1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Saat Media Berguguran

Indonesien  | Farida Indriastuti -  Blogger
Farida Indriastuti
21 Maret 2023

Kamu masih ingat majalah Bobo? Bersama tabloid Nova dan lainnya tak bisa dibuka lembaran cetakannya lagi. Mungkin di antara kalian masih ingat menunggu datangnya majalah dan tabloid tersebut? Opini Farida Indriastuti.

Majalah Bobo tinggal nostalgia?Foto: Ardan/detikcom

Setelah 73 tahun Radio BBC News Indonesia mengudara di seluruh Indonesia, kini para pendengar tidak dapat mendengarkan siaran berita melalui gelombang radio per 30 Desember 2022. Pendengar hanya dapat mendengarkan siaran berita BBC melalui jaringan internet di website. Begitu juga, bagi pembaca Harian Republika, koran yang berusia 30 tahun ini berhenti cetak pada 31 Desember 2022, dan memulai langkah baru dengan bermigrasi sepenuhnya ke platform digital. Selain itu, empat media cetak lainnya, yakni majalah Mombi, majalah Mombi SD dan majalah Bobo berhenti cetak pada 21 Desember 2022. Lalu disusul oleh tabloid Nova yang berhenti cetak pada 22 Desember 2022.

Pada rentang waktu 2015 hingga 2021 saja, banyak koran, tabloid, majalah berguguran, seperti majalah Hai, koran Sinar Harapan, majalah Soccer, Harian Bola, Jakarta Globe, majalah Readers Digest Indonesia, majalah Kawanku, Indonesia Finance Today, majalah Fortune Indonesia, Bloomberg Business Week, majalah Maxim, majalah Chip, Techlife, tabloid Gaul dan lain-lainnya. Tidak semua media sanggup bermigrasi ke platform digital, beberapa perusahaan media benar-benar mematikan medianya, sungguh senja kala!

Meskipun media dan jurnalis melawan takdirnya, mau tidak mau, media mainstream harus menyelamatkan nasibnya untuk beralih ke platform digital. Mari tengok potensi pembaca melalui jaringan internet, dari data hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet (APJII) pada periode 2021-2022, terdapat 210,03 juta pengguna internet di Indonesia. Jumlah ini meningkat 6,78 persen dibandingkan periode sebelumnya, sebesar 196,7 juta pengguna internet, hal ini membuat tingkat penetrasi internet di Indonesia menjadi sebesar 77,02 persen.

Penulis: Farida Indriastuti Foto: Farida Indriastuti

Membidik target audiens

Tingkat penetrasi internet paling tinggi di kelompok usia 13-14 tahun sebesar 99,16 persen. Posisi kedua ditempati oleh kelompok usia 19-34 tahun dengan tingkat penetrasi sebesar 98,64 persen. Sedangkan penetrasi internet di rentang usia 34-54 tahun sebesar 87,30 persen. Sisanya, tingkat penetrasi internet di kelompok usia 55 tahun ke atas sebesar 51,73 persen, dan di kelompok usia 5-12 tahun sebesar 62,43 persen.

Tentu media dan jurnalis harus melihat memanfaatkan peluang dari krisis media ini, bahwa mayoritas pembaca media di Indonesia telah beralih ke platform digital. Saya mencontohkan, Mother Jones media yang berbasis di San Fransisco, Kalifornia, Amerika Serikat, mengembangkan bisnis media cetak dan platform digitalnya dengan sistem fundrising, sponsor program, keanggotaan berbayar dan cara-cara bisnis lain yang independen, dengan tetap mempertahankan kualitas jurnalisme mereka di platform digital, baik dalam bentuk features, in depth report, investigative report, photos essay, visual investigative dan lainnya. Mother Jones yang fokus pada investigative journalism dengan topik-topik yang menarik, seperti isu-isu lingkungan, politik, hak asasi manusia, kesehatan dan budaya, telah bekerja sejak Februari 1976 dan telah berusia 46 tahun, di bawah perusahaan The Foundation for National Progress.

Kualitas media online

Ironisnya, media-media dengan platform digital di Indonesia tidak semua memiliki kualitas jurnalisme yang baik, dengan mematuhi prinsip Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Kode Perilaku Jurnalis (KPJ). Media online di Indonesia memang tumbuh bak jamur di musim hujan. Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) pada 2019 mencatat, dari 47 ribu media online, baru 2.700 media online yang terverifikasi oleh Dewan Pers.

Setidaknya di beberapa kota seperti di Yogyakarta, Bandung, Pekanbaru, Padang dan kota-kota lainnya di Indonesia, para kontributor mengeluhkan rendahnya upah per berita. Bahkan jika diperoleh gaji perbulan pun masih di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). "Di Kota Padang, banyak rekan kontributor media online mendapat upah Rp 10 ribu hingga Rp 25 ribu per berita. Upah rendah, kualitas berita juga rendah, "keluh Yose Hendra, jurnalis senior di Kota Padang.

Berita yang bombastis, kehilangan empati, abai kaidah verifikasi, tidak cover both side, dan cenderung seksis pada isu-isu perempuan-- banyak saya temui saat membaca media di platform digital. Tentu logis, jika upah yang rendah, sulit untuk melakukan upgrade skills. Sedangkan media-media mainstream yang menjadi ujung tombak atas informasi yang faktual, harus menghadapi "musuh” lainnya, yakni hoaks yang bertebaran di berbagai media sosial seperti, Facebook, Twitter, TikTok, Instagram, Youtube dan lainnya.

@faridaindria, penulis dan pewarta foto, gemar keliling Indonesia untuk meneliti dan mendokumentasikan beragam aspek kehidupan.

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini dan turut berdiskusi di laman Facebook DW IndonesiaTerima kasih.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait