang film dan skandal publik. Charles Spencer Chaplin berasal dari keluarga miskin dan mendapat bayaran jutaan di Hollywood. Filmnya, "The Gold Rush" (1925) mengedepankan tema realita menyedihkan dan impian akan emas dan kekayaan.
Foto: picture-alliance / United Archives/TopFoto
Antara Kebisuan dan Suara
Sebagian besar karya Chaplin diciptakan di era film bisu. Film "City Lights" digarapnya ketika film bersuara mulai dibuat. Tapi Chaplin bukan penggemar film jenis baru ini. Ia hanya menggunakan sedikit dialog dengan suara dan hampir seperti eksperimen. Film-filmnya menunjukkan, cuma dengan mimik serta pantomim, gerakan juga tampilan, berfungsi baik bagi Chaplin sampai sekarang.
Foto: AP
Banyak Perempuan, Beberapa Istri
Charlie Chaplin menikah empat kali. Ini foto istrinya, Lita Grey Chaplin dan dua anaknya dari tahun 1931. Chaplin sering tertarik pada perempuan muda. Itu sering mendatangkan kemarahan. Baik di AS, maupun di negara asalnya Inggris, ia sering mendapat kritik moral yang keras.
Foto: picture-alliance/AP
Kritik terhadap Masyarakat
Hanya di film-film pertamanya, ia memainkan karakter yang tidak simpatik. Setelah itu ia terus memainkan peran yang jadi ciri khasnya, yakni 'underdog', yang tidak menerima begitu saja situasi hidupnya. Di karya-karya besar seperti "Modern Times" (1936) ia juga mengkritik masyarakat dengan tampil sebagai orang yang terjepit roda industrialisasi.
Foto: picture-alliance/dpa
Melawan Hitler
Karya besar yang tidak terbatas waktu diciptakan Chaplin tahun 1940 dengan judul "The Great Dictator" (diktator besar). Lewat film ini Chaplin mengkritik Hitler dan rezim Nazi. Setelah itu ia mengatakan, jika tahu tentang adanya kamp konsentrasi NAZI ia tidak akan membuat film tersebut. Tetapi "The Great Dictator" sekarangpun masih layak dilihat.
Foto: AP
Merefleksi Peran Sendiri
Dalam karyanya "Limelight" Chaplin merefleksi kembali pengalamannya. Ia juga mengedepankan topik hidup sebagai seniman yang penuh kesuksesan dan kegagalan. Film itu pertama kali diputar 1952. Ketika itu Chaplin sedang berada di Inggris, dan di AS ia dituduh dekat dengan ide komunis. Akibatnya ia tidak diijinkan kembali ke AS.
Foto: picture-alliance/dpa
Masih Hadir di Mana-Mana
Sampai sekarang, tidak ada tokoh dalam sejarah perfilman yang tetap terkenal seperti Charlie Chaplin. Baik dalam iklan, maupun di pusat perbelanjaan, pada plakat, gambar atau di internet, bisa dilihat tokoh pengelana dari "The Tramp" dengan ciri khas Charlie Chaplin. Chaplin terkenal di berbagai masa, walaupun masa jayanya sudah berlalu.