Mendadak Bumi Manusia menjadi 'hits'. Kedahsyatannya yang dulu di masa Orde Baru diberangus, kini diminati generasi milenial. Di balik perbebatan pembuatan filmnya, ada hal penting lainnya. Berikut opini Wahyu Susilo.
Iklan
Saya sempat terkejut ketika Sema, pekerja rumah tangga yang bekerja di rumah, bertanya serius sambil lihat-lihat deretan buku di lemari perpustakaan: "Om Wahyu, punya buku Bumi Manusia ya, boleh saya pinjam?”
Belum sempat aku menjawab, Cesia, anakku yang kelas 1 SMP, juga teriak: "Aku juga mau pinjam, mau baca Bumi Manusia”.
Ternyata usut punya usut, sedang ramai di televisi, bahkan di layar infotainment beredar kabar bahwa novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toersegera difilmkan oleh sutradara Hanung Bramantyo. Sementara pemeran Minke (tokoh utama dalam novel Bumi Manusia) adalah Iqbaal Ramadhan (yang dianggap sukses memerankan Dilan dalam film Dilan 1990 yang menyedot hingga lebih dari 6 juta penonton).
Tentu saja pengetahuan saya tentang infotainment kalah update dengan Sema dan Cesia, apalagi infotainment "zaman now” kalangan milenial, hingga terheran-heranlah saya atas kejutan di atas.
Tak lama setelah kejutan itu, ramailah di linimasa media sosial, terutama twitter dan facebook, pro-kontra mengenai rencana difilmkannya Bumi Manusiadengan sutradara Hanung Bramantyo dan Iqbaal Ramadhan sebagai pemeran Minke.
#PustakaBergerak Tebar Buku Hingga ke Pelosok Terpencil
Di tengah maraknya pemberangusan buku, Pustaka Bergerak tak kenal lelah bangkitkan minat baca dengan perahu, motor, becak bendi,dll. hingga ke pedalaman. Di Mandar, Nusa Pustaka dibangun sekaligus jadi museum maritim.
Foto: Maman Suherman
Perpustakaan di Mandar
Nusa Pustaka adalah perpustakaan milik Muhammad Ridwan Alimuddin di Desa Pambusuang Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi barat yang diresmikan Maret 2016.
Foto: Maman Suherman
Armada pustaka
Mengandalkan Armada Pustaka untuk membuka ruang baca ke masyarakat Sulawesi Barat, Muhammad Ridwan Alimuddin mendirikan ativitas literasi lewat Nusa Pustaka di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Ridwan, pejuang literasi
Muhammad Ridwan Alimuddin dulunya merupakan mantan wartawan. Ia punya kepedulian luar biasa terhadap buku dan usaha membangkitkan minat baca hingga ke pelosok.
Foto: M. Ridwan
Dengan perahu
Dengan perahu atau sampan, Ridwan berkelana membawa buku ke pulau-pulau kecil, agar bisa sampai kepada anak-anak di pelosok terpencil yang haus buku bacaan .
Foto: M. Ridwan
Museum maritim
Perpustakaan ini sekaligus merupakan museum maritim Mandar. Saat ini Perpustakaan Museum Nusa Pustaka mengoleksi lebih dari 6000 buku dan beberapa artefak kebaharian. Misalnya tiga unit sandeq, replika perahu, beberapa alat bantu kerja nelayan dan artefak bangkai perahu Mandar.
Foto: Maman Suherman
#TebarVirusLiterasi
Tujuan utama dibangunnya Nusa Pustaka adalah agar buku-buku dapat dimanfaatkan secara maksimal, mudah diakses masyarakat yang ingin membaca dan meminjam buku setiap saat.
Foto: Maman Suherman
Bisa membaca dimana saja
Nusa Pustaka itu menampung sedikitnya 6.000 buku bacaan, baik buku sastra, komik, budaya, maritim, maupun buku ilmu pengetahuan umum. Anak-anak bisa membaca di mana saja dengan santai, bahkan di luar perpustakaan.
Foto: Maman Suherman
Dukungan sahabat
Motivator dan penulis Maman Suherman setia menemani perjuangan Ridwan. Ketika Maman ikut berlayar bersama perahu pustaka, perahu terbalik di lautan pada 13 Maret 2016, tepat pada hari peresmian Nusa Pustaka. Hampir semua warga di pantai bergegas berupaya menyelamatkan mereka dan buku-buku yang karam ke laut.
Foto: DW/M. Ridwan
Minat besar
Masyarakat setempat khususnya anak-anak amat antusias menyambut Nusa Pustaka. Bahkan ketika masih persiapan pembangunannya pun beberapa pelajar setiap hari sudah mampir ke Nusa Pustaka untuk bisa membaca buku.
Foto: Maman Suherman
Dukungan dari manca negara
David Van Reybrouck, sejarawan dari Belgia memberikan dukungan bagi inisiatif ini. Penulis karya sastra non-fiksi, novel, puisi dan drama ini berkunjung ke Nusa Pustaka dan berdiskusi dengan masyarakat setempat.
Foto: Maman Suherman
Andalkan berbagai armada demi ilmu pengetahuan
Armada Pustaka selain memiliki Perahu Pustaka, juga menyebar buku lewat Motor Pustaka, Sepeda Pustaka, Bendi Pustaka dan Becak Pustaka, yang menjadi tonggak gerakan literasi bersama.
Foto: Maman Suherman
Bendi pustaka
Delman atau bendi lazimnya juga disulap oleh para pegiat literasi ini menjadi perpustakaan keliling di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Foto: Maman Suherman
Sang sais Bendi Pustaka
Rahmat Muchtar, keua dari kiri, adalah sais Bendi Pustaka. Ia berfoto bersama Maman dan Ridwan.
Foto: DW/M. Ridwan
13 foto1 | 13
Dasyatnya Bumi Manusia
Ada banyak perdebatan, kenyinyiran, pembelaan dan ketidakrelaan sekaligus ketakutan bahwa film ini akan menurunkan derajat kedahsyatan novel Bumi Manusia.
Silang sengketa itu sah adanya dan jelas-jelas diperlukan. Tentu kita bersyukur bahwa perdebatan tersebut terjadi zaman sekarang dimana membaca buku Bumi Manusia (serta karya-karya lain Pramoedya Ananta Toer)tidak lagi secara sembunyi-sembunyi seperti yang terjadi di zaman Orde Baru.
Secara sengaja, setelah ramai perbincangan mengenai Bumi Manusia di rumah dan di media sosial, saya mendatangi beberapa toko buku besar di kawasan Jabodetabek dan mendapati bahwa buku Bumi Manusia ludes tak tersisa sementara tiga novel pelanjut tetralogi Pramoedya Ananta Toer (Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) masih banyak menumpuk.
Tentu saja kita tak boleh menghabiskan energi terbuang sia-sia hanya untuk memperdebatkan "kepantasan” Hanung Bramantyo menyutradarai Bumi Manusia dan kemilenialan-nya Iqbaal Ramadhan memerankan Minke, sementara pembuatan film-nyapun masih berproses.
Indonesia Terus Kembangkan Sayap di Pameran Buku Frankfurt 2017
Di Frankfurt Book Fair 2017, Indonesia memboyong ratusan judul buku. Bagaimana sepak terjang Indonesia di pameran buku terbesar di dunia ini?
Foto: DW/A.Purwaningsih
Kembali tampil di Frankfurt
Indonesia kembali berpartisipasi dalam ajang pameran buku 'Frankfurt Book Fair'. Dalam ajang salah satu pameran buku terbesar sedunia ini, Indonesia memboyong sekitar ratusan judul buku.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Sejak jadi tamu kehormatan...
Ketua Komite Buku Nasional, Laursa Prinsloo menjelaskan, sejak Indonesia menjadi tamu kehornatan pameran buku Frankfurt 2015, cukup banyak perkembangan dalam dunia literasi di tanah air, dimana kini mulai diciptakan strategi untuk bisa memasarkan buku-buku Indonesia berkualitas di mancanegara, misalnya lewat bantuan subsidi riset dan pelatihan promosi bagi penulis.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Program residensi bagi penulis
Subsidi riset bagi penulis diberikan lewat program residensi bagi penulis untuk melakukan riset di mancanegara. Mereka tersebar hingga ke Inggris, Belanda dan Portugal. Salah satu peserta residensi adalah Zaky Yamani penulis buku "Bandar: Keluarga, Darah dan Dosa yang Diwariskan". Untuk keperluan risetnya, ia bermukim selama tiga bulan di Portugal.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Diminati pengunjung
Stand Indonesia cukup banyak diminati pengunjung. Banyak di antara mereka yang melakukan janji temu dengan sejumlah perwakilan penerbit Indonesia yang berpartisipasi dalam pameran kali ini.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Buku anak digemari
Buku anak Indonesia yang dipamerkan di Frankfurt Book Fair 2017 banyak peminat. Beberapa penerbit Indonesia yang memamerkan buku anak mengatakan banyak sekali penerbit dari luar negeri yang tertarik untuk membeli hak cipta buku-buku tersebut.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Di tanah air bersaing dengan Korea
Meski demikian Noni Timotius dari penerbit Bhuana Ilmu Populer menjelaskan, buku-buku Indonesia di tanah air sendiri juga masih harus bersaing dengan buku-buku dari mancanegara terutama Korea Selatan, yang banyak diminati orangtua untuk diberikan kepada buah hati mereka, mengingat banyaknya unsur pendidikan dalam buku-buku tersebut.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Ajang diskusi dalam pameran buku
Dalam pameran buku kali ini, Indonesia juga tampil dengan berbagai diskusi. Salah satu di antaranya adalah diskusi tentang toleransi di Indonesia, yang menghadirkan penulis Zaky Yamami, Avianti Armand dan Ben Sohib. Ketiganya juga mengikuti program residensi Komite Buku Nasional.
Foto: DW/A.Purwaningsih
Pembacaan buku
Sejumlah buku juga dibacakan oleh para penulis Indonesia, seperti Wajah Terakhir karya Mona Slyviana dan karya-karya Zen Hae yang terkenal dengan tulisan-tulisannya yang ironi dan penuh humor. (Ed: Ayu Purwaningsih/TS)
Foto: DW/A.Purwaningsih
8 foto1 | 8
Ada hal yang jauh lebih penting ketimbang perdebatan film
Akan sangatlah produktif dan bermanfaat untuk melakukan hal-hal konkret untuk lebih memperkenalkan kepada kalangan milenial mengenai apa isi novel Bumi Manusia (dan 3 novel tetralogi lainnya), serta mengenal lebih dalam mengenai novelisnya Pramoedya Ananta Toer serta masa-masa kelam ketika membaca Bumi Manusia dianggap sebagai hal yang subversif.
Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan hiruk-pikuk rencana pemfilman Bumi Manusia, Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membuat inisiatif mengkonservasi sekaligus merenovasi rumah masa kecil Pramoedya sebagai Rumah Blora, yang diharapkan menjadi salah satu situs wisata sastra.
Inisiatif ini patut dihargai dan tentu harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah intensif memperkenalkan kembali Pramoedya ke generasi milenial dan juga masyarakat umum yang selama ini dibutakan pengetahuannya mengenai Pramoedya Ananta Toer.
Momentum ini harus juga dimanfaatkan untuk memperlihatkan bahwa Indonesia pernah mengalami masa kegelapan kebudayaan ketika ribuan pekerja kebudayaan (termasuk didalamnya Pramoedya Ananta Toer) mengalami masa penindasan dan pembuangan dan karya-karya mereka dikriminalisasi.
Museum Pustaka Peranakan Tionghoa Buka Kunci Sejarah Indonesia
Terletak di kawasan perumahan di Tangerang, ruko berlantai dua ini diubah menjadi penyimpanan berbagai buku, majalah, koran, komik dan literatur tentang Tionghoa yang diberi nama “Museum Pustaka Peranakan Tionghoa”.
Foto: Monique Rijkers
Mengenal Museum Peranakan Tionghoa
Proses pengumpulan pustaka dilakukan sejak 2005. Kehadiran museum ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang peran orang Tionghoa di Indonesia dan memupus kesan negatif yang masih melekat pada segelintir orang Indonesia.
Foto: Monique Rijkers
Kontribusi Nyata Non Tionghoa
Azmi Abubakar bukan keturunan Tionghoa dan tidak berkaitan dengan Tiongkok. Namun ia berkontribusi bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia dengan mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Koleksinya dilirik hingga ke luar negeri dan membawa Azmi jadi pembicara tentang peranakan Tionghoa. Setelah museum, Azmi Abubakar berupaya membangun Universitas Cheng Ho di Aceh, tanah kelahirannya.
Foto: Monique Rijkers
Koleksi Pustaka, Koleksi Pengetahuan Sejarah
Bambang Sriyono, kawan seperjuangan Azmi Abubakar dalam membangun Museum ini memperkirakan hingga awal 2018 sudah ribuan buku ada di sini. Buku-buku itu berasal dari toko buku bekas di beberapa kota, diberikan orang hingga perburuan ke orang yang pindah rumah. Menurut Bambang Sriyono atau akrab disapa Ibeng, koleksi museum bisa dipamerkan di luar museum sebagai sarana edukasi kepada masyarakat.
Foto: Monique Rijkers
Bahasa Mandarin Dalam Aksara Jawa
Pengelola museum, Bambang Sriyono berkata, “Karena tak tahu bahasa Mandarin, banyak buku yang belum ketahuan isinya.” Ia berharap ada yang berminat menerjemahkan buku-buku ini ke bahasa Indonesia agar menambah khazanah pengetahuan. Buku tertua ini misalnya, ditulis dalam aksara Jawa kuno tetapi berbahasa Mandarin sehingga butuh penerjemah bahasa Jawa yang bisa bahasa Mandarin.
Foto: Monique Rijkers
Pendidikan Untuk Murid Tionghoa
Dari buku-buku tahunan ini diketahui ada sekolah khusus Tionghoa di Jakarta, Semarang dan Cirebon. “Tiong Hoa Hwee Koan” adalah sekolah di Jalan Patekoan 31 Jakarta yang berdiri sejak 1901 hingga ditutup pemerintah 1960. Di Jl Kampung Baru Utara 80, Jakarta ada sekolah dwibahasa bernama “The Chinese High School”. Kini di Tangerang ada upaya membangun kembali sekolah serupa yaitu Sekolah Pa Hoa.
Foto: Monique Rijkers
Pemakaman Bersejarah di Cirebon
Dari biografi “Majoor Tan Tjin Kie” yang disusun Tan Gin Ho, anak almarhum membawa pembaca pada peristiwa kematian Tan Tjin Kie, pemilik pabrik gula “Suikerfabriek Luwunggadjah”, orang terkaya di Cirebon, Jawa Barat. Saat meninggal 1919, peti matinya ditarik 240 orang dan dihadiri masyarakat Cirebon yang kehilangan sosoknya yang membangun masjid dan Rumah Sakit “Dr. Gottlieb” (RSUD Gunung Jati).
Foto: Monique Rijkers
Pendiri Rumah Sakit Husada di Jakarta
Dokter Kwa Tjoan Sioe pada 1924 sudah mengajak rekan-rekan dokter dan pengusaha Tionghoa dirikan perkumpulan Jang Seng Ie guna membangun klinik bersalin di Jakarta. Saat itu angka kematian bayi mencapai 45% dari jumlah kelahiran. Saking banyaknya pasien, kadang para pasien harus diinapkan di rumah dokter. Pada tahun 1965, Rumah Sakit Jang Seng Ie diganti nama jadi RS Husada oleh pemerintah.
Foto: Monique Rijkers
Lie Kim Hok, Tokoh Sastra Tionghoa-Melayu
Catatan kesusasteraan Melayu-Tionghoa banyak menyebut nama Lie Kim^Hok sebagai penulis Melayu-Tionghoa pertama yang sangat mempengaruhi perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Ia merintis penggunaan bahasa Melayu yang kemudian jadi bahasa Indonesia di Jawa, Padang, Medan, Palembang, Banjarmasin dan Makassar. Buku pada foto ini ditulis oleh Tio Ie Soei untuk mengenang ulang tahun Lie KimHok ke-105.
Foto: Monique Rijkers
Cita Rasa Tionghoa Dalam Keberagaman
Cita rasa Tionghoa sangat mempengaruhi masakan di Indonesia. Dari buku resep masakan yang dikompilasi oleh Lie Tek Long terbitan Batavia tahun 1915, pembaca bisa mengetahui aneka bumbu dan bahan dalam makanan Betawi, Jawa dan Melayu seabad silam. Untuk sambal saja, buku ini memuat 40 resep sambal. Selain sambal, ada pula resep laksa, perkedel nyonya, sate Njo Kim Poei, sop telor burung, dll.
Foto: Monique Rijkers
Daur Ulang Komik Tionghoa Kekinian
Banjir sejak dahulu rupanya sudah menjadi momok bagi warga Jakarta. Hal ini bisa dilihat dalam komik yang menggambarkan kritik sosial dan keseharian seorang Tionghoa yang digambarkan selalu sial dalam komik yang berjudul Put On atau “Si Gelisah”. Put On menjadi judul komik karya Kho Wan Gie yang diterbitkan setiap edisi majalah Sin Po mulai tahun 1931.
Foto: Monique Rijkers
Koleksi Foto Museum Pustaka Peranakan Tionghoa
Saat rumah Jon Lie mau dijual, pendiri museum, Azmi Abubakar datangi rumah itu dan mendapat koleksi surat dan album foto pahlawan nasional Tionghoa pertama Indonesia itu. John Lie atau Lie Tjeng Tjoan dikenal sebagai mayor, komandan maritim Jakarta. Kisah tentangnya sangat minim karena profesinya sebagai penyelundup senjata untuk kebutuhan Angkatan Laut Indonesia melawan Belanda.
Foto: Monique Rijkers
Nama Indonesia dari Majalah Sin Po Tahun 1926
Membuka lembar-lembar halaman koleksi museum ini sesungguhnya menyelami rekam jejak sejarah Indonesia. Nama Indonesia dahulu digunakan oleh penulis-penulis Belanda dan Jerman pada rentang 1850-1880. Namun koran Sin Po yang terbit sejak 1910 dianggap mempopulerkan Indonesia. Pada terbitan mingguan Sin Po tahun 1926, Indonesia dipilih menjadi nama kolom yang memuat tulisan tentang beragam hal.
Foto: Monique Rijkers
Menjadi WNI
Meski peranakan Tionghoa di Indonesia berkontribusi pada bangsa ini, namun kebijakan politik Orde Lama hingga Orde Baru sisakan luka. Museum ini memiliki segepok dokumen kependudukan yang menorehkan catatan kelam dalam sejarah Indonesia. Surat pernyataan melepas kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok untuk menjadi Warga Negara Indonesia di foto ini dikeluarkan di Surabaya pada tahun 1961.
Foto: Monique Rijkers
Ketika Ada "Staf Chusus Urusan Tjina"
Mengacu pada dokumen Laporan Tahunan Kabinet Pembangunan tahun 1968, berdasarkan Undang-undang No 4/1961 WNI yang masih memakai nama Cina wajib mengubah namanya sesuai nama Indonesia asli. Repotnya nama yang dipilih itupun masih bisa digugat oleh pihak yang keberatan pada pilihan nama baru tersebut. Dalam dokumen ini disebutkan masa tunggu ada-tidaknya gugatan selama tiga bulan.
Foto: Monique Rijkers
Di Balik Papan Nama Bolak-Balik
Berbagai papan nama Tionghoa - saksi bisu asimilasi identitas - jadi bagian penting koleksi museum. Papan nama yang dulu umumnya dipasang di depan rumah ini bisa dibolak-balik tergantung situasi. Jika ada keluarga yang akan berkunjung, papan bertuliskan Tan Lian Tjhoen yang ditampilkan. Setelah keluarga pergi, demi kenyamanan bertetangga, papan nama kembali menjadi nama Indonesia, Djoenaedy.
Foto: Monique Rijkers
Merawat Sejarah, Merajut Keberagaman
Dudi Duta Akbar, rekan Azmi Abubakar mengumpulkan bahan tulisan tentang koleksi museum. Kelak, seluruh pustaka yang ada diharapkan bisa jadi sumber sejarah Tionghoa dan rujukan jejak nenek moyang keluarga keturunan Tionghoa. Koleksi museum sudah berhasil menghadirkan bukti keberagaman di Indonesia yang harus selalu dirajut tanpa lelah. Penulis: MoniqueRijkers (ap/vlz)
Foto: Monique Rijkers
16 foto1 | 16
Membaca dan mendiskusikan karya-karyanya dianggap tindak pidana subversif. Di penghujung dekade delapan puluhan, tiga pemuda Indonesia (Bambang Isti Nugroho, Bambang Subono dan Bonar Tigor Naispospos) diadili di Pengadilan Negeri Yogyakarta dengan tuduhan melakukan kegiatan subversif yaitu membaca, mendiskusikan dan menjual buku Pramoedya Ananta Toer. Mereka dijatuhi hukuman penjara antara 6 tahun sampai 8,5 tahun penjara.
Penulis: Wahyu Susilo (ap/ml)
Pendiri Migrant CARE, sekaligus bekerja sebagai analis kebijakan di lembaga tersebut. Tahun 2007, meraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
Greget Indonesia di Pameran Buku Frankfurt
Sebagai tamu kehormatan, Indonesia menyihir publik Jerman di pameran buku terbesar sejagad, Frankfurt Book Fair 2015. Selain karya sastra, tuan rumah juga disuguhi musik, desain dan kuliner dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Rasa, Bahasa dan Telinga
Untuk pertamakalinya publik Jerman bisa mencicipi Indonesia secara intim, yakni lewat Frankfurt Book Fair. Untuk itu komite nasional menyiapkan lebih dari 300 acara dan sebuah paviliun yang menyapa panca indera pengunjung yang ada.
Foto: DW/R. Nugraha
Suasana Mistis di Pavilun
Paviliun Indonesia yang diracik Muhammad Thamrin mengusung desain beraroma mistis, dengan lampu temaram kebiruan yang membuat setiap pengunjung seakan figur yang terbuat dari bayangan dan siluet, layaknya wayang Jawa.
Foto: DW/R. Nugraha
Membau Indonesia
Thamrin berupaya menghadirkan pengalaman unik buat pengunjung Jerman. Selain memanjakan mata dan telinga, publik juga disajikan aroma bumbu dan rempah khas Indonesia. Untuk itu panitia membawa ekstra 400 kilogramm bumbu dari tanah air.
Foto: DW/R. Nugraha
Pulau Budaya di Lautan Kata-kata
Ketika mendapat tanggungjawab mendesain paviliun, Muhammad Thamrin diberi tugas menghadirkan laut dan kepulauan Indonesia dalam desainnya. Setelah berpikir lama, ia akhirnya mendesain lautan lampion bertuliskan puisi dan kutipan prosa dengan tujuh pulau yang dibedakan sesuai jenisnya, seperti Island of Tales yang menyajikan dongeng anak, atau island of images yang dihias dengan gambar-gambar komik
Foto: DW/R. Nugraha
Dendang Tsunami
Salah satu yang paling mengejutkan publik Jerman adalah penampilan grup musik Aceh, Rafly Kande. Hentakan rebana, gitar akustik dan alunan serunai Kalee yang dipadu dengan suara Rafly yang dinamis dan emosional menjadi pengalaman spesial buat pengunjung. Kekaguman penonton meledak ketika Rafly menjelaskan isi lagu yang berkisah tentang hutan gunung leuser, Tsunami dan semangat hidup.
Foto: DW/R. Nugraha
Merdu Puisi Sapardi
Penampilan lain yang tidak kalah menarik adalah musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono oleh Reda Gaudiamo dan Ari Malibu. Merdu suara kedua musisi merangkai bait-bait sederhana puisi Sapardi dalam lagu yang ringan dan menyentuh. Ini pun bisa dikatakan pengalaman baru buat publik Jerman yang hadir.
Foto: DW/R. Nugraha
Indonesia Lewat Imajinasi Jompet
Seniman Indonesia Jompet Kuswidananto turut menghadirkan karyanya dengan judul "Power Unit" yang dipajang di galeri seni Kunstverein, Frankfurt. Instalasinya itu mengingatkan akan aksi demonstrasi yang ramai dan meriah jelang pemilihan umum.
Foto: DW/R. Nugraha
Eko Menggugat
Seniman lain yang turut hadir adalah Eko Nugroho. Karyanya terkesan banal dengan gaya yang mirip sebuah oret-oretan grafiti. Tapi warna-warni dan pesan pada setiap karya seniman asal Yogyakarta ini membuktikan sebaliknya.
Foto: DW/R. Nugraha
"Bukan Politik, Tapi Takdir"
Salah satu gambar Eko berjudul "Bukan Politik, tapi Takdir," yang menyoal pengungsi. Pesan yang disampaikan Eko bahwa "setiap orang bermigrasi" sangat mengena dengan problematika kekinian yang dihadapi publik Jerman.